Si Rajawali Sakti Chapter 38

NIC

"Ah, aku senang sekali, Cin-ko. lum pernah aku memiliki seorang sahabat pria yang begini gagah perkasa dan baik hati sepertimu!"

"Wah, jangan terlalu memuji, Yi-moi. Aku pun terus terang saja selama hidupku belum pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau dan aku masih merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau mau bersahabat dengan seorang miskin dan tidak punya apa-apa seperti aku." "Wih, sudahlah tidak perlu lagi bersungkan-sungkan, Cin-ko. Sebetulnya engkau datang dari mana dan hendak kemana?"

"Setelah beberapa bulan yang lalu aku disuruh turun gunung oleh guruku ”

"Siapakah nama gurumu yang mulia? Beliau tentu seorang datuk yang sakti."

"Suhu adalah Ceng In Hosiang, seorang pendeta Siauwlimpai. Aku disuruh turun gunung dan aku merantau, tadinya aku berniat pergi ke kota raja untuk melihat keadaan kota raja, akan tetapi mendengar akan keramaian kota Pao-ting, aku ingin mengunjungi kota itu lebih dulu. Ketika lewat di sini aku melihat perkelahian tadi."

"Aih, sungguh kebetulan sekalil Ini g dinamakan jodoh! Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke Pao-ling dan tujuanku terakhir memang kota raja Peking! Maka, kalau saja engkau sudi melakukan perjalanan bersamaku, kita dapat pergi ke sana bersama, Cin-ko!" kata gadis itu dengan girang.

"Ah, tentu saja aku senang sekali, Yin-moi, dan terima kasih!"

"Nah, naiklah ke keretaku, Cin-koi. Sekarang ada engkau yang tentu suka menggantikan aku menjadi kusir!"

Liu Cin tertawa senang. Mereka berdua menaiki kereta dan Liu Cin memegang kendali kereta setelah membantu gadis itu memasang dua ekor kuda, sedangkan gadis itu duduk di sampingnya Kereta bergerak cepat menuju ke timur, ke arah kota Pao-ting.

Liu Cin merasa betapa jantungnya berdebar aneh ketika karena kereta bergoyang, tubuhnya bersentuhan dan terkadang merapat dengan tubuh Ang-hwa Niocu yang duduk disampingnya. Dia merasakan tekanan tubuh yang lembut dan hangat, mencium bau harum dan rambut dan tubuh wanita itu. Pengalaman yang baru pertama kali dalam hidupnya dia rasakan ini membuat jantungnya berdegup dan dia merasa bingung dan tegang.

Akan tetapi sekali ini Ang-hwa Nioc sengaja tidak menuruti gejolak berahinya. Biasanya, berdekatan dengan orang laki-laki muda yang menggairahkan hatinya, ia langsung merangkul dan merayu. Akan tetapi ia maklum bahwa Liu Cin adalah seorang pendekar muda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman bergaul dengan wanita. Masih seoorang perjaka, maka ia tidak mau membikin pemuda itu terkejut dan takut, la tidak mau kehilangan Liu Cin, juga tidak ingin menggunakan paksaan atau kekerasan kepada pemuda ini. la menginginkan Liu Cin mencintanya dengan sukarela. Lama ia merindukan cinta kasih tulus seorang pria, tanpa paksaan, dan bukan hanya tertarik oleh kecantikannya belaka. Karena itu ia membatasi diri, walaupun sentuhan-sentuhan yang terjadi kepada badan mereka karena duduk bersanding dan kereta berguncang di jalan yang kasar itu cukup membuat nafsu berahinya berkobar.

