Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 27

NIC

"Nah, hari ini juga engkau boleh me mbawa harta ini dengan berkuda menuju ke dusun Ang-ke-bun, Louw-eng- hiong. Sebaiknya dibungkus dengan buntalan kain yang tua agar tidak menyolok, seperti buntalan pakaian saja. Engkau terpaksa harus bermalam di tengah perjalanan dan besok siang akan dapat sampai ke Ang-ke-bun. Rumah yang dibangun ayahku berada di dekat jembatan di sebelah dalam pintu gerbang dusun yang di selatan. Dia sana ada rumah baru yang paling besar di dusun itu, bercat kuning dan jendela depannya berbentuk bulan purnama. Aku akan menantimu di sana. Sudah jelaskah, Louw-enghiong?" Louw Ti mengangguk-angguk dan tersenyum gembira. "Sudah cukup, lebih dari jelas. Saya akan berangkat sekarang juga mungkin ma lam ini terpaksa harus ber malam di tengah perjalanan. "

"Berhati - hatilah, Louw - enghiong. "

Nona bangsawan itu me mperingatkan dengan wajah agak khawatir.

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, nona. Di luar hutan pohon pek di sebelah selatan bukit, di lereng itu terdapat sebuah kuil tua. Di sanalah biasanya kami yang melakukan perjalanan beristirahat atau bermalam. Tempat itu a man sekali, belum pernah ada gangguan. Saya jamin bahwa pada besok hari, harta pusaka ini akan saya serahkan kepada nona di Ang-ke- bun dalam keadaan utuh dan sela mat!"

"Baiklah, kini tenteram hatiku." Nona bangsawan itu lalu berpamit dan me mbawa uang tanggungan itu keluar, lalu keretanya pun pergi dengan cepat meninggalkan pekarangan rumah gedung Louw Ti.

Derap kaki kuda itu me mecah kesunyian dalam hutan. Seekor kuda yang besar dan kuat berlari cepat di senja hari itu. Penunggangnya adalah Louw Ti yang berpakaian ringkas dan menggendong buntalan di punggungnya. Buntalan kain hitam kasar dan kuat, tidak menarik perhatian. Wajahnya yang angker itu, dan kemilau cambuknya yang me lingkari pinggangnya, lebih menarik dan me ndatangkan kesera man. Biarpun tubuhnya pendek, orang ini me mang me mpunyai pembawaan diri yang berwibawa dan menyeramkan. Wajahnya yang hitam buruk dan terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan mencorong itulah yang mendatangkan perasaan segan dan takut orang lain, karena wajahnya itu me mbayangkan kebengisan dan keberanian.

Louw Ti me mbalapkan kudanya karena dia ingin tiba di kuil tua itu sebelum hari gelap. Tadi dia berangkat agak siang karena harus mene mui dulu para pembantunya dan me mesan agar mereka bekerja dengan hati-hati, agar selama dia pergi jangan sampai terjadi pencurian-pencurian lagi di rumah- rumah hartawan yang mereka jaga.

Perdagangan agak sunyi semenjak kota raja terancam bahaya oleh para pemberontak yang makin mendekat. Para saudagar enggan untuk melakukan perjalanan jauh men inggalkan keluarganya. Karena itu, perjalanan kali ini dari kota raja men uju ke selatan a mat sunyi. Hanya beberapa kali saja Louw Ti bertemu dengan pejalan kaki atau penunggang kuda yang lewat jalan kecil itu. Akan tetapi dia tidak berkecil hati. Sudah biasa jagoan itu me lakukan perjalanan seorang diri. Dia terlalu percaya akan kema mpuan sendiri. Siapakah orangnya berani mengganggu di daerah yang sudah amat dikenalnya ini? Setiap orang penjahat, dari yang kecil sampai yang besar, semua telah mengenalnya dan takkan ada seorang pun di antara mereka yang berani menco ba-coba mengganggunya. Apalagi, tak seorang pun yang tahu bahwa buntalan kain hita m di punggungnya itu terisi harta pusaka yang harganya mencapai seribu tail emas!

Cuaca sudah mulai re mang-re mang akan tetapi belum gelap benar ketika akhirnya dia tiba di depan kuil tua. Me-lihat kesunyian di sekitar situ, juga di depan kuil t idak na mpak ada kereta atau kuda, Louw Ti merasa lega. Lebih enak kalau kuil itu kosong daripada kalau ada orang lain yang juga ber malam di situ, pikirnya. Dia meloncat turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda me masu ki kuil tua itu dan mena mbatkan kudanya di ruang depan yang sudah agak rusak. Berbahaya juga meninggalkan kuda itu di luar, karena pada malam harinya mungkin saja ada orang yang akan mencuri kudanya itu.

