“Mengakulah sejujurnya, perempuan tak tahu malu!” Kim Lian memakinya. “Sudah beberapa kali engkau bermain gila dengan Shu Tung?” Dengan suara gemetar Siauw Giok mengaku bahwa baru pertama kali itulah ia mengadakan pertemuan rahasia dengan pelayan itu dan betapa hubungan antara mereka menjadi akrab semenjak Shi Men tidur di ruangan itu sehingga mereka berdua dapat saling bertemu di pagi hari.
“Kau ingin agar aku mengampunimu dan tidak melaporkanmu. Nah, aku akan memenuhi permintaanmu, akan tetapi hanya dengan tiga syarat.”
“Baiklah, nyonya, katakan tiga syarat itu dan saya pasti akan melaksanakan perintah itu.”
“Pertama, di masa depan engkau harus menceritakan kepadaku segala yang terjadi di dalam kamar nyonya majikanmu, Goat Toanio. Kalau engkau merahasiakan sesuatu aku akan melaporkanmu. Ke dua, segala perintahku haruslah kau taati. Dan ke tiga, ceritakan bagaimana majikanmu dapat hamil kembali setelah bertahun-tahun mandul.” Siauw Giok yang sudah tersudut oleh Kim Lian, tak dapat menolak untuk membuka semua rahasia tentang obat kesuburan dari Pi Nikouw yang berhasil membuat Goat Toanio mengandung. Diam-diam Kim Lian mencatat semua itu di dalam hatinya. lapun membiarkan gadis pelayan itu bebas. Akan tetapi Shu Tung sudah menjadi ketakutan. Membayangkan hukuman berat yang akan diterimanya, dan ancaman dalam pandangan mata yang dingin dari nyonya majikan kelima. dia lalu pergi meninggalkan pekerjaannya sebagai pelayan keluarga Shi Men.
Tibalah hari ke dua belas bulan sepuluh, hari pemakaman yang dinanti-nanti itu. Untuk keperluan ini, dari para sahabatnya yang menduduki jabatan tinggi, Shi Men menerima bantuan berupa lima puluh orang perajurit untuk melakukan pengawalan dan penjagaan ketika peti jenazah diusung ke pemakaman. Sejak pagi sekali di depan rumah Shi Men telah terjadi kesibukan yang luar biasa, suara ringkik kuda dan kegaduhan kereta para pejabat yang berdatangan dari dalam dan luar kota untuk ikut melayat.
Lebih dari seratus joli besar kecil berbaris di situ, diduduki keluarga wanita dari rumah Shi Men dan para tamu. anggauta keluarga wanita dalam rumah tangga Shi Men ikut dalam pawai pemakaman itu, kecuali isteri ke empat Sun Siu Oh yang tinggal menjaga rumah ditemani oleh Wang Nikouw dan Pi Nikouw, sedangkan pelayan Ping An ditemani sepuluh orang perajurit, berjaga di pintu gerbang. Tepat jam delapan pagi, pemimpin pawai meniup peluitnya dan tiga puluh empat pemikul peti mati yang amat berat itupun bersiap siaga. Dan mulailah pawai pemakaman yang mewah itu. Di depan sekali berjalan mereka yang membawa bendera dan umbul-umbul kehormatan, dan banyak patung-patung kertas dan uang kertas perak yang nanti akan dibakar sebagai “bekal” untuk si mati. Di depan peti berjalan pasukan yang membunyikan musik pemakaman. Tepat di belakang peti mati yang dipikul oleh banyak orang itu adalah joli yang ditumpangi Goat Toanio dan para isteri Shi Men yang lain, disusul joli para wanita tamu yang merupakan barisan panjang. Chen Ceng Ki, mantu Shi Men yang semenjak perkabungan itu bertindak selaku wakil putera keluarga itu, berjalan di dekat peti dengan satu tangan memegang pikulan, seolah-olah dia sedang membantu pengusungan peti mati, seperti yang selayaknya dilakukan seorang putera yang berbakti. Pagi itu cerah sekali. Di sepanjang jalan yang dilalui pawai pemakaman penuh dengan penonton dan mereka semua mengagumi kemewahan yang berlebihan dalam pawai pemakaman ini, seperti pesta saja, dan sudah lama sekali mereka tidak pernah menyaksikan pemakaman yang demikian indahnya.
