Si Tangan Halilintar Chapter 38

NIC

Nyonya Bu terkejut. Hal ini sama sekali tidak ia bayangkan. "Oh, tidak! Tidak! Ah, kalau begitu memang engkau yang benar. Sebaiknya dia dibunuh seratus kali dibunuh!"

Nenek itu tidak berkata-kata lagi, hanya terkekeh-kekeh sambil menggerogoti daging kelinci yang gemuk dan meneteskan gajih yang berminyak.

Setelah makan kenyang, Nyonya Bu mengajak Pek-sim Kui-bo mencari air untuk minum. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan seperti tadi, Pek-sim Kui-bo menggandeng tangan Nyonya Bu dan membawanya lari seperti terbang cepatnya.

Pek-sim Kui-bo membawa Nyonya Bu ke lereng dekat puncak gunung Kui san dan di sanalah ia menggembleng Nyonya Bu yang mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya serta dapat mewarisi semua kesaktian Pek-sim kui-bo. Akan tetapi celakanya, Nyonya Bu tidak hanya mewarisi kesaktiannya, akan tetapi ia juga mewarisi atau ketularan gilanya!

****

Bu Kui Siang menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan. la tidak mau melarikan kudanya cepat-cepat karena merasa kasihan kepada Ma Giok yang berjalan di samping kudanya. Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang amat jauh dan selama ini, Ma Giok hanya ber jalan kaki dan ia menunggang kuda.

"Paman Ma, apakah Thai-san yang menjadi tujuan kita itu masih jauh?" tanya Kui Siang. Mereka sudah melakukan perjalanan hampir sehari suntuk hari itu dan saat itu sudah hampir senja. "Masih, Kui Siang. Mungkin satu bulan lagi kita baru akan tiba di sana.. “

"Satu bulan lagi? Ah, betapa jauhnya. Engkau yang berjalan kaki tentu lelah sekali, paman!"

"Ah, tidak. Aku sudah biasa berjalan. Oya, di depan sana terdapat sebuah dusun yang cukup besar. Kalau aku tidak salah ingat, itu dusun Lian-ki-jung dan di sana terdapat rumah penginapan berikut rumah makan. Kita dapat beristirahat, mandi dan makan enak malam ini"

Kui Siang merasa bahwa pria ini, sengaja mengalihkan perhatiannya tentang perjalanan jauh yang harus ditempuh dengan jalan kaki. "Paman Ma, di dusun itu tentu ada orang menjual kuda!"

"Ya, memang ada. Akan tetapi kuda kita ini masih kuat dan belum perlu diganti."

"Bukan untuk mengganti kuda ini, paman. Akan tetapi kita harus membeli seekor kuda untukmu."

"Ah, tidak perlu, Kui Siang. Aku masih kuat berjalan."

"Tidak, paman. Aku masih mempunyai gelang dan perhiasan, masih berlebihan kalau hanya untuk membeli seekor kuda yang baik!"

Ma Giok menggeleng kepalanya. “Tidak perlu membeli kuda, Kui Siang. Biarlah aku berjalan saja."

Kui Siang mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, setibanya di dusun itu, aku mau menjual saja kuda ini, paman."

"Eh? Dijual? Kenapa? Kuda ini pemting sekali untuk tungganganmu!"

"Kalau paman ber jalan kaki, akupun ingin berjalan saja. Kita ini hanya berdua, paman. Kita melakukan perjalanan bersama sehingga sepatutnya kalau berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mana mungkin aku enak-enakan saja menunggang kuda dan engkau bersusah payah berjalan kaki? Nah, pendeknya aku sudah mengambil keputusan tetap untuk senasib sependeritaan denganmu, paman. Kalau aku menunggang kuda, engkaupun harus menunggang kuda. kalau engkau berjalan kaki, akupun harus lerjalan kaki!

Ma Giok dapat menangkap keputusan yang tidak dapat diubah lagi dalam ucapan Kui Siang itu dan dia merasa senang. Wanita muda ini memiliki watak yang baik, tidak ingin senang dan enak sendiri, juga mengenal budi,

"Baiklah, Kui Siang. Biarlah aku juga akan menunggang kuda. Tidak mungkin membiarkan engkau berjalan kaki. Kandunganmu sudah besar, jalan kaki terlalu jauh amat tidak baik bagi engkau dan bagi anak dalam kandunganmu."

Mereka memasuki dusun Lian-ki- jung. Siang telah berganti sore dan begitu memasuki dusun itu, mereka mendengar suara ribut-ribut di depari sana. Rumah-rumah penduduk di kanan kiri jalan tampak tertutup pintu dan jendelanya dan di luar rumah tampak sepi. A,gaknya semua orang telah bersembunyi dalam rumah masing-masing. Akan tetapi di sana, di depan sebuah mewah, sedang terjadi keributan dan agaknya sedang terjadi perkelahian banyak orang.melihat ini, Ma Giok berkata kepada Kui Siang.