Baru saja dia selesai mengikat kendali kuda pada tiang ruangan depan dan hendak menuju ke ruangan belakang yang masih agak bersih dan tidak bocor, tiba-tiba dia mendengar suara dan cepat-cepat dia menengok. Matanya yang lebar itu semakin me lebar ketika dia melihat bahwa di sebelah kanannya, hanya dalam jarak tiga empat meter, berdiri seorang yang berpakaian serba hitam dan yang mengenakan topeng hitam pula di depan mukanya. Dua lubang pada topeng itu memperlihatkan dua buah mata yang amat tajam, mencorong dari dalam topeng atau kedok itu! Jantung dalam dada Louw Ti berdebar walaupun dia tidak merasa takut. Dia terkejut dan merasa tegang karena dia me ngenal orang berkedok itu. Bertubuh ra mping sedang, berpakaian serba hitam dan berkedok hita m, tidak me megang senjata apa pun. Inilah yang diga mbarkan oleh orang-orangnya, pencuri yang selalu mengganggu rumah-ru mah hartawan yang dilindunginya, pencuri yang telah banyak merugikannya bahkan yang berani mengeluarkan kata-kata menghinanya! Dan orang yang sela ma ini dicari-carinya tanpa hasil itu tahu- tahu sekarang muncul di kuil ini, selagi dia seorang diri dan me mbawa barang-barang berharga! Kecut-kecut juga hatinya teringat akan buntalan di punggungnya terisi barang-barang yang amat berharga dan men jadi tanggung jawabnya untuk me lindungi dan mengantar sampai ke te mpat tujuan.

"Siapa kau dan mau apa!" bentak Louw Ti untuk mendahului dengan gertakan, selain untuk me mbesarkan hati sendiri juga untuk menggertak orang itu.

Terdengar dengus suara mengejek dari balik topeng. "Louw Ti, jangan pura-pura tidak mengenal aku, cepat serahkan buntalan di punggungmu itu kepadaku!"

Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan me mbakar hati Louw Ti. Dugaannya tidak keliru. Inilah pencuri kurang ajar itu! Dan sekarang pencuri itu agaknya me mang sengaja menghadangnya di te mpat ini untuk merampas buntalan di punggungnya. Perasaan benci, marah, dendam, akan tetapi juga gelisah berca mpur-aduk dalam hatinya. Otomatis tangan kirinya meraba buntalan di pinggangnya, dan tangan kanannya mencabut keluar ca mbuk dari pinggangnya.

"Jahanam busuk, me mang aku sedang mencarimu untuk menghancurkan kepala mu!" bentaknya dan tanpa banyak cakap lagi, ca mbuknya menyambar dengan suara meledak- ledak ke arah kepala orang itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat gesit, orang itu sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Cambuk di tangan Louw Ti menya mbar terus karena dia me mang bernafsu sekali untuk segera merobohkan orang itu, melucuti kedoknya dan menyiksanya sampai mati. Akan tetapi, biarpun didesak oleh menyan barnya cambuk yang dahsyat itu, orang berkedok itu dapat menge lak pula ke samping kanan dan kakinya tiba-tiba menya mbar ke arah perut Louw Ti. Cepat sekali gerakan ini dan serangan balasan yang tidak terduga-duga ini hampir saja mengenai perut Louw Ti. Namun, dia seorang ahli silat yang sudah biasa melakukan perkelahian, maka dia pun dapat cepat melemparkan diri ke belakang dan cambuknya meledak-ledak dari atas menyambar ke depan sehingga lawannya terpaksa mengelak pula.

