Si Rajawali Sakti Chapter 40

NIC

Yin.

Sebetulnya, kalau menuruti kehendaknya sendiri, Cu Yin ingin membunuh lima orang laki-laki yang berani menentangnya. Kalau ia tidak bersama Liu Cin semua pengeroyok itu tentu sudah di bunuhnya. Akan tetapi ia khawatir hal itu akan mendatangkan rasa tidak senang dalam hati Liu Cin, maka sampai sekian lamanya ia masih belum mau merobohkan dua orang lawannya.

Kini mendengar seruan Liu Cin untuk ke dua kalian, ia lalu mencabut dua tangkai bunga merah dari rambut kepalanya dengan tangan kiri dan dua kali ia menggerakkan tangan kiri, sinar merh meluncur dan dua orang pengeroyoknya mengaduh lalu berlompatan ke belakang. Pundak mereka terkena bunga merah yang meluncur cepat tadi dan setangkai bunga itu menancap di pundak mereka, menembus baju dan kulit, terasa pedih dan panas. Sementara itu, melihat tiga orang temannya yang berpedang juga kewalahan dan terdesak oleh Liu Cin, dua orang murid Siauwlimpai itu berseru kepada tiga orang temannya yang segera berlompatan ke belakang.

Laki-laki berusia lima puluh tahun itu kini memandang kepada Liu Cin dan bertanya, "Orang muda, bukankah engkau seorang murid Siauwlimpai? Siapa namamu?"

"Namaku Liu Cin dan siapa guruku tidak perlu kukatakan." jawab Liu Cin.

"Sahabatku ini berjuluk Siauwlim Enghiong (Pendekar Siauwlim)!" kata Cu Yin sambil tersenyum.

Laki-laki setengah tua itu lalu berkata, "Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi lain kali kami akan membuat perhitungan!" Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya dan pergi diikuti empat orang yang lain.

Setelah mereka pergi. Cu Yin dan Ll Cin kembali duduk di atas kereta yang segera dijalankan melanjutkan perjalanan mereka.

"Yin-moi, mengapa engkau mengatakan kepada mereka bahwa aku seorang pendekar Siauwlimpai?"

"Kenapa, Cin-ko? Tidak keliru, bukan Engkau memang seorang enghiong (pendekar) dari Siauwlimpai." kata Cu Yi sambil tersenyum. Hatinya senang karena lagi-lagi pemuda ini membelanya ketika ia dikeroyok lima orang itu. Ini baginya merupakan pertanda bahwa Liu Cin mulai "ada hati" kepadanya.

"Dua orang itu juga murid Siauwilm pai, Yin-moi. Aku dapat mengenal llmu toya mereka ketika mereka mengeroyokmu."

"Akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih rendah, Cin-ko."

"Biarpun begitu, jelas mereka itu murid Siauwlimpai, maka aku merasa heran sekali bagaimana engkau dapat dimusuhi murid-murid Siauwlimpai. Hal Ini tentu saja membuat hatiku merasa tidak enak, karena bagaimanapun juga mereka adalah saudara-suadara seperguruan denganku, walaupun aku tidak mengenal mereka."

"Hemmm, Cin-ko, agaknya engkau memang belum banyak pengalaman di dunia kangouw. Ketahuilah bahwa nama aliran tidak menjamin seorang murid itu mesti baik. Banyak saja murid perguruan besar yang menjadi penjahat dan biarpun saudara seperguruanmu kalau mereka jahat, apakah engkau juga akan membelanya?"

Liu Cin memang tidak pandai bicara dan dia sudah mulai percaya sepenuhnya kepada Cu Yin, maka dia menerima semua keterangan gadis itu.

Di sepanjang perjalanan menuju ke kota raja itu, Cu Yin selalu bersikap ramah, akrab dan terkadang mesra namun masih dalam batas kesopanan sehingga Liu Cin mulai merasa bahwa gadis itu mencintanya dan dia pun amat tertarik karena gadis itu bersikap demikian lembut, ramah, dan baik hati. Bahkan di sepanjang perjalanan, sering Cu Yin dengan sengaja membagi-bagi uang kepada penduduk dusun yang miskin sehingga pemuda itu menjadi semakin kagum!

Pada suatu hari mereka berhenti sebuah dusun yang cukup ramai dan seperti biasa, kembali mereka bermalam di dalam sebuah rumah penginapan, menyewa dua buah kamar. Baru saja Liu Cin memasuki kamarnya dan melepas sepatu lalu merebahkan diri di atas pembaringan sambil membayangkan wajah Lai Cu Yin yang kini benar- benar telah memikatnya,daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar.

Dengan kaki telanjang Liu Cin turun dari pembaringan dan membuka dauri pintu. Cu Yin berlari masuk sambil menangis! Tentu saja Liu Cin menjadi terkejut, heran dan khawatir. Dia menutupkan daun pintu agar tangis gadis itu tidak terdengar atau terlihat orang lain dari luar. Kemudian dia menghampiri Cu Yin yang sudah duduk di tepi pembaringan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang.