Baru sekarang Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin benar-benar haus kasih sayang sejati seorang pria. Karena itu, ketika dalam perjalanan itu Liu Cin bertanya tentang riwayatnya, ia mau menceritakan. Lai Cu Yin dibawa lari oleh ibu kandungnya keluar dari Ko-le-kok (Korea), mengungsi ke daerah pedalaman Cina bagian utara. Ibu kandungnya adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang menjadi isteri seorang jenderal di kerajaan Ko-le kok. Karena sakit hati melihat jenderal yang menjadi suaminya itu mulai menyia-nyiakannya setelah ia berusia empat puluh tahun, dengan mengambil semakin banyak selir muda dan tidak mempedulikannya. Leng Kin, wanita itu tergoda oleh seorang perwira muda dan menjalin hubungan cinta gelap dengan perwira itu. Akan tetapi setelah hubung an itu berjalan setahun, sang perwira juga meninggalkannya. Bukan itu saja, perwira itu membuat laporan palsu kepada suaminya bahwa ia telah melakukan penyelewengan. Suaminya marah dan hendak menghukumnya, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, Leng Kin dapat menyelamatkan diri dan pergi membawa lari puterinya, Cu Yin yang baru berusi sepuluh tahun. Mula-mula ia hanya lari keluar dari lingkungan keluarga bangsawan dan berhasil membunuh perwira yang telah mengkhianatinya. Kemudian karena menjadi buronan, ia membawa puterinya lari keluar dari daerah Ko-le-kok memasuki daerah Cina bagian Timur Laut.

Di sana dia bertemu dengan seorang pendekar yang usianya lima puluh tahun, bernama Lai Koan, kemudian menjadi Isteri pendekar itu. Cu Yin yang berusia lima puluh tahun itu lalu memakai nama marga Lai dari ayah tirinya. Akan tetapi pernikahan itu pun hanya bertahan selama satu tahun karena setelah terjadi keributan di perbatasan yang menimbulkan permusuhan antara bangsa Ko-le-kok dan bangsa Cina, Lai Koan mulai membenci isterinya yang berbangsa Ko-le-kok.

Apalagi dia mendengar akan riwayat isterinya yang sebagai isteri telah melakukan penyelewengan. Mereka bertengkar dan berpisah.

Sejak saat itu, Leng Kin membenci kaum pria. Ia memperdalam ilmu silatnya dan mempelajari ilmu silat banyak aliran sehingga ia menjadi seorang datuk wanita yang lihai dan di daerah Timur Laut dikenal dengan julukan Hwa Hwa Mo-li. Ia mempunyai seorang murid wanita yang usianya lima tahun lebih tua dan Lai Cu Yin. Muridnya ini juga seorang anak yatim piatu, akan tetapi ketika menjadi murid Hwa Hwa Mo-li, ia telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang memiliki ilmu silat cukup tinggi. Gadis ini bernama Pek Bian Ci seorang gadis peranakan Mancu/Han. Maka, ketika menjadi murid Hwa Hwa Mo-li Leng Kin, ia menjadi lihai sekali Ia mewarisi semua ilmu Hwa Hwa Mo-li karena ia memang berbakat baik sekali dan ia juga amat disayang gurunya karena ia merupakan murid yang taat tekun dan setia. Hwa Hwa Mo-li yang membenci pria itu bahkan berhasil membuat Pek Bian Ci bersumpah bahwa ia tidak akan membiarkan seorang laki-lak menyentuhnya. Kalau ada yang menyentuhnya maka laki-laki itu harus dibunuhnya. Kalau terdapat pertikaian antara pria dan wanita, ia harus membantu wanita itu, tidak peduli wanita itu bersalah! Pendeknya, Hwa Hwa Mo-li berhasil mewujudkan kebenciannya terhadap pria yang telah banyak menyakiti hatinya dalam diri Pek Bian Ci!

Sejak kecil Lai Cu Yin juga dijejali perasaan benci terhadap pria. Pendeknya pria adalah musuh mereka dan harus dibenci, kalau perlu dihukum mati!

