Rajawali Lembah Huai Chapter 47

NIC

Sekarang Goan Ciang sudah menyerah benar-benar. Jari-jari tangan yang terasa halus dan hangat itu meraba-raba mukanya, membuat dia memejamkan mata dan merasa nyaman sekali, membuatnya mengantuk lagi!

“Hemm, coba kulihat. Telingamu tidak menyolok, seperti telinga orang biasa, akan tetapi dahimu terlalu lebar dan bentuknya mengandung wibawa, sebaiknya ditambah rambut di depan sehingga akan nampak lebih kecil. Kemudian, kalau ada kumis dan jenggot, ditambah sedikit cambang, dan bentuk gelung rambutmu diubah, hemm, tak seorangpun akan mengenalmu lagi, toako!” Gadis itu nampak gembira lalu mengerjakan semua rencananya itu. Menempel sana menempel sini dan dalam waktu kurang dari sejam, kini Goan Ciang telah berkumis, berjenggot dan cambangnya memanjang sampai ke pipi, dahinya tidak selebar tadi, matanya sipit dan alisnya tebal panjang!

“Nah, coba kau periksa wajahmu sendiri, masih kurang apa untuk mengubahnya menjadi lain sama sekali.” Gadis itu mengeluarkan sebuah cermin kecil bundar dan menyerahkannya kepada Goan Ciang. Ketika Goan Ciang melihat wajahnya sendiri dalam cermin, dia tertegun. Mukanya berubah merah. Dia seperti melihat seorang laki-laki lain, wajah yang tidak disukanya, dalam cermin itu! Dengan cambang, kumis dan jenggot, matanya sipit dan alis tebal, apa lagi dahi sempit itu dia kelihatan kejam dan licik!

“Ihh! Tampanku seperti seorang bandit!” serunya. Gadis itu tertawa senang. Makin kaget dan marah Goan Ciang, akan makin senanglah hatinya karena hal itu membuktikan bahwa pekerjaannya berhasil baik.

“Bagus, penyamaranmu sempurna, Hung-toako!” katanya seperti bersorak. “Hung-toako? Apa lagi ini?”

“Toako, tentu saja namamu harus diganti. Mulai sekarang engkau bernama Hung Wu dan aku menyebutnya Hung-toako (kakak Hung), sedangkan engkau menyebut aku Yen-te (adik Yen). Nama Yen adalah nama umum, aku tidak perlu mengganti nama sama sekali, cukup dengan nama Siauw Yen (Yen kecil) saja. Lebih mudah bagimu, bukan?”

Diam-diam Goan Ciang kagum bukan main. Gadis ini memikirkan segala hal. Seorang gadis yang amat cerdik, dan sekarang dia tidak merasa heran mengapa seorang kakek bijaksana seperti Pek-mou Lo-kai menyerahkan kepemimpinan perkumpulan besar seperti Hwa I Kaipang kepada seorang gadis! Kiranya gadis ini memang cerdik sekali. “Baiklah, Yen-te. Sekarang, kita akan ke mana?” “Memasuki kota Nan-king?”

Goan Ciang membelalakkan matanya, tidak menyadari betapa lucunya ketika dia terbelalak sehingga gadis yang berubah menjadi pemuda remaja itu tertawa terpingkal-pingkal sehingga kotak alat penyamaran yang dipegangnya terlepas, kotaknya terjatuh, tutupnya terbuka dan isinya berantakan. Sambil mengambili isi kotak, Yen Yen masih tertawa terpingkal dan kadang memegangi perutnya.

“Siauw Yen! Apa sih yang kau tertawakan sampai setengah mati begitu?” tanya Goan Ciang.

“Toako, ingat, jangan sekali-kali engkau membelalakkan matamu seperti tadi. Aku pasti tidak dapat menahan untuk tidak tertawa terpingkal-pingkal. Kalau matamu yang berubah sipit itu kaubelalakkan, aduh, sungguh lucu sekali, mengingatkan aku akan seorang badut di panggung wayang yang pernah kutonton ketika aku berkunjung ke kota raja Peking.”

“Hemm, engkau hendak mempermainkan dan mentertawakan aku?” kata Goan Ciang cemberut, marah karena dia dikatakan seperti badut.

“Maaf, toako. Maafkan adikmmu, ya? Sungguh mati, aku tidak bermaksud mentertawakanmu. Bahkan itu tandanya bahwa penyamaranmu amat baik. Nah, mari kita berangkat, toako, sekali lagi maafkan aku!” Yen Yen memegang tangan pemuda itu dan menggandengnya. Lenyap seketika kemarahan dari hati Goan Ciang ketika mereka berjalan sambil bergandeng tangan.

“Yen-te, katakan, mau apa kita ke Nan-king? Bukankah tempat itu berbahaya sekali, penuh dengan pasukan keamanan dan mempunyai banyak perwira yang tangguh?”

“Kita harus menyelidiki para pengkhianat itu! Hek I Kaipang harus kita hancurkan! Merekalah yang mengkhianati kita. Para pengkhianat itu lebih berbahaya dari pada orang Mongol sendiri. Kalau orang Mongol, sudah jelas musuh kita. Akan tetapi para pengkhianat itu, merupakan musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Aku lebih membenci mereka dari pada para penjajah itu sendiri.”