Karena khawatir dan bingung, Liu Cin lupa akan kepantasan dan tanpa dia sadari dia pun duduk di sebelah Cu Yin, memegang pundaknya dan bertanya dengan halus dan khawatir. "Yin-moi, ada apakah? Kenapa engkau menangis, Yin-moi? Apa yang terjadi ?"

Mendengar suara pemuda itu dan merasa betapa pundaknya dipegang, dengan sentuhan mesra, tiba-tiba Cu Yin merangkul dan menangis di pundak pemuda itu. Tangisnya mengguguk dan sedih sekali. Liu Cin tentu saja terkejut dan juga rikuh dan bingung, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menolak?

"Yin-moi, katakanlah, kenapa engkau menangis sesedih ini? Apa yang terjadi ?" Dia merasa betapa air mata gadis itu merembes dan menembus

bajunya, membasahi kulit pundaknya. Dia merasa terharu sekali.

Cu Yin masih terisak-isak. Akan tetapi isaknya makin berkurang dan ia akhirnya melepaskan rangkulannya dan kedua tangan menggosok-gosok kedua mata dengan kedua tangannya. Ketik tangannya diturunkan Liu Cin melihat mata yang indah itu kini agak kemerahan dan pipinya masih basah.

Kemudian Cu Yin menundukkan pandang matanya dan dengan suara masih diselingi isak tertahan ia berkata, suaranya gemetar dan lirih.

"Cin-ko........ besok siang.......... besok siang kita sudah akan tiba di kota raja "

Liu Cin menjadi semakin heran. "Kalau begitu, kenapa? Bukankah memang tujuan kita ke kota raja, Yin-moi? Mengapa engkau bersedih?"

“.............. setelah tiba di sana.......... kita ............ kita akan berpisah engkau

akan ........... tinggalkan aku.............. hu-hu-hu-huuuh ” Kembali Cu Yin

merangkul dan kini ia menangis tersedu-sedu di dada Liu Cin!

Kembali Liu Cin gelagapan, akal tetapi dia merasa tidak tega untuk melepaskan rangkulan gadis itu yang membuat dia menjadi serba salah dan tida karuan rasanya. Jantungnya berdebar-debar, tubuhnya panas dingin ketika merasa betapa tubuh gadis itu melekat pada tubuhnya, pakaian penutup tubuh itu terasa seolah tidak ada.

"Tapi tapi, Yin-moi, sudah semestinya kita berpisah. Akan tetapi persahabatan

kita tidak akan pernah hilang " Dia mencoba untuk menghibur, diam-diam

merasa heran sekali mengapa perpisahan yang sudah semestinya terjadij itu demikian menyedihkan hati Cu Yin.

“……. uhu-huuuh....... aku........ aku akan mati kalau kau tinggalkan, Cin-ko aku

aku cinta padamu, Cin-ko.......... jangan kau tinggalkan aku " Cu Yin menangis

lagi.

Jantung dalam dada Liu Cin semakin berdegup kencang "Yin-moi, aku juga sayang padamu "

"Cln-ko !!" Dan dengan tarikan kuat, Cu Yin merebahkan diri telentang di atas

pembaringan sambil tetap merangkul leher Liu Cin sehingga pemuda itu pun ikut pula jatuh rebah di atas tubuh wanita itu. Sejenak mereka berdekapan, lalu tiba-tiba Liu Cin sadar bahwa perbuatan itu tidak layak dan tidak baik, melanggar tata susila yang diajarkan gurunya kepadanya. Maka cepat dia melepaskan rangkulan wanita itu dan bangkit duduk, menarik napas panjang untuk meredakan gelora dalam hatinya.

"Cin-ko " Cu Yin memanggil dengan suara yang merdu dan ruyu dan terengah-

engah.

Liu Cin menoleh dan memandang Wanita itu rebah telentang dengan gaya yang amat memikat sehingga dia cepat mengalihkan lagi pandang matanya dan memandang ke lain jurusan.

"Cln-ko, kenapa engkau menjauhkan diri."

"Yin-moi, apa yang kita lakukan ini tidaklah benar. Salah dan buruk sekali!"

"Tapi, Cin-ko, bukankah engkau juga sayang padaku? Bukankah engkau mencintaku seperti aku mencintamu?" suara wanita itu kini lebih keras dan mengandung tuntutan dan penasaran.

"Yin-moi, cinta bukan berarti harus melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan."

“Cin-ko!" Suara Cu Yin kini terdengar kaku dan ia pun bangkit duduk di sebelah Liu Cin. "Apa maksudmu dengan melanggar kesusilaan? Kita saling mencinta apa salahnya bermesraan dan melampiaskan perasaan cinta kita?"

"Yin-moi, kita adalah sahabat, sama sekali tidak boleh melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan suami isteri.”

"Kita bisa menjadi suami isteri! Aku mau menjadi isterimu, Cin-ko!"

Liu Cin menghela napas dan bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi tetap tidak berani menentang pandangan mata Cu Yin. "Yin-moi, pernikahan bukanlah urusan semudah itu. Harusdilakukan dengan persetujuan orang tua "

"Akan tetapi kita sudah yatim piatu Tidak perlu mendapat restu orang tua lagi. Kita dapat begitu saja menjadi suami isteri atas persetujuan kita sendiri!"

Posting Komentar