Ketika Lai Cu Yin berusia dua puluh liga tahun dan Pek Bian Ci dua puluh delpan tahun, pada suatu hari Hwa Hwa moli Leng Kin meninggal dunia karena menderita sakit yang ditimbulkan oleh sakit hatinya terhadap pria. Setelah ia meninggal dunia, yang melanjutkan tinggal di Puncak Ang-hwa-san (Bukit Bunga Merah) adalah Pek Bian Ci yang setia kepada gurunya itu.Lai Cu Yin yang wataknya lebih lincah, tidak betah tinggal lebih lama di puncak bukit sunyi itu dan turun bukit untuk merantau. Sucinya (Kakak seperguruannya) memesan dengan keras agar sumoi (adik seperguruan) itu ingat akan sumpah dan pesan Ibunya, yaitu tidak boleh menikah dengan Laki-laki manapun!

Akan tetapi, berbeda dengan watak Pek Bian Ci yang keras seperti batu, Lai Cu Yin memiliki watak lincah gembira, bahkan romantis. Ia tidak dapat menghilangkan rasa sukanya kepada pria, bahkan ia dicengkeram nafsu berahi yang berkobar. Karena itu, setelah ia turun gunung dalam usia dua puluh tiga tahun ia bagaikan seekor kuda binal lepas kendali! Ia suka bermain cinta dengan pemuda yang menarik hatinya.

Akan tetapi ia pun memegang sumpah ibu kandungnya untuk tidak menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan perasaan sakit hati dan bencinya terhadap pria masih tetap ada Maka mulailah Lai Cu Yin menjadi budak nafsu berahi dan sekaligus budak dendam kebencian! Mulailah ia dengan petualangannya yang mengerikan. Kalau ada seorang pemuda tampan yang menggairahkan hatinya, ia akan mengejar dan berusaha menjadikan pemuda itu kekasihnya. Kalau pemuda itu menolak, ia merasa terhina dan langsung membunuhnya. Akan tetapi kalau pemuda itu mau melayaninya dengan senang ia akan membebaskannya setelah bergaul beberapa hari dan merasa bosan. Bahkan ia memberi hadiah emas kepada pemuda itu! Selain itu, Lai Cu Yin juga tidak segan-segan untuk mengambil harta siapa saja kalau membutuhkannya!

Setelah ia mulai dengan petualanganya, mulai terkenal pulalah julukannya, yaitu Ang-hwa Niocu. Ia disebut Ang hwa karena ia selalu memakai tiga tangkai bunga merah di rambutnya, bunga-bunga yang dapat dipergunakannya sebagai senjata rahasia. Sejak dulu ia senang memakai bunga merah sebagai hiasan rambut dan di bukit tempat tinggalnya memang terdapat banyak bunga merah, karena itu bukit itu dinamakan Ang-hwa-san. Suci-nya, Pek Bian Ci, adalah seorang ahli tentang racun dan jahat, dan gadis itu berhasil meramu obat

yang dapat membuat setangkai bunga berrtahan sampai berbulan-bulan tanpa layu karena telah mengering namun masih tetap baik bentuk dan warnanya.

Demikianlah riwayat singkat Ang-Hwa Niocu Lai Cu Yin. Akan tetapi ketika ia menceritakan riwayatnya kepada Liu Cin, ia tidak menceritakan hal-hal yang buruk dari ibunya maupun dirinya sendiri! Liu Cin hanya mendengar bahwa ibu gadis ini adalah gurunya sendiri, berbangsa Ko-le-kok dan sekarang sudah meninggal dunia.

Setelah Cu Yin selesai bercerita, Liu Cin menghela napas panjang. "Ah, kasihan engkau, Yin-moi. Jadi Ayahmu yang di Ko-le-kok seorang jenderal dan sek rang sudah meninggal dunia, demikian pula Ibumu? Engkau masih begini muda sudah yatim piatu! Melihat ilmu silat yang demikian lihai, tentu mendiang Ibumu seorang wanita yang sakti!"