"Engkau berhenti dulu di siri, Kul Siang. Bawa kudamu masuk pekarangan rumah di sebelah kiri itu." Setelah melihat Kui Siang dan kudanya bersembunyi, Ma giok lalu berlari cepat ke depan.

Setelah tiba di depan rumah gedung tu, di pekarangan rumah dan juga di atas jalan raya depan rumah, banyak orang sedang berkelahi menggunakan senjata tajam. Dia melihat dua belas orang berpakaian seperti perajurit pemerintah sedang melawan pengeroyokan lebih dari tiga puluh orang. Dia cepat nendekati dan karena dia tidak tahu sebab perkelahian dan tidak mengenal siapa puluhan orang itu, dia merasa ragu untuk berpihak siapa. Tentu saja dia akan membantu orang-orang yang pakaiannya menunjukkan bahwa mereka rakyat biasa yang melawan seregu pasukan perajurit Mancu, kalau saja dia nengenal orang-orang itu. Akan tetapi dia melihat betapa orang-orang itu sikapnya buas. Empat orang perajurit Mancu telah menggeletak mandi darah dan yang delapan orang lagi sudah terdesak hebat.

Tiba-tiba Ma Giok mendengar jeritan beberapa orang wanita. Dia memasuki pekarangan dan melihat beberapa orang berwajah bengis sedang memondong tiga orang wanita dan dibawa lari. Dan juga ada lima orang sedang mengangkut barang-barang berharga dari dalam rumah itu. Ma Giok mengerutkan alisnya. Kalau mereka itu pejuang, tentu tidak akan menculik wanita dan merampok. Alisnya berkerut. Dia sudah sering melihat penjahat-penjahat yang memakai kedok pejuang untuk melakukan perampokan dan penculikan wanita. Orang- orang seperti itu lebih jahat dari pada perampok dan lebih merugikan daripada musuh yang sebenarnya.

Perbuatan mereka itu mencemarkan kehormatan para pejuang dan mngotori arti perjuangan mempertahan nusa dan bangsa.

Ma Giok tidak ragu-ragu lagi. Dia melompat dan menghadang tiga orarg yang memondong tiga orang wanita yang menjerit-jerit itu. Kaki tangannya bergerak cepat dan tiga orang itu berpelantingan. Tiga orang wan ita yang tadinya mereka pondong itu terlepas dari pondongan dan ikut jatuh pula. Mereka menjerit dan segera melarikan diri lagi ke dalam gedung. Ma Giok tidak berhenti di situ. Cepat dia menerjang lima orang yang mengangkut barang-barang dan seperti tiga orang tadi, lima orang inipun berpelantingan jatuh ketika Ma Giok menyerang mereka dengan gerakan cepat sekali.

Melihat ini, mereka yang masih bertempur melawan delapan orang perajurit itu menjadi panik dan kacau karena di antara delapan orang yang dirobohkan Ma Giok itu terdapat tiga orang pemimpin mereka. Maka, setelah delapan orang itu bangkit dan memberi tanda suitan-suitan, mereka semua lalu berloncatan dan melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah gedung itu.

Para perajurit menolong empat orang rekan mereka yang terluka parah, dan sebagian lagi ada yang memberi hormat kepada Ma Giok dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi pada saat itu terdengar jerit tangis dari dalam gedung. Beberapa orang perajurit cepat lari masuk gedung dan tak lama kemudian mereka keluar lagi. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang tampak bingung dan sedih keluar bersama para perajurit tadi. Dari pakaiannya, tahulah Ma Giok bahwa orang itu tentu seorang pembesar pemerintah baru Mancu. Rasa tidak suka memenuhi hati Ma Giok. Sebagai seorang pejuang yang setia kepada kerajaan Beng yang sudah jatuh dan yang memusuhi orang Mancu yang menjajah, tentu saja dia merasa tidak suka kepada pembesar Mancu ini. Agaknya pembesar Mancu itu sudah mendengar laporan para perajurit. Dia segera memberi hormat kepada Ma Giok dengan mengangkat kedua tangan depan dada

"Tai-hiap (pendekar besar), banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi …… harap tai-hiap tidak kepalang menolong kami. Putera kami …… dan isterinya, yang baru sepekan menikah …. "'tadi dilarikan penjahat lewat pintu belakang. Tolonglah, tai-hiap

…… tolong selamatkan mereka ……" Dia memberi hormat berulang-ulang, mengangkat kedua tangan dan memmbungkuk-bungkuk. Mendengar ini, Ma Giok mengerutkan alisnya.

Posting Komentar