.
"Ahhh, tidak kusangka gadis yang sudah kuanggap anak sendiri, yang telah menjadi calon mantuku, kini malah menjadi penghalang besar. Apa yang harus kita lakukan?"
"Goan-swe, dalam perjuangan, setiap penghalang, dari manapun datangnya dan siapapun orangnya, harus dienyahkan! kata Hong-san Siansu sambil mengerutkan alisnya. Dia merasa khawatir sekali bahwa gadis itulah yang kelak akan menggagalkan semua siasat yang telah mereka rencanakan.
"Tidak! Aku tidak setuju!" Tiba-tiba Chou Kian Ki berkata tegas. "Ia adalah calon isteriku, bagaimana mungkin ia harus dienyahkan?"
"Kalau hal itu tidak dapat dilakukan karena Chou Kongcu mencinta calon isterinya, harus dicari jalan lain yang akan dapat memaksa Nona Ong mau membantu kita dan tidak akan menjadi penghalang," kata pula Hongsan Siansu dengan sabar. "Saya akan mencari jalan terbaik dan berilah saya waktu selama beberapa hari untuk merenungkan dan mencari jalan terbaik, Goanswe."
"Baiklah, Suhu. Kita akhiri persidangan ini sekarang dan harus secepatnya Suhu memberi tahu kalau sudah menemukan cara yang terbaik untuk mengatasi gangguan ini." kata Jenderal Chou. Pertemuan itu dibubarkan dan Jenderal Chou memesan kepada puteranya agar tidak menyinggung soal perjuangan itu kepada Hui Lan. Juga kepada semua keluarga dia perintahkan agar bersikap biasa dan ramah kepada gadis calon mantunya itu
Hui Lan yang tadinya setelah persidangan itu dan meninggalkan pulang gedung Pangeran Chou merasa risau tidak enak hati, perlahan-lahan pulih kembali perasaannya setelah sikap semua keluarga itu kepadanya tidak berubah dan tetap baik. Diam-diam ia pun menyadari bahwa siasat atau akal itu memang masuk akal kalau dipergunakan mereka yang berjuang, akan tetapi tetap saja berlawanan dengan suara hatinya. Biarlah kalau mereka mau melakukan siasat itu, ia tidak akan turut campur!
ooOOoo
Dua hari kemudian, Panglima Cu kepala pasukan keamanan kota raja itu datang menghadap Jenderal Chou Ban Heng mengantar Ang-hwa Niocu dan Liu Cin yang berhasil dia ajak ke gedung Jendera! Chou. Mula-mula Liu Cin tidak tertuju karena gurunya berpesan kepadanya agar dia tidak mencampuri urusan pemerintahan dan tidak melibatkan diri dengan urusan para bangsawan dan pejabat tinggi, melainkan hanya bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang si jahat membela yang benar, menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi dengan pandainya Ang- hwa Niocu Lai Cu Yin membujuk dan merayunya. Karena diam-diam Liu Cin yang masih lugu dan percaya sepenuhnya kepada wanita itu telah tertarik oleh gadis cantik dan lihai yang dianggapnya juga seorang pendekar wanita itu, akhirnya dia mau ikut juga.
Jenderal Chou dan puteranya, Chou Kian Ki, didampingi pula oleh Hongsan Siansu,menyambut mereka di ruangan tamu. Dengan wajah berseri bangga, Panglima Cu yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, setelah memberi hormat dan mereka semua duduk, berkata.
"Goanswe, inilah pendekar wanita Ang Hwa Niocu dan pendekar Siauwlimpai Liu Cin, telah bersedia memenuhi undangan Goanswe."
Jenderal Chou mengangguk lalu memberi isarat agar Panglima Cu meninggalkan dua orang tamu itu bersama dia, puteranya, dan gurunya. Panglima iti memberi hormat dan mengundurkan diri.
Sementara itu, kalau Liu Cin duduk dengan tenang menghadapi Jenderal Chou Ang Hwa Niocu dengan wajah berseri memandang ke sekeliling, melihat prabot an dan hiasan kamar tamu yang mewah itu. Kemudian dia memandang pihak tuan rumah satu demi satu, akan tetapi yang terakhir pandang matanya bertemu dan bertaut dengan pandang mata Chou Kian Ki, dan bibirnya tersenyum manis sekali penuh daya pikat!
"Selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita) dan Enghiong (Pendekar). Perkenalkan, kami adalah Jenderal Chou Ban Heng, Penasehat Angkatan Perang Kera jaan Sung, dahulu kami adalah pangeran Kerajaan Chou. Dan ini adalah putera kami bernama Chou Kian Ki." Dia menunjuk puteranya. "Siapakah she (marga) dan nama Jiwi (Kalian berdua) yang terhormat?" "Saya bernama Lai Cu Yin, Jenderal." jawab Cu Yin sambil memberi hormat.
"Saya bernama Liu Cin, Taijin (sebutan Pembesar)." kata murid Siauwlimpai itu, sederhana.
"Kami mendengar bahwa Lai Lihiap berjuluk Ang Hwa Niocu, dan Liu Enghiong berjuluk Siauwlim Enghiong. Benarkah?"
"Aih, itu hanya julukan orang-orang saja, Goanswe."
"Jangan merendahkan diri, Lihiap. Kalau kami tidak salah dengar Lihiap adalah puteri mendiang Hwa Hwa Moli yang namanya amat terkenal dahulu. Pasti Lihiap memiliki ilmu silat yang lihai sekali, dan Liu Enghiong sebagai murid Siauwlimpai juga merupakan jaminan akan kehebatan ilmu silatnya."
