Si Tangan Halilintar Chapter 43

NIC

Tiba-tiba Kui Siang mengeluh dan memegangi perutnya dengan kedua tangan. "Aduhh ……perutku …… ah, nyeri sekali, paman …… "

Tentu saja Ma Giok menjadi bingung. Dia menoleh kepada pemilik rumah itu, seolah hendak menanyakan nasehatnya.

Wanita bidan itu lalu duduk di tepi pembaringan, memeriksa perut Kui Siang dan berkata, "Engkau akan melahirkan. Tenanglah, aku akan membantumu. Sicu, dapatkah engkau membantu aku dan memasak air sampai mendidih? Air, tempatnya dan perapian berada di dapur, bagian belakang rumah ini."

"Ah, tentu saja!" kata Ma Giok, lega karena dia dapat melakukan sesuatu untuk membantu. Dia lalu membawa lilin menyala dan pergi ke belakang di mana dia menemukan segala yang diperlukan untuk memasak air. Sebentar saja air itu mendidih dan dia segera membawa air itu dalam baskom ke dalam kamar tadi. Dia melihat Kui Siang masih merintih-rintih dan bidan itu mengurut perlahan bagian perutnya.

Setelah meletakkan baskom ke atas meja, Ma Giok bertanya, "Bagaimana keadaannya?"

Nenek itu mengerutkan alisnya dan. menggeleng lalu menghela napas panjang, memandang kepada Ma Giok dan memberi isarat dengan gerakan kepala dan pandang mata agar Ma Giok mendekat. Ma Giok mengerti dan mendekatkan telinganya. Wanita itu berbisik. "Tidak begitu baik," ia berbisik dekat telinga Ma Giok agar jangan terdengar oleh Kui Siang yang gelisah, memejamkan mata dan mengerang kesakitan, "letak bayinya terbalik dan keadaan tubuhnya lemah sekali ……"

Wajah Ma Giok menjadi pucat mendengar ini. "Tolonglah, nyonya yang baik, tolonglah, selamatkan nyawanya …… " ia berbisik dengan suara penuh permohonan dan kekhawatiran.

"Saya akan berusaha, si-cu, akan tetapi seberapa kepandaian manusia seperti saya yang bodoh ini?"

"Apa yang dapat saya bantu? Katakanlah, saya akan membantu sekuat tenaga untuk menyelamatkannya." kata Ma Giok.

"Oya, benar juga. Sekarang pergilah ke dalam dusun. Di dekat perempatan sana terdapat sebuah rumah tembok yang pekarangannya lebar. Di situ tinggal seorang penjual obat. Belilah sebungkus obat menambah darah dan penguat tubuh bagi seorang wanita yang melahirkan. Katakan saja bahwa Ngo-ma (ibu Ngo) yang menyuruhmu, penjual obat itu tentu akan mengerti obat apa yang kubutuhkan dan tentu akan melayanimu dengan baik."

"Baik, nyonya. Sekarang juga saya berangkat!" Ma Giok berlari keluar. Untung bahwa dia masih menyimpan uang di dalam saku bajunya. Dia dapat menemukan rumah penjual obat itu dan setelah membeli obat yang dimaksudkan, dia berlari kembali ke rumah di ujung dusun itu.

Bidan itu merasa heran dan gembira melihat Ma Giok demikian cepat kembali membawa obat yang diperlukan. Dengan petunjuk bidan itu, Ma Giok memasak obat dan setelah airnya tinggal semangkok, dibawanya semangkok obat itu ke dalam kamar.

"Wah, tidak diminum sekarang, sicu. Ambil saja anglo (perapian) dari dapur ke sini, buat Api yang kecil saja dan letakkan panci obat di atas tungku dengan api kecil itu agar obatnya selalu hangat."

Pada saat itu, terdengar suara ribut ribut di luar rumah, lalu daun pintu rumah itu digedor orang. Bidan itu terkejut dan memandang kepada Ma Giok.