Ketika keluar dari Jalan Kedelapan, pawai itu berhenti atas isyarat pemimpin pawai. Bu Tosu, ketua Kuil Giok-Ong-Bio yang mengenakan pakaian resmi sebagai seorang Pendeta, di luar jubah Pendeta kemerahan itu dia memakai mantel dari bulu bangau lima warna, di atas kepalanya sebuah mahkota susun sembilan melambangkan guntur dan kilat, dan kakinya memakai sepatu baru, dan tangannya memegang meja kecil dari gading. Diapun dipikul di atas tandu oleh empat orang pemikul dan kini Bu Tosu, atas isyarat dari Shi Men, tiba-tiba membuka gulungan gambar lengkap dari si mati yang telah dilukis oleh pelukis Han. Chen, mewakili putera keluarga, segera berlutut di depan gambar itu, di atas jalan berdebu dan dengan suara yang lantang Bu Tosu mengucapkan kata-kata berkabung dan pemujaan terhadap si mati.
“Biarpun arwahnya telah memasuki Sorga dan tubuhnya kembali ke bumi, namun di dalam gambar ini, ia akan terus hidup dalam generasi ini dan generasi mendatang.” Demikianlah dia rnelanjutkan kata-kata pujian sambil mengibarkan gambar itu di atas kepala para pengikut. Kemudian dia turun dari tandu dan kembali lagi, diiringi bunyi musik, dan pada, saat itu, dari para pelayat membubung tangis dan ratap yang bergema sampai ke awan dan mengguncang bumi.
Dan pawai itupun bergerak maju lagi. Dari Pintu Gerbang Selatan, Shi Men dan para pelayat lainnya yang tadi berjalan kaki, kini menunggang kuda atau kereta. Hanya Chen saja, sebagai wakil putera keluarga, harus melanjutkan dengan jalan kaki, dengan tangan di pikulan, sampai akhir perjalanan itu. Ketika pawai tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di situ telah menanti dua ratus pasukan yang menyambut dengan gambar dan canang sebagai penghormatan. Pada tengah hari itu, setelah diadakan persembahyangan kepada Ibu Bumi, peti mati ltu perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah dan pemakamanpun berlangsung. dengan penuh kehormatan, dengan upacara-upacara yang mengikutinya, pembakaran segala macam patung kertas sebagai bekal.
Keadaan di situpun menjadi bising, pengap dan panas. Setelah pemakaman selesai dan semua orang kembali ke rumah keluarga Shi Men, meja sembahyang yang tadinya ditaruh di ruangan itu kini dipindahkan ke dalam kamar si mati yang telah dibersihkan, dan ditempatkan di sudut yang terhormat. Tidak lupa diadakan upacara pengorbanan kepada para dewa penjaga rumah tangga, dan membersihkan rumah itu dari pengaruh-pengaruh setan jahat, menyapu lantai di luar pintu dan segala macam tradisi dan kepercayaan tahyul yang berlaku. Berakhirlah upacara yang berlangsung selama empat minggu itu, semenjak kematian sampai ke pemakaman dan tentu saja upacara itu menghabiskan uang yang tidak sedikit jumlahnya.
Pada malam harinya, setelah semua pelayat pulang dan rumah itu menjadi tenang kembali, Shi Men terdorong oleh keinginan besar untuk mengunjungi pondok isterinya yang telah mati. Dia ingin bermalam di kamar itu, di dekat meja sembahyang dekat jendela kamar. Di meja sembahyang itu terpasang gambar setengah badan dari si mati, dan dinding tergantung gambar yang seluruh badan. Kamar itu diatur presis seperti ketika penghuninya masih hidup, tempat tidurnya baru saja dibereskan, dengan tilam dan bantal yang serupa seperti biasanya. Di sandaran kursi tergantung pakaian yang biasa dipakai si mati, di atas meja rias terdapat segala macam alat rias yang biasa ia pergunakan, juga nampak sepasang sandal yang biasa menyembunyikan kakinya yang kecil mungil.
