Si Tangan Sakti Chapter 01

NIC

Kaisar Kian Liong adalah seorang di antara para kaisar Kerajaan Ceng atau Mancu yang paling terkenal.

Dia bijaksana dan pandai walaupun, se-perti sebagian besar para kaisar dan to-koh-tokoh besar dunia, dia memiliki pula sebuah kelemahan, yaitu mata keranjang terhadap wanita.

Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya mendapatkan banyak kemaju-an sehingga namanya tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah.

Tentu saja tentang semua pengalamannya se-bagai laki-laki mata keranjang, sejak masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena hal itu akan menjadi noda saja dalam sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.

Ketika kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai seorang pangeran yang pan-dai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan mendekati tokoh--tokoh dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut Pangeran Bijaksana, Pangeran Mulia dan sebagai-nya.

Ketika dia masih pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat cantik manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya.

Teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu.

Kalau dia merupakan putera permaisuri dan Pange-ran Mahkota, Pangeran Kian Tong ha-nya puteri selir.

Pangeran Kian Tong baru beberapa bulan menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini ber-kunjung kepada Puteri Can Kim, kakak-nya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian Tong itu.

Semenjak bertemu dengan kakak ipar-nya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong menjadi tergila-gila.

Biarpun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dikehendakinya, namun pada waktu itu, hanya bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak, begitulah keadaan pangeran putera mah-kota itu.

Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, seorang thaikam (laki-laki kebiri) ber-nama Siauw Hok Cu.

"Pangeran, apakah yang mengganggu pikiran Paduka" Harap beritahukan ke-pada hamba, dan hamba yang akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala kehendak Pa-duka." kata thaikam itu.

Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, memandang kepada pelayannya yang setia dan meng-hela napas panjang.

"Hok Cu, engkau tidak tahu betapa hatiku merana karena rindu kepada seorang wanita....." Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan.

"Sungguh lucu ucapan Paduka ini.

Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka kalau Paduka membuka lengan dan memanggilnya" Katakanlah, wanita mana yang Paduka rindukan, dan hamba akan segera men-jemputnya dan mengajaknya ke sini." Akan tetapi pangeran itu tidak ber-gembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela napas lagi.

"Ah, engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu.

Sekali ini, biar engkau pun tidak akan mampu menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam kerinduan-ku yang begini menghimpit.

Aaaiiihhh....!" "Katakanlah, Pangeran.

Wanita mana yang Paduka kehendaki" Biar ia puteri raja muda sekalipun, hamba sanggup melaksanakannya untuk Paduka!" kata Siauw Hok Cu penuh semangat.

"Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu.

Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku merana sendiri karena eng-kau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini...." "Katakanlah siapa wanita itu, Pange-ran.

Hamba bersumpah, kalau tidak bisa mendapatkan, nyawa hamba gantinya!" kata pula thaikam itu dengan penasaran.

"Benarkah?" Kini dalam mata pange-ran itu bernyala sebuah harapan baru.

"Nah, dengarlah.

Wanita yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu." "Nyonya Fu....?" tanya thaikam itu, tidak mengerti.

"Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!" "Ya Tuhan....!" Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak.

"Tapi beliau adalah kakak ipar Paduka sendiri!" Pangeran Kian Liong tersenyum pa-hit.

"Benar, akan tetapi ia pun seorang wanita, bukan" Wanita yang amat cantik, amat manis, amat mulus, dan bagaimana dengan janjimu untuk mengganti dengan nyawamu, Hok Cu?" Thaikam itu cepat mengangguk-ang-gukkan kepalanya sampai dahinya mem-bentur lantai.

"Akan hamba laksanakan, Peduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!" Tentusaja pangeran itu merasa gembira sekali.

Pembantu utama yang menjadi pelayan pribadinya ini memang cerdik dan banyak akalnya.

Biarpun di situ tidak terdapat orang lain, mereka berbisik-bisik ketika thiankam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.

Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan wanita cantik Fu Heng turun dari kereta.

Seorang dayang segera menyambutnya.

Dayang itu mengaku sebagai pelayan pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu Heng.

"Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus menyambut Paduka," katanya.

Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali.

"Terima kasih," katanya sambil menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi lehernya.

"Aihh, betapa panas hawanya," ia mengeluh.