"Ah, biasa saja, Cin-ko. Engkau seorang murid Siauwlimpai, tentu ilmu silatmu hebat karena aku mrndengar bahwa aliran Siauwlimpai merupakan aliran persilatan paling tua dan paling hebat. Sekarang giliranmu menceritakan riwayatmu, Cin-ko." Liu Cin merasa betapa pinggul dan dada gadis itu merapat pada tubuhnya sehingga terasa kelembutan kehangatannya. Dia menganggap hal itu terjadi karena guncangan kereta dan merasa senang sekali!

"Aih, apa sih yang menarik tentu diriku, Yin-moi? Aku ini seorang anak yatim piatu yang miskin sejak kecili Kalau aku tidak bertemu Suhu Ceng Hosiang dan diambil murid, mungkin Aku sudah mati kelaparan atau tersiksa orang jahat. Orang tuaku yang juga miskin telah meninggal dunia sebagai korban perang, dan sejak kecil aku sudah hidup sebatang kara. Suhu menganjurkan aku merantau untuk menegakkankebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar dan disuruh mencari pekerjaan yang baik di kota raja. Itulah riwayatku, sama sekali tidak ada yang menarik."

"Bagiku amat menarik, Cin-ko. Engkau seorang pendekar muda yang gagah perkasa, jujur dan sederhana. Sungguh aku senang sekali dapat melakukan perjalanan bersamamu."

Dengan cerdik Ang-hwa Niocu dapat merasakan betapa pemuda itu mulai tertarik kepadanya, mulai merasa senang bersentuhan dan berdekatan dengannya. Akan tetapi ia tidak terlalu mendesak, khawatir kalau hal itu akan mengejutkan hati pemuda yang masih hijau ini. Akhirnya mereka memasuki kota Pao-ting yang ramai. Orang-orang di kota itu merasa heran melihat sepasang muda-mudi dengan kereta mereka, yang mengherankan adalah bahwa gadis itu amat cantik dan berpakaian mewah sebagai seorang gadis bangsawan kaya akan tetapi yang duduk di sampingnya walaupun juga seorang pemuda tampan gagah, namun pakaiannya sederhana dan dari kain kasar, menunjukkan bahwa dia bukan seorang pemuda hartawan.

Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin menyuruh Liu Cin menuju ke sebuah rumah penginapan besar bernama Ai-koan. Setelah menyerahkan kereta dan kuda agar diurus oleh pelayan, ia mengajak Liu Cin memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan itu untuk menyewa kamar?

"Cin-ko, kita sewa satu atau dua buah kamar?" tanya Cu Yin sambil lalui seolah pertanyaan itu biasa saja dan tidak mempunyai maksud tertentu. Ia memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Liu Cin menjadi kebingungan. Dia memang masih mempunyai sedikit uang, akan tetapi tentu tidak akan cukup kalau untuk menyewa dua buah kamar berikut makan malamnya. Dan sebagai seorang prla, tentu amat memalukan kalau mengharapkan uang sewa kamar dan makan malam ditanggung oleh wanita! Akan tetapi dia berwatak jujur, maka biarpun mukanya merah dia menjawab.

"Yin-moi, uangku tinggal sedikit. Tentu tidak cukup kalau untuk menyewa dua buah kamar, belum lagi nanti membayar makan malam."

Cu Yin tersenyum. "Aih, Cin-ko, mengapa mengkhawatirkan hal itu? Aku yang akan membayarnya, jangan khawatir tentang uang. Aku membawa banyak. Nah, sebuah atau dua buah kamar?" Wanita itu mulai menguji hati pemuda itu. "Tentu saja dua buah kamar, Cin-moi. Akan tetapi........., kalau itu terlalu mahal........

biar sebuah kamar saja untukmu. Aku dapat tidur di dalam kereta."

Melihat keraguan pemuda itu, Lai Cu Yin yang ingin memikat hati Liu Cin cepat berkata dengan sikap sopan dan tahu susila. "Wah, mana mungkin aku membiarkan engkau tidur di kereta, Cin-ko. Juga, kalau kita tinggal sekamar, hal itu tentu akan menimbulkan dugaan yang tidak-tidak dan melanggar kepantasan dan tata susila.

Posting Komentar