Tempat bunga segar, dan di meja kecil dekat tempat tidur terdapat tempat buah yang terisi buah, manisan dan kue, dan juga dua buah cawan yang sering ia pergunakan minum sedikit anggur sebelum tidur. Melihat semua benda yang tidak asing ini mengingatkan Shi Men akan isterinya yang telah meninggal dan air matanya jatuh bercucuran. Sambil menghela napas panjang diapun merebahkan diri di atas tempat tidur sambil memandang ke arah gambar isterinya tercinta itu. Akhirnya, kelelahan membuat dia tertidur nyenyak. Pada keesokan harinya, ketika makan pagi dihidangkan, dia meletakkan piring ke dua untuk isterinya yang tidak nampak, seperti yang biasa mereka lakukan kalau sarapan berdua, menaruhkan sedikit masakan di atas piring kosong itu dan berbisik,
“Mari kita makan, sayang,” seolah-olah isterinya itu benar-benar duduk disampingnya. Dengan perasaan iba, perawat Yu I dan pelayan Ciu Hwa melihat kelakuan aneh dari majikan mereka itu. Demikianlah keadaan Shi Men selama tiga hari tiga malam, tak pernah meninggalkan kamar. Pada hari ke tiga, dia menerima tamu-tamu di sore hari dan malam itu dia merebahkan diri dengan tubuh yang terasa lesu dan lelah, juga dia merasa haus sekali, ingin minum semangkuk air teh yang segar.
Akan tetapi malam itu telah larut dan Ciu Hwa telah tidur, dan tidak mendengar panggilannya. Karena yang mendengar permintaannya itu adalah pengasuh muda Yu I, maka ialah yang bangkit dan membawakan air teh seperti yang diminta majikannya. Ketika Yu I berlutut di samping tempat tidur, menyuguhkan air teh, tiba-tiba saja bangkit gairah nafsu berahi Shi Men dan tanpa banyak cakap lagi, setelah minum air teh itu, dia merangkul Yu I dan menciuminya. Pelayan ini sedikitpun tidak meronta, bahkan membalas rangkulan Shi Men dan melayani segala keinginan hati Shi Men dengan senang hati. Dan malam itu Shi Men berhasil memiliki Yu I yang kebetulan muncul pada saat berahi membakar dirinya, setelah selama masa perkabungan dia menahan diri dan menjauhi kesenangannya itu.
Pada keesokan harinya, Shi Men berjanji untuk tidak melupakan Yu I dan pengasuh muda ini diberinya empat penjepit rambut dari emas yang dahulu menjadi milik nyonya majikannya. Rahasia ini segera diketahui oleh Ciu Hwa, melihat dari sikap Yu I yang sama sekali berubah, dan iapun menerima hal ini sebagai suatu kenyataan bahwa kini Yu I setidaknya memiliki kedudukan yang tidak berada di sebelah bawahnya. Asap tak dapat ditutup, dan tak lama kemudian, dari sikap Yu I sendiri, hampir semua penghuni rumah tangga dari keluarga itu dapat menduga apa yang telah terjadi antara majikan dan Yu I. Dan tentu saja Kim Lian segera dapat mengetahui akan hal itu. Dengan marah ia mendatangi Goat Toanio untuk melaporkan akan hubungan antara suami mereka dan Yu I.
“Hal ini tidak boleh dilanjutkan, Toaci, engkau harus turun tangan! Sungguh memalukan sekali cara dia bermain gila dengan pengasuh itu di belakang kita. Hal itu terjadi sama seperti dengan isteri pegawai dahulu itu, si Lian Cu. Apakah kita harus membiarkan peristiwa memalukan itu terulang kembali sekarang? Kalau babu momong itu kelak melahirkan anak darinya, bagaimana kita dapat berhadapan dengannya? Wah, ia tentu akan mentertawakan kita!” Akan tetapi Goat Toanio tidak memperdulikan semua bisikannya. la teringat akan pesan terakhir dari nyonya yang ke enam sebelum meninggal dunia agar ia berhati-hati terhadap Kim Lian.