"Sicu, apakah ramai-ramai di luar itu? Kenapa pintu rumahku digedor?"

"Tenanglah, nyonya. Lanjutkan pertolonganmu kepada Kui Siang. Biar aku yang membereskan mereka yang membikin ribut di luar." Setelah berkata demikian, Ma Giok melompat keluar. Dia membuka daun pintu dan melihat enam orang berdiri di depan rumah.· Empat orang di antara mereka adalah sisa anak buah gerombolan yang masing- masing memegang sebuah obor yang diangkat tinggi-tinggi sehingga keadaan di situ cukup terang. Yang dua orang lagi adalah Can Ok dan seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun yang bertubuh tinggi kurus dan rambutnya sudah putih semua. Lima batang pedang pendek terselip di ikat pinggangnya dan sebatang pedang panjang tergantung di punggungnya. Melihat pedang-pedang ini, Ma Giok terkejut dan menduga bahwa orang ini tentulah Hui-kiam Lo-mo, Si Iblis Tua Pedang Terbang yang namanya terkenal sebagai datuk Sungai Kuning, tokoh sesat yang mengaku sebagai pe- mimpin pejuang!.

Can Ok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ma Giok. "Ma Giok pengkhianat, anjing bangsa Mancu, bersiaplah engkau untuk menerima hukuman mati!"

Kakek itu juga memandang kepada Ma Giok sambil mengerutkan alisnya dan terdengar suaranya melengking tinggi seperti suara seorang wanita, juga nada dan lagaknya seperti seorang wanita, agak genit. "Aih, inikah yang bernama Ma Giok dengan julukan Naga Selatan itu? Hemm, sayang sekali. Namamu sudah terkenal sebagai pemimpin pejuang dan engkau juga gagah perkasa dan tampan menarik, akan tetapl kini engkau merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu!"

Baru mendengar ucapan dan melihat lagak kakek berambut putih itu saja Ma Giok sudah merasa muak. Orang seperti ini mana dapat dipercaya?

"Kalau aku tidak salah duga, tentu engkau yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo, datuk Sungai Kuning. Benarkah?"

"Ha-ha-ha, kiranya matamu tajam juga, Lam-liong. Sesudah mengenalku, kenapa engkau tidak memberi hormat?" kata kakek yang suaranya seperti wanita itu.

"Hui-kiam Lo-mo, aku tidak pernah bermusuhan denganmu. Sekarang aku ada urusan yang teramat penting. Kalau ada urusan dengan aku, kuharap engkau suka datang lagi besok pagi!" kata Ma Giok yang suaranya gelisah sekali mendengar rintihan Kui Siang yang terdengar dari tempat dia berdiri.

"Heh-·heh-hi-hik, Lam-liong. Engkau bersikap gagah dan ganas menghadapi muridku dan anak buahnya. Setelah berhadapan dengan aku, tiba-tiba berubah menjadi pengecut. Kalau engkau tidak berani melawanku, akui saja dan cepat kau berlutut minta ampun kepadaku!" kata kakek itu dengan lagak sombong.

Akan tetapi Ma Giok menahan diri dan bersabar karena ia tidak ingin berkelahi dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan Kui Siang terancam maut.

"Tolonglah, Hui-kiam Lo-mo, demi hubungan antara kita sebagai sama-sama tokoh dunia kang-ouw, aku minta sekali lagi kepadamu agar menangguhkan urusan ini sampai besok pagi. Malam ini aku sungguh menghadapi urusan yang lebih penting lagi!.

"Heh-heh-ha-ha!" Hui-kiam Lo-mo terkekeh. "Engkau harus mati sekarang juga!" Sambil bicara kakek itu meraih ke atas punggungnya dan sebatang pedang yang berkilauan tajam tertimpa sinar empat buah obor itu telah berada di tangannya.

Posting Komentar