Liu Cin bangkit berdiri. "Tidak, Yin moi. Aku masih mempunyai guruku yang menjadi wakil orang tuaku. Hal ini harus dibicarakan dulu dengan guruku, aku tidak berani melanggar. Nah, tidurlah, Yin-moi dan tenangkan hatimu. Jangan bicarakan hal itu lagi sekarang, tidurlah karena besok pagi pagi kita harus melanjutkan perjalanan ke kota raja. Selamat tidur, Yin-moi." Setelah berkata demikian, Liu Cin membuka daun pintu dan memberi isarat dengan sikap hormat agar gadis itu suka kembali ke kamarnya sendiri.
Cu Yin hampir tidak percaya. Ia merasa sudah berhasil memikat Liu Cin dan yakin bahwa pemuda itu cinta padanya dan memiliki gairah terhadap dirinya. Akan tetapi setelah ia hampir yakin usahanya berhasil, tiba-tiba saja pemuda itu menolaknya! Bangkit kemarahan dalam hatinya. Kalau bukan Liu Cin yang bersikap menolak seperti itu, pasti ia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, ia tidak mau membuat ribut di rumah penginapan yang tentu akan menarik perhatian karena pemuda itu tentu akan melawan dan tidak begitu mudah dibunuh. Selain itu, juga ia merasa sayang kalau pemuda itu dibunuh begitu saja. Sudah sekian lamanya ia bersabar dan berusaha menalukkannya. la berhasil membuat pemuda itu jatuh cinta kepadanya, akan tetapi sama sekali tidak berhasil merayunya untuk melayani nafsu berahinya.
Tanpa bicara lagi la lalu berlari keluar dari kamar itu dan kembali ke dalam kamarnya. Liu Cin menghela napas panjang, setengah lega setengah menyesal harus smenolak ajakan Cu Yin yang telah menjatuhkan hatinya. Pelajaran tentang kesusilaan yang ditanamkan dalam batinnya telah tumbuh kuat sehingga menyelamatkannya dari perbuatan yang melanggar sendi-sendi kesusilaan yang dijunjung tinggi oleh gurunya. Akan tetapi, dia benar-benar terguncang karena hawa nafsu juga berkobar dalam dirinya, maka dia cepat bersila di atas pembaringannya untuk bersamadhi dan memadamkan api berahi itu.
Pada keesokan harinya, ketika Liu Cin keluar dari kamarnya setelah mandil dan tukar pakaian, dengan heran dia melihat Liu Cin sudah duduk di ruangan depan, sudah mandi dan mengenakan pakaian baru, dan diam-diam dia merasa heran karena sejak tadi dia sendiri merasa gelisahdan salah tingkah merenuangkan pertemuannya pagi itu dengan Cu Yin, akan tetapi dia melihat Cu Yin berwajah cerah, bahkan berseri-seri, biasanya tersenyum manis dan matanya pun sama sekali tidak memperlihatkan tanda habis menangis. Ia tidak tampak sedih, marah, atau malu, seolah semalam tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Di samping rasa heran, juga Liu Cin diam-diam merasa lega dan bersukur karena sikap gadis itu benar-benar mengusir semua kegelisahannya.
"Selamat pagi, Cin-ko." katanya sambil tersenyum. Wajahnya tampak berseri seperti orang yang merasa puas dan serang. "Selamat pagi, Yin-moi. Sepagi ini engkau sudah selesai berkemas rupanya." Liu Cin melihat betapa buntalan pakaian dan pedang gadis itu sudah diletakkan di atas meja di dekatnya. "Kalau begitu, aku juga harus berkemas!"
"Cepatlah, Cin-ko. Kita sarapan dulu di rumah makan sebelah timur penginapan ini, lalu kembali mengambil kereta dan melanjutkan perjalanan."
Liu Cin mengemasi pakaiannya. Mereka berdua lalu pergi ke rumah makan yang pagi-pagi sudah buka karena biasa melayani orang-orang sarapan pagi di situ. Meja- mejanya penuh dan masih untung mereka mendapatkan sebuah meja kosong yang baru saja ditinggalkan tamu.