"Sang puteri tadi memerintahkan hamba untuk mengantar Paduka menanti di istana pondok merah di taman, di sana lebih sejuk dan hamba telah mempersiapkan bak mandi untuk Paduka agar Paduka merasa segar kembali setelah melakukan perjalanan dengan kereta dari tempat tinggal Paduka sampai ke sini." "Oohhh, terima kasih.

Sang puteri sungguh baik hati sekali!" kata nyonya muda yang usianya baru sembilan belas tahun itu dengan gembira.

Memang pondok merah di taman merupakan bangunan mungil indah dan saudara suaminya seringkali mengajak ia bersenang-senang di tempat itu.

Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang menuju ke ruang depan, kemudian rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang indah mungil.

Tak lama kemudian, Nyonya muda itu telah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani oleh para dayang dan setelah puas membersihkan tubuh dengan air yang sejuk segar, si cantik ini duduk di depan cermin, membereskan rambutnya yang panjang, hitam dan terurai lepas.

Ia merasa nyaman sekali dan bersenandung kecil di depan cermin, menga-gumi kecantikan diri sendiri.

Dengan pa-kaian kimono sutera yang diberikan da-yang kepadanya, ia dapat melihat bayangan tubuhnyadi cermin.

Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkan-nya dan bahwa ia kini seorang diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu.

Kalau ia sedang bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa amat gembira dan lupa akan kedukaan hatinya.

Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini merasa kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihan-nya.

Suaminya itu ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tidak menyenangkanhatinya.

Ia merasa menyesal kenapa orang tuanya menjodoh-kan ia dengan seorang laki-laki seperti itu dan merasa menyesal mengapa se-belumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya.

Malam pertama merupa-kan pengalaman yang membuat ia meng-gigil ngeri kalau mengenangnya kembali.

Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman dan juga gembira.

Tiba-tiba wajah yang cantik itu men-jadi tegang, mata itu terbelalak meman-dang ke dalam cermin, mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya.

Ke-mudian, setelah melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah Pangeran Mahkota, wajahnya berubah merah sekali dan tergopoh kedua tangan-nya mencoba untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis.

Makin dirapatkan, kain sutera itu semakin menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya.

Fu Heng memutar tubuh di atas bang-kunya, menghadapi pangeran yang berdiri memandang dengan kedua mata terpesona.

"Pangeran....

mohon Paduka pergi....

pergilah atau saya akan menjerit...." katanya gagap.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah kaki, mencabut pedangnya dan berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri.

"Kalau engkau tidak mau menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku membunuh diri di depan kakimu!" Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu menjadi pucat sekali.

Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti bahaya maut bagi dirinya! Pula, pemuda yang tampan sekali ini adalah calon kaisar, merupakan orang ke dua setelah kaisar yang paling berkuasa.

Mungkin tidak lama lagi pria ini akan menjadi kaisar! "Harap....

Paduka....

jangan lakukan itu...." katanya berbisik.

Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri.

"Jadi engkau mau....?" Wanita itu kini menundukkan muka, kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya, membuat ia nampak se-makin cantik.

Biarpun mukanya menunduk,masih nampak ia menahan senyum ter-sipu dan kepalanya mengangguk perlahan.

Pangeran Kian Liong menahan diri-nya agar tidak bersorak.

Dia bangkit berdiri, menutupkan daun pintu, lalu memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke pembaringan.

Samua ini tentu saja hasil siasat yang telah diatur oleh pembantunya, yaitu thaikam Siauw Hok Cu.

Para dayang adalah kaki tangannya yang telah disuap.

Ketika akhirnya pangeran mahkota melepaskan kekasihnya keluar dari dalam pondok merah, Siauw Hok Cu sengaja menghampiri dua orang itu dan bersikap seperti orang yang terkejut sekali.

"Pangeran....! Nyonya muda....! Apa yang Paduka berdua lakukan ini" Kalau Pangeran Kian Tong mengetahui...., ham-ba sendiri juga akan celaka.

Seisi istana akan mengetahui peristiwa ini....!" Pangeran Kian Liong diam saja, akan tetapi nyonya muda itu dengan muka merah sekali, dan dengan tubuh gemetar dan kedua kaki menggigil segera berkata.

"Ah, harap jangan beritahukan siapapun...." Ia memandang kepada thaikam itu, lalu menoleh kepada pangeran mahkota dengan sikap bingung, matanya yang jeli dan masih redup seperti orang mengantuk itu nampak ketakutan seperti mata kelinci bertemu harimau.

Posting Komentar