Rungan ini lebar dan lantainya dari marmer mengkilap, dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan dan sajak-sajak berpasangan yang serba indah dan nyeni. Ti-Ciangkun memasuki ruangan ini dulu, di ikuti oleh Shi Men berusaha menutupi rasa rendah dirinya dengan langkah yang tegap dan gagah. Di tengah ruangan terdapat sebuah kursi besar tertutup kulit harimau, menghadap pintu masuk. Di atas kursi itu duduk Sang Perdana Menteri, memakai pakaian kebesaran berwarna merah dengan sulaman ular-ular hijau dan biru dengan dasar kuning emas. Di belakangnya nampak tirai halus yang tembus pandang sehingga kelihatanlah tirai itu kurang lebih tiga puluh orang wanita cantik seperti sekelompok bidadari di antara awan putih, mengipasi diri mereka dengan kipas atau sapu-tangan sutera, dengan penuh perhatian menonton apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu.
Ti-Ciangkun melangkah minggir dan membiarkan Shi Men berhadapan dengan Perdana Menteri Cai, Shi Men berlutut dan memberi hormat dengan, bersoja empat kali. Perdana Menteri Cai bangkit berdiri dan mengangguk sediklt, sebagai tanda pembalasan penghormatan ltu. Ti-Ciangkun lalu melangkah, mendekati kursi dan berbisik di dekat telinga atasannya..., Shi Men tahu bahwa bisikan itu berhubungan dengan keinginannya untuk rnenjadi “anak angkat” pembesar tinggi itu. Ketika Ti-Ciangkun mundur kembali, Shi Men memberi hormat lagi dengan empat kali soja (merangkap kedua tangan di depan dada), dan sekali ini Sang Perdana Menteri tetap duduk saja. Hal ini menandakan bahwa pembesar itu menerimanya sebagai anak angkat, dan sebagai ayah angkat tentu saja tidak perlu membalas penghormatan puteranya. Shi Men lalu berkata dengan penuh hormat.
“Ayahanda yang mulia, untuk merayakan hari bahagia ini puteranda datang membawa beberapa barang yang tidak berharga untuk dihaturkan di bawah kaki Ayahanda, sekedar tanda bahwa puteranda selalu menghormat Ayahanda dari jauh.” Sang Perdana Menteri memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk mengambilkan sebuah kursi dan memberi isyarat kepada Shi Men untuk duduk.
Ketika kepada Shi Men dihidangkan air teh, Ti-Ciangkun lalu menghampiri pintu masuk dan membuka daun pintu. Maka berbondong-bondong masuklah para tamu yang hendak manghaturkan selamat berikut barang-barang hadiah yang mereka bawa dan semua barang yang serba indah ltu ditumpuk di atas lantai di depan kaki Perdana Menteri yang melihat dengan wajah berseri sambil membaca daftar barang sumbangan itu, memerintahkan pengawal untuk membawa barang-barang itu ke dalam, mengucapkan kata-kata terima kasih dan menyuruh orang-orangnya menyuguhkan arak kepada semua tamu. Shi Men yang sudah diterima sebagai “anak angkat” itu merasa tidak pantas kalau tinggal terlalu lama di situ karena Sang Perdana Menteri masih harus menerima tamu, maka setelah mencicipi arak dia lalu berpamit.
“Malam ini kuharapkan engkau menjadi tamuku,” kata Perdana Menteri dengan ramah, bahkan dia mengantarkan Shi Men sampai beberapa langkah ke arah pintu depan. Setelah tiba di gedung Ti- Ciangkun, Shi Men menanggalkan pakaian kebesarannya, lalu merebahkan diri beristirahat.
Pada sore harinya, dengan mengenakan pakaian kebesaran lagi, Shi Men untuk ke dua kalinya mengunjungi Istana Perdana Menteri. Undangan untuk makan malam bersama sang Perdana Memteri ini merupakan kehormatan besar sekali bagi Shi Men. Semua ini berkat sikapnya dan terutama sekali keroyalannya dalam memberikan hadiah. Tidak ada di antara tamu yang menyerahkan hadiah sebanyak yang diberikan Shi Men dan hal ini amat berkenan dihati Sang Perdana Menteri. Selain itu, juga pujian- pujian yang diberikan oleh Kepala Pengawal Ti-Ciangkun kepada atasannya itu membuat pembesar tinggi itu merasa lebih suka kepada Shi Men. Memang Shi Men pandai sekali mengambil hati. Hatinya sendiri merasa gembira sekali dan menganggap bahwa usahanya telah berhasil baik.
Ketika malam itu dia diterima oleh Sang Perdana Menteri dengan penuh keramahan, diajak makan malam berdua dihibur oleh dua puluh empat orang gadis cantik yang menari, bernyanyi dan bermain musik, dia merasa seolah-olah dia telah menjadi keluarga Perdana Menteri! Pembesar itu bahkan menyuguhkan secawan arak kepada Shi Men dengan tangannya sendiri. Shi Men mula-mula tidak berani menerimanya, akan tetapi atas desakan Sang Perdana Menteri, dia meminum habis arak itu sambil berdiri. Kemudian dia memberi isyarat kepada Shu Tung, seorang kacungnya, yang mengeluarkan sebuah cawan terbuat dari emas berukir dalam bentuk bunga, cawan yang sengaja dibawanya dari rumah. Dengan cawan emas ini terisi penuh arak, sambil berlutut Shi Men menyuguhkannya kepada Sang Perdana Menteri sambil berkata,
“Ananda mohon Ayahanda minum arak ini, semoga Ayahanda diberi panjang usia sampai ribuan tahun!” Sang Perdana Menteri menerima suguhan itu dengan terharu menyaksikan kebaktian anak angkatnya yang baru itu, dan diapun menerimanya sambil berkata,
“Bangkitlah, puteraku” kemudian dia minum habis arak itu. Tehtu saja cawan emas yang amat indah itu dimaksudkan untuk hadiah pula kepada sang pembesar tinggi. Setelah makan minum sepuasnya, Shi Men yang tahu diri maklum bahwa sudah waktunya untuk mengundurkan diri.