Mereka makan bubur ayam dan minum teh hangat. Setelah selesai sarapai dan hendak membayar, tiba-tiba percakapan orang-orang dari meja sebelah menarik perhatian mereka.
"Apa? Engkau belum mendengarnya Sungguh, semalam ada siluman rase (musang) mengambil korban dua orang pemuda!" kata seorang laki-laki gemuk kepada temannya yang kurus.
"Benar, kami juga mendengar berita menyeramkan itu " kata seorang tamu lain yang duduk di meja sebelah kiri bersama dua orang temannya.
"Aku yang menjadi saksi hidup bahwa berita itu memang benar, bukan kosong belaka!" tiba-tiba seorang laki-laki tua kurus yang penuh keriput berkata sambil mengangguk-angguk. Semua orang, termasuk Liu Cin dan Lai Cu Yin, memandang kepada orang tua itu. Laki-laki tua itu tampak gembira. Dia adalah model orang tua yang suka berceloteh dan bangga kalau dapat menceritakan berita yang belum diketahui orang lain sehingga semua perhatian ditujukan kepadanya, seolah dia yang menjadi pahlawan dalam apa yang dia ceritakan.
"Bagaimana ceritanya, Lo-pek (Paman tua)?" tanya beberapa orang.
Kakek itu memasang gaya ketika semua orang memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seolah pandang mata mereka semua bergantung pada bibirnya yang kering.
.
"Malam tadi seperti kalian semua tahu, malam tidak hujan akan tetapi bulan sepotong memberi cahaya yang menyeramkan dan udaranya amat dingin sehingga aku sendiri tidak mempunyai niat untuk keluar dari rumah "
Aih, ceritakan tentang siluman rase itu, Lo-pek!" cela seseorang. "Tidak sabaran benar sih, engkau!" Kakek itu cemberut.
"Biarkan dia bercerita." Orang lain mencela orang yang memotong cerita tadi."Lanjutkan, Lo-pek!"
"Akan tetapi pada tengah malam aku mendengar burung hantu terbang lewat rumahku dan mengeluarkan bunyi yang menyeramkan itu. Nah, pada keesokan paginya, pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing, aku teringat bahwa saluran air ke sawahku belum dibuka bendungannya. Aku lalu pergi di bawah sinar bulan reman-remang menuju ke sawah di luar dusun. Nah, di sana, di dekat gubuk besar yang kita bangun bersama di tepi sawah itu, dalam keremangannya sinar bulan, aku melihat seorang wanita cantik sekali terbang "
"Ihhh!" Beberapa orang berseru ngeri. Pada jaman itu, semua orang percaya bahwa apa yang disebut siluman rase adalah siluman yang suka beralih rupa menjadi wanita yang sangat cantik dan biasanya suka menggoda laki-laki.
"Lo-pek, bagaimana engkau tahu bahwa ia itu wanita cantik kalau cuacanya tidak begitu terang?" tanya seseorang.
Kakek itu tampak marah. "Hemmm, tua-tua begini mataku masih awas dan aku sudah biasa melihat dalam gelap. Tampak jelas ia seorang wanita, tubuhnya ramping menggairahkan dan wajahnya cantik jelita seperti dewi! Jelas ia seorang wanita muda yang cantik sekali, aku berani bersumpah! Wanita itu pergi seperti terbang saja. Tubuhnya seperti melayang di atas tanah dan tak lama kemudian ia sudah menghilang. Karena merasa ngeri, aku lalu berlari pulang, tidak jadi membuka bendungan air. Lalu tadi aku mendengar ramai-ramai orang meributkan bahwa di gubuk itu ditemukan mayat dua orang pemuda, yaitu Ang Kongcu (Tuan Muda Ang) putera kepala dusun kita dan seorang temannya, Si A-lok! Tentu dua orang pemuda itu menjadi korban Siluman Rase yang kulihat sebagai puteri cantik itu!"