“Aku tidak mau campuri urusan Ini” katanya dengan sikap đingin, “Engkau selalu minta agar aku menjadi pembicaranya, dan apabila keributan tiba, kalian semua menyelamatkán diri dan bersembunyi, sedangkan aku sendiri yang harus menghadapinya. Sekarang aku telah berpengalaman, dan jika engkau tidak menyukai peristiwa itu, engkau sendirilah yang harus bicara kepada, suami kita” mendengar Ini, Kim Lian mundur tanpa berkata apapun.
Pada kesempatan lain, ketika Pi Nikouw datang berkunjung kepada keluarga itu, diam-diam ia mengundangnya ke dalam pondoknya, memberinya satu ons uang perak, dan minta kepada Nikouw itu agar memberi obat ajaib seperti yang penah điberikannya kepada Goat Toanio agar ia dapat mengandung. Semenjak kematian isterinya, yang ke enam satu-satunya Wanita di antara semua isterinya yang dicintanya secara mendalam, yang merupakan satu-satunya wanita yang dapat membuat dia betah tinggal di rumah, kini penyakit lama Shi Men kumat kembali dan mulailah dia hampir setiap malam keluyuran ke luar rumah, mengunjungi tempat-tempat pelesiran.
Cumbuan yang canggung dari seorang pengasuh seperti Yu I yang tidak berpengalaman, tentu saja tidak dapat memuaskan hatinya. Pada suatu hari, dia menerima undangan seorang sahabat dagangnya bernama Huang Se, untuk makan minum dalam rumah pelesiran Bibi Chong, dihadiri pula oleh dua orang sahabat baiknya, Ying Po Kui dan Cia Si Ta. Mereka dilayani oleh dua orang “anak” dari bibi Cong, yang bernama Siang Hwa dan Siauw Goat, Shi Men amat tertarik dan suka kepada Siauw Goat yang mungil. Empat orang gadis penyanyi ikut memeriahkan pesta itu, dan Siauw Gin, seorang gadis dari rumah pelesiran tetangga, datang pula memenuhi undangan. Setelah puas minum. Shi Men menggandeng Siauw Goat, diajaknya berjalan-jalan dan masuk ke dalam kamar yang terpencil.
“Manis, kalau engkau mau bersikap manis kepadaku dan tidak melayani pria lain, aku akan memberimu uang belanja setiap bulan.”
“Untuk dua puluh atau tiga puluh ons sebulan, saya mau melayanimu seorang,” jawab gadis itu.
“Baiklah, akan kuberikan engkau tiga puluh ons.” Shi men mendapatkan seorang kekasih baru yang cukup menarik hatinya sehingga dia berjanji akan sering datang berkunjung. Pada hari ke sepuluh bulan sebelas, datanglah surat perintah dari Ibukota Timur, yang memanggil semua pejabat tinggi untuk datang berkumpul ke kota Kai Hong Hu, menghadiri rapat di mana akan diadakan upacara kenaikan pangkat bagi mereka yang telah dianggap berjasa.
Shi Men termasuk seorang diantara mereka yang dianggap “berjasa.” dan Mendapat kenaikan pangkat, yaitu menjadi Hakim Pertama distrik Ceng-Ho-Sian menggantikan kedudukan rekannya, Hsia. Adapun Hakim Hsia kini dinaikkan pangkatnya sebagai Komandan Pengawal Istana. Sedangkan seorang keponakan dari Thaikam Hou memperoleh jabatan yang tadinya dipegang Shi Men. Menerima surat perintah ini, Shi Men cepat berkemas dan pada tanggal dua belas bulan itu Shi Men berangkat bersama rekannya, Hakim Hsia, dengan pengawalan dua puluh orang, menuju ke Ibukota Timur. Selama kepergian Shi Men yang akan memakan waktu kurang lebih dua minggu itu, Goat Toanio melakukan penjagaan ketat untuk ketertiban rumah tangganya.