Tidak lupa dia membagi-bagikan uang kepada semua gadis penghibur, kepada para pelayan secara royal sekali dan dengan penuh penghormatan sebagai seorang “anak angkat” yang baik dan berbakti, dia berlutut dan berpamit dari Ayahnya dan kembali ke gedung Ti-Ciangkun untuk beristirahat. Delapan hari lamanya Shi Men berada di Kotaraja, dan kesempatan ini dipergunakannya untuk mengunjungi pembesar-pembesar dengan membawa sekedar hadiah sehingga namanya semakin dikenal di kalangan pembesar Kotaraja dan hubungannya menjadi semakin baik. Akhirnya diapun berpamit dari Ti-Ciangkun dan pulang ke kotanya secepatnya, karena dia sudah merasa rindu sekali dengan para isterinya. Kedatangan Shi Men ini disambut oleh para isterinya di depan pintu gerbang dan kesibukanpun terjadilah di rumah itu, karena puiangnya Shi Men disambut dengan pesta oleh keluarganya. “Bagaimana keadaan puteraku? Apakah engkau sudah sembuh dan mlnum obat dari Tabib Yen secara teratur?” pertanyaan ini yang pertama keluar dari mulutnya, ditujukan kepada isterinya yang ke enam, Nyonya Peng. .
“Anak kita sehat saja, dan aku sendiri merasa agak mendingan setelah minum obat,” Nyonya Peng menjawab. Kim Lian memelihara seekor kucing dalam pondoknya. Kucing Itu besar dan memiliki bulu yang indah, tebal halus berwarna putih seluruhnya, kecuali sedikit warna hitam di tengah kepalanya. Karena bulunya itu maka Kim Lian memberinya nama Salju.
Kucing inilah yang menjadi sahabat baik Kim Lian, bahkan di waktu Shi Men tidak datang mengunjunginya dan tidak tidur di kamarnya, ia membawa Salju ke tempat tidurnya. Kucing itu bersih dan agaknya setia dan penurut terhadap Kim Lian yang menyanyangnya. Sekali panggil saja, kucing yang sudah mengenal benar suara, majikannya, akan berlari datang, dan sekali menggerakkan tangannya, Kim Lian dapat menyuruhnya, pergi. Kim Lian bahkan melatihnya untuk mengambilkan kipas dan saputangan. Sebagai upahnya, ia memberinya daging segar setiap hari, baik dipanggang atau dimasak. Tldak mengherankan kalau Salju menjadi semakin gemuk, bulunya makin tebal dan indah. Baru-baru ini Kim Lian memberi permainan baru untuk Salju. Ia mengajarnya untuk mencari daging makanannya sendirl yang dlsembunyikannya dan dibungkus dengan kain merah.
Akhirnya kucing itu menjadi pandai sekali menemukan dan mengambll daging Itu betapapun dibungkus kain merah. Tanpa setahu orang lain, Kim Lian kini memberinya daging mentah Pada suatu hari, Nyonya Peng meninggalkan puteranya yang masih bayi itu, dalam pakaian serba merah yang indah, di atas sebuah dipan di beranda terbuka dari pondoknya, dijaga oleh Ciu Hwa. Nyonya Peng sendiri pergi ke rumah induk untuk membantu Goat Toanio, dan wanita pengasuh Yu sedang makan di kamar sebelah. Karena anak itu tertidur nyenyak, Ciu Hwa menjadi agak lengah dan ia bercakap-cakap dengan pengasuh Yu I sambil berdiri di pintu kamar yang dekat itu. Mereka berdua tidak melihat betapa pada saat Itu, dengan loncatan ringan, kucing putih Salju meloncat ke atas dipan dan melihat Bayi dalam bungkusan pakaian merah,
Mungkin dia mengira bahwa ltu adalah segumpal daging besar untuknya. Dia menerkam dan menggunakan kedua cakar depannya untuk mencengkeram dan mencakar berusaha mengambil daging itu dari bungkusannya, juga menggigiti Dua orang wanita ltu terkejut bukan main mendengar jerit tangis anak itu. Mereka lari menghampiri dan terbelalak ngeri melihat betapa anak majikan mereka dicengkeram dan dicakari seekor kucing putih besar yang bukan lain adalah Si Salju Mereka cepat menubruk dan Yu I memondong anak itu, sedangkan Ciu Hwa mengejar kucing yang segera melarikan diri ketakutan. Anak itu berlumuran darah, tidak menangis lagi. Pakaiannya robek-robek, demikian juga kulit tubuhnya. Dia pingsan dan berkelojotan, matanya terbalik hanya nampak putihnya saja.