Tampak jelas betapa hampir semua orang bergidik dan ketakutan.
Liu Cin saling pandang dengan Cu Yin dan melihat wajah gadis itu juga tampak ketakutan. Dia merasa penasaran. "Lo-pek, apa buktinya bahwa dua orang itu terbunuh oleh wanita yang kau anggap siluman rase itu?"
Kakek Itu memandang kepada Liu Cin dan berkata, "Ah, agaknya engkau bukan penduduk sini, ya? Sudah jelas mereka menjadi korban siluman rase. Mendengar ribut-ribut itu aku segera berlari ke sana dan aku melihat sendiri dua mayat pemuda itu. Jelas mereka berdua dibunuh oleh siluman rase."
"Bisa saja dia terbunuh oleh orang jahat seperti perampok misalnya." bantah Liu Cin,
"Tidak mungkin! Pakaian mereka masih lengkap berada di gubuk ita dan uang di saku baju Ang Kongcu masih utuh. Bukti lain yang tidak dapat diragukan lagi, dua orang pemuda itu mati dalam keadaan telanjang bulat"
"Ihhh !!" Banyak mulut berseru dan bergidiklah mereka yang berada di situ.
Bahkan yang sedang makan membatalkan makannya karena merasa muak.
"Tepat seperti dalam cerita tentang siluman rase. Mereka itu tentu diculik siluman yang menjadi wanita cantik, dipaksa untuk bercinta kemudian darah mereka dihisap sampai habis. Buktinya, dua orang pemuda itu mati tanpa ada luka sama sekalil"
Kembali semua orang bergidik dan satu demi satu segera meninggalkan rumah makan karena merasa ngeri dan ada yang hendak membuktikan sendiri. Banyak orang berbondong menuju ke luar dusun di mana dua mayat itu ditemukan. Liu Cin dan Cu Yin juga keluar dari rumah makan itu. Mereka mengambil kereta dari rumah penginapan. Setelah kereta mereka keluar dari dusun itu, Cu Yin berkata, "lhhh, ngeri benar cerita mereka tadi !"
"Mungkin dilebih-lebihkan," kata Liu Cin. "Bisa saja dibunuh orang yang balas dendam dengan pukulan mematikan, kemudian mereka ditelanjangi agar tersiar bahwa pembunuhnya adalah iblis."
Cu Yin diam saja. Ia tidak merasa menyesal membunuh dua orang pemudi itu. Sejak bergaul dengan Liu Cin, ia telah menahan-nahan gelora nafsunya dan malam itu merupakan puncaknya ketika ia ditolak oleh Liu Cin. Maka kumatlah penyakitnya dan diam-diam ia mencari mangsanya. Sebetulnya dengan senang hati dua orang pemuda itu menuruti kemauannya. Ia terpaksa membunuh mereka pada keesokan paginya karena ia tidak ingin mereka itu membuka rahasianya sehingga terdengar oleh Liu Cin. Ia sudah terlanjur bersikap sebagai seorang gadis terhormat dan sopan di depan Liu Cin dan mengharapkan cintanya.
Mereka melanjutkan perjalanan dani Liu Cin sama sekali tidak mencurigai Cu Yin walaupun hatinya merasa heran melihat Cu Yin yang malam tadi ia buat kecewa itu kini bersikap manis seperti biasa.
ooOOoo
Ong Hui Lan melangkah dengan tenang dan la melamun. Perjalanannya sudah tiba dekat tujuan, yaitu kota raja. Ia melakukan perjalanan dari Nan-king menuju ke kota raja untuk memenuhi perintah ayahnya.
Ong Su, ayah Ong Hui Lan, adalah seorang bangsawan Kerajaan Chou yang dulu menjadi Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou. Setelah Kerajaan Chou jatuh, dia tidak mau membantu pemerintah baru Kerajaan Sung dan pindah ke Nan-king di mana dia menjadi pengajar sastra bagi anak-anak para hartawan dan bangsawan.