Penjaga pintu gerbang Pang An dipesan untuk membuka pintu hanya kalau ada keperluan mendesak dan hanya atas ijin darinya. Pintu masuk ke bagian tempat tinggal para wanita, dikunci dari sore sampai pagi hari berikutnya. Goat Toanio sendiri melakukan pengawasan ketat pada siang harinya, bahkan ia melarang seorang anggauta keluarga seperti Chen Ceng Ki, mantu suaminya, untuk masuk ke rumah tanpa alasan yang penting, dan kalau keperluan mengharuskannya masuk, dia selalu didampingi seorang pelayan. Karena itu, sekali ini Kim Lian, sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk berbuat semaunya, melainkan seperti para isteri lainnya, duduk dengan tenang di dalam pondoknya, melakukan pekerjaan rumah atau menghibur diri dengan para pelayan. Namun ia masih sempat memuaskan hatinya dengan sering mengomeli Yu I, kekasih suaminya yang baru.
Pada akhir bulan sebelas itu tibalah Shi Men kemball ke rumahnya dan hal pertama yang dilakukannya, setelah dia mencuci diri dan berganti pakaian bersih, adalah melakukan sembahyang di pekarangan dan dengan berpuasa dia berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit karena dia rnemperoleh anugerah kenaikan pangkat dan keselamatan dalam perjalanan itu. Dia tergesa-gesa pulang untuk dapat ikut merayakah hari ulang tahun isterinya yang ke tiga, yaitu Mong Lok. Pesta ulang tahun itu diadakan dengan meriah dan di antara para tamu yang berdatangan, terdapat Pi Nikouw dan Wang Nikouw yang bermalam di situ. Pi Nikouw memenuhl janjinya dan membawakan obat yang dipesan oleh Kim Lian. Dengan cerdik Pendeta wanita itu berhasil menyelinap keluar dari pondok Goat Toanio dan mengunjungi Kim Lian secara diam-diam.
“Inilah obat yang saya janjikan itu,” katanya sambil memberikan botol yang terisi obat itu kepada Kim Lian.
“Pada hari tujuh kali tujuh dari dua bulan, obat ini harus dicampur dengan sedikit anggur, dan diminum dengan perut kosong. Jika malam harinya engkau tidur dengan suamimu, tentu engkau akan mengandung seorang anak laki-laki. Nyonya majikan yang tinggal di bangunan induk telah mengandung setelah minom obat ini. Dan sebagai tambahan saya berikan bubuk merah ini kepadamu, asal dipergunakan menurut ajaran saya, sudah dapat dipastikan engkau akan mengandung seorang calon putera.” Dengan girang sekali Kim Lian menerima dua macam obat itu dan menyembunyikannya di dalam laci. la lalu membuka kalender dan melihat bahwa hari ke empat puluh sembilan dari dua bulan jatuh pada tanggal dua puluh sembilan bulan itu. la lalu mengambil sejumlah uang dan menyerahkannya kepada Pi Nikouw sambil berkata,
“Terimalah sedikit hadiah lni, kalau kelak aku benar dapat mengandung, saya akan menghadiahkan kain untuk membuat pakaian.”
“Harap nyonya jangan memikirkan tentang hadiah. Saya tidaklah begitu haus akan hadiah seperti halnya Wang Nikouw. Bayangkan saja betapa ia telah mengomel panjang pendek karena mendapat bayaran sedikit ketika menyembahyangi nyonya yang meninggal dunia baru-baru ini, Saya melakukan semua ini tanpa pamrih, untuk diri sendiri melainkan karena saya Suka melakukan kebaikan kepada orang lain.”
Ketika Kim Lian melihat betapa Shi Men memberi tanda-tanda hendak pergi tidur, iapun cepat meninggalkan ruangan keluarga itu dan menanti di ruangan luar, mengharapkan suminya akan segera muncul dan nenemaninya kembali ke pondoknya. Malam ini ia harus dapat menarik suaminya ke tempat tidurnya, karena malam ini adalah malam yang ditentukan sebagai syarat pengobatan agar ia memperoleh keturunan, yaitu malam ke empat puluh sembilan dari dua bulan. Namun sia-sia saja ia menanti. Shi Men tidak muncul. Akhirnya ia kehabisan kesabaran. la membuka pintu tembusan ruangan itu dan berkata dengan suara nyaring kepada suaminya,
“Saya tidak bisa menunggu lebih lama. Saya pergi dulu.”