"Taijin, cukuplah puji-pujian itu. Saya hanya ingin sekali mendengar, apa maksud Taijin mengundang kami datang menghadap ke sini?" tanya Liu Cin yang tidak senang mendengar puji-pujian yang dianggapnya berlebihan itu. Lai Cu Yin yang sebaliknya senang sekali dipuji-puji seorang pejabat tinggi dengan wajah berseri melirik tajam kepada Liu Cin untuk menegurnya,. akan tetapi Liu Cin pura-pura tidak melihatnya.
"Ah, agaknya engkau seorang pendekar yang terbuka dan jujur tanpa basa-basi, Liu Enghiong. Kami suka watak jantan seperti itu. Baik, Liu Enghiong dan Lai Lihiap.
Terus terang saja, kami mempunyai hubungan luas dengan para pendekar. Kami senang berhubungan dan bersahabat dengan para pendekar yang kami tahu selalu membela kebenaran dan keadilan demi rakyat jelata. Oya, perkenalkan, beliau ini adalah guru dan penasehat kami yang berjuluk Hongsan Siansu." Jenderal Chou berkata sambil memperkenalkan kakek itu.
Ang Hwa Niocu Lai Cu Yin berseru kaget. "Ah, sudah lama saya mendengar nama besar Siansu. Bukankah Siansu adalah ketua dari Hongsan-pang?"
Kakek itu mengangguk membenarkan. "Dan saya juga pernah mengagumi kehebatan mendiang ibumu, Hwa Hwa Moh."
"Akan tetapi apakah yang Taijin inginkan dari kami berdua?" Liu Cin bertanya lagi. "Apa yang kami inginkan? Kami menganjak kalian berdua untuk bekerja sama." "Mengerjakan apakah, Taijin?"
"Apalagi kalau bukan menentang yang korup dan jahat, yang menyengsarakan rakyat? Kami mengajak kalian berdua untuk melakukan pekerjaan besar guna menentang yang jahat dan membela rakyat, menegakkan kebenaran dan keadilan." kata Jenderal Chou.
"Aih, cita-cita Coanswe itu mulia sekali dan tentu saja kami suka sekali membantu, asal saja kami mendapat imbalan yang memuaskan karena kami berdua adalah orang-orang yatim piatu, perantau yang tidak mempunyai apa-apa." kata Ang Hwa Niocu Lai Cu Yin. Liu Cin terkejut dan mukanya berubah merah mendengar ucapan gadis itu yang dianggapnya memalukan. Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, ia tidak mau menyangkal dan berkata dengan tak sabar lagi.
"Harap Taijn jelaskan, pekerjaan apa yang Taijin maksudkan, sehingga Taiji mengajak kami untuk melakukannya."
"Begini, Liu Enghiong. Sebagai seorang pejabat tinggi kami melihat betapa banyaknya terdapat pembesar pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan yang melakukan korupsi berlumba mengumpulkan kekayaan untuk dirinya sendiri. Nah, kami ingin mengajak para pendekar seperti kalian berdua untuk menentang dan memberantas mereka."
"Akan tetapi, Taijin sebagai seorang pejabat tinggi bukankah dapat bertindak untuk menghukum atau memecat mereka? Mengapa membutuhkan orang-orang biasa seperti kami?" Biarpun tidak sangat cerdik, bahkan lugu dan sederhana, namun Liu Cin selalu ingin bertindak sesuai dengan apa yang dia pelajari dari gurunya. Apa yang dikemukakan Jenderal Chou itu adalah urusan pemerintah, dan gurunya melarang dia terlibat dalam urusan pemerintah.
"Ah, tidak semudah itu,Enghiong! Mereka itu pun memperkuat diri dengan memelihara jagoan-jagoan. Kalau kami bertindak menurut jalur hukum pemerintah, mereka pasti mampu membela diri secara hukum pula. Banyak pula di antara mereka yang dekat hubungannya dengan Sribaginda Kaisar dan kalau mereka mengandalkan pengaruh Sribaginda, tentu kami tidak dapat berkutik. Karena Itulah kami hendak melawan mereka dengan cara kami sendiri. Nah, bagaimana pendapat Ji-wi? Kalau Ji-wi menerima penawaran kami, Ji-wi boleh tinggal di gedung kami ini dan segala keperluan Ji-wi kami cukupi, juga kalau Jiwi memerlukan uang "
"Cukup, Taijin. Saya belum dapat memberi keputusan apakah saya dapat menerima ajakan itu. Setidaknya saya harus mempelajari dulu dan melihat perkembangannya selama beberapa hari ini. Setelah saya selidiki dan ternyata apa yang Taijin tawarkan itu cocok, tentu saja akan menerimanya. Sekarang saya mohon pamit, saya akan kembali ke rumah penginapan."
"Eeit, nanti dulu, Cin-ko. Aku belu menyatakan pendapatku kepada Chou Goanswe." kata Cu Yin
.
"Ha-ha, benar sekali. Bagaimana kalau menurut pendapatmu, Lihiap? Apak engkau menerima tawaranku?" tanya Jenderal Chou.
"Goanswe. harap jangan sebut saya Lihiap, Sebut saja namaku, Cu Yin." kata gadis itu sambil tersenyum manis. Sejak tadi ia bermain-mata dengan Chou Kian Ki, dan baru sekarang Jendera Chou melihat betapa manisnya gadis itu kalau tersenyum dan memandang dengan sinar mata demikian jeli dan memikat.