Tentu saja orang berkedok itu bukan lain Kim Cui Hong! Dan seperti pembaca tentu sudah dapat menduga, gadis bangsawan cantik jelita yang menyerahkan harta pusaka kepada Louw Ti untuk diantarkan ke Ang-ke-bun itu adalah Cui Hong pula! Dengan hasil ra mpasannya, yaitu benda-benda berharga dari tangan Kepala jaksa Pui, gadis ini telah menjadi seorang yang kaya raya. Ia menjual beberapa potong benda itu kepada pedagang besar di kota raja, menerima banyak uang dan diaturnyalah rencananya untuk mulai dengan pembalasan denda mnya. Karena menurut hasil penyelidikannya, musuh yang pertama kali diperoleh keterangan adalah Louw Ti, maka dara ini pun segera mengatur siasat untuk turun tangan terhadap Louw Ti terlebih dahulu. Dengan sebagian uangnya, ia membe li tanah bekas keluarga ayahnya, tanpa memperkena lkan diri kepada penduduk dusun itu, dan me mbangun sebuah gedung yang megah. Kepada para tetangga yang sama sekali tidak mengenal gadis bangsawan berkereta itu, ia hanya mengatakan bahwa ayahnya seorang pembesar tinggi dari kota raja yang sudah pensiun dan ingin beristirahat di dusun itu. Mula- mula ia meng ganggu anak buah Louw Ti, selain untuk merusak na ma baik Louw Ti sebagai pelindung bayaran juga untuk me mbikin rugi Louw Ti yang harus mengganti kerugian-kerugian para hartawan yang kecurian itu. Kemudian, ia pun muncul sebagai gadis bangsawan yang menyerahkan harta pusakanya kepada Louw Ti untuk dilindungi dan dengan cerdiknya ia minta uang tanggungan sehingga terpaksa Louw Ti men ggadaikan ruma hnya dan semua is inya! Dan kini, ia telah menjad i si topeng hita m lagi yang melakukan penghadangan di kuil tua un-tuk mera mpas buntalan di punggung musuh besarnya itu.

Louw Ti merasa terkejut juga menyaksikan orang bertopeng ini benar-benar me miliki gerakan yang a mat lincah dan juga aneh. Sampai belasan kali ca mbuknya yang biasanya ampuh sekali itu menya mbar-nyambar ganas, namun selalu lawan itu dapat menghindarkan diri dengan cepat. Padahal, dalam belasan jurus itu dia sengaja mengeluarkan jurus- jurusnya yang paling a mpuh untuk cepat merobohkan lawan yang amat dibencinya itu! Dia bukan seorang bodoh dan setelah melihat bukti kelihaian orang itu, Louw Ti maklum bahwa lawannya amat berbahaya. Mulailah dia merasa khawatir akan keselamatan harta pusaka yang berada di punggungnya. Dia m-dia m dia mulai mencari kese mpatan untuk melarikan diri. Akan tetapi, kudanya sudah diikat kendalinya kuat-kuat pada tiang di luar, dan untuk me lepaskan kendali me mbutuhkan waktu. Orang ini tentu takkan me mbiarkan dia lari, maka dia pun kini mengubah gerakan cambuknya. Cambuk itu tidak lagi meleda k-ledak menghujankan serangan, melainkan sebagian dipergunakan untuk me lindungi tubuhnya dari serangan lawan. Setelah mengubah gerakan cambuknya, kini gulungan sinar cambuk itu merupakan benteng yang a mat kuat, yang me lindungi tubuh Louw Ti sehingga lawannya sukar me lakukan serangan, apalagi hanya dengan tangan kosong. Ilmu ca mbuk dari Louw Ti me mang dahsyat dan kuat sekali, walaupun kini kehilangan daya serangannya namun masih me miliki daya tahan yang luar biasa kuatnya.

Cui Hong juga ma klum bahwa hanya dengan tangan kosong saja sukarlah baginya untuk menundukkan lawan ini. Pantas mendiang ayah dan suhengnya dahulu tidak ma mpu menang, karena me mang ilmu silat orang ini a mat tinggi. Kalau ia menghenda ki kematian orang ini, walau tanpa senjata pun ia akan sanggup melakukannya karena di antara berkele- batnya sinar cambuk bergulung-gulung, ia masih dapat me lihat lowongan-lowongan yang dapat diterobosnya.. Akan tetapi, tidak, dia tidak akan melanggar sumpah nya, tidak akan me mbunuh orang ini. Juga, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, tidak sepadan dengan perbuatannya yang terkutuk tujuh tahun yang lalu terhadap dirinya. Orang ini, seperti tiga orang musuhnya yang lain, harus disiksa lahir batinnya, agar mati perlahan-lahan, bukan mati langsung oleh tangannya.

Cui Hong me loncat jauh ke kiri dan ia sudah menyambar sebatang tongkat yang tadi ia sandarkan di dinding ruangan itu.

Posting Komentar