“Hemm, itukah sebabnya engkau tadi membunuh anggotak Hwa I Kaipang yang agaknya mengkhianati kita dan melaporkan tentang pertemuan di bukit batu?”

Yen Yen mengangguk, “Aku serang dia dengan pisau terbangku. Pengkhianat seperti dia tidak boleh diampuni. Kalau dia tidak terlambat, tentu malam tadi kita telah dikepung pasukan! Ini semua gara-gara Hek I Kaipang, dan para kaipang yang rela menjadi antek penjajah Mongol!”

“Akan tetapi, hanya kita berdua, apa yang dapat kita lakukan menghadapi mereka? Kakekmu sendiri sudah memperingatkan agar kita berhati-hati kalau berhadapan dengan para pemimpin Hek I Kaipang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apa yang dapat kita lakukan?

Menyerbu Hek I Kaipang dengan tenaga kita berdua saja?”

“Aih, toako, apakah engkau kira aku begitu bodoh? Tidak, aku belum ingin bunuh diri dan mati konyol. Kita menyelundup ke Nan-king dan kita mempelajari keadaan. Kita menyelidiki sampai di mana keakraban hubungan antara Hek I Kaipang dan para pembesar Mongol. Dengan penyamaran ini, kita dapat bergerak leluasa, menjadi dua orang pemuda yang datang dari dusun ke kota itu, untuk mencari pekerjaan, mencari pengalaman atau sekadar bertualang. Kita tidak akan dapat menyolok, tidak akan ada yang mencurigai kita.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan hati Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, gadis yang luar biasa itu tidak pernah memperlihatkan dengan sikap, kata-kata maupun perbuatan tentang isi hatinya, yang oleh kakek Pek-mou Lo- kai dikatakan bahwa gadis itu telah memilih dia sebagai calon jodoh!

Kita tinggalkan dulu Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen yang menyamar sebagai kakak beradik dari desa yang pergi ke kota Nan-king, dan mari kita mengikuti perjalanan pemuda Shu Ta, sute dari Cu Goan Ciang. Pemuda murid Lauw In Hwesio ini melakukan perjalanan seorang diri.

Shu Ta juga seperti Cu Goan Ciang, yatim piatu dan hidup sebatang kara di dunia ini. Usianya sebaya dengan suhengnya, sekitar dua puluh tahun. Akan tetapi pemuda yang tampan ini memiliki kecenderungan untuk brewok. Kumis dan jenggot serta cambangnya tumbuh dengan subur memenuhi setengah wajahnya yang tampan. Karena merasa belum pantas memelihara kumis jenggot, maka dia sering kali mencukurnya, akan tetapi baru dicukur beberapa hari saja sudah nampak rambut yang subur itu tumbuh lagi.

Berbeda dengan Goan Ciang yang agak pendiam, Shu Ta ini orangnya cerdik dan lincah, banyak akalnya. Ketika dia berpisah dari suhengnya, selama beberapa jam melakukan perjalanan seorang diri, perasaan hatinya tertekan, seolah dia merasa kehilangan. Sejak kecil, dia berada di kuil Siauw-lim-si, menjadi kacung kuil sampai dia bertemu dengan Goan Ciang, belajar silat bersama. Kemudian mereka berdua meninggalkan kuil untuk mencari pengalaman, dan bersama-sama menundukkan keluar Ji dan keluarga Koa di dusun Cang-cin sehingga kedua keluarga yang tadinya menjadi penindas rakyat itu berbalik kini menjadi dermawan dan pelindung rakyat di dusun itu.

Kalau Cu Goan Ciang dari dusun itu pergi ke kota Wu-han, maka Shu Ta pergi menuju ke kota Nan-king. Dia tidak menolak ketika hendak meninggalkan dusun itu dia diberi bekal oleh dua orang kakak beradik Koa. Dia memang membutuhkan biaya dalam perjalanan, sebelum dia mendapatkan pekerjaan untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Dan bekal yang diterimanya itu cukup untuk membiayainya melakukan perjalanan ke kota Nan-king. Dahulu, ayah dan ibunya pernah tinggal di kota besar ini. Di waktu dia berusia lima enam tahun, dia pernah tinggal di kota itu dan masih ingat akan kebesaran dan keindahannya, dan oleh karena itulah maka kini dia menuju ke Nan-king.

Seperti juga Cu Goan Ciang, di sepanjang perjalanan Shu Ta melihat kesengsaraan rakyat, terutama yang hidup di pedusunan dan dia merasa prihatin sekali. Agaknya pemerintah penjajah sama sekali tidak mau memperdulikan nasib rakyat dari negara yang dijajahnya. Para pejabat pemerintah penjajah hanya memikirkan kesenangan diri sendiri masing-masing, dari kaisarnya sampai pejabat paling kecil. Bukan saja mereka tidak memperdulikan nasib rakyatnya, tidak mengulurkan tangan untuk menolong, sebaliknya mereka bahkan melakukan pemerasan di sana-sini, demi untuk memenuhi kantung mereka yang sudah penuh.

Pada suatu hari, tibalah dia di jalan yang melintasi sebuah bukit kecil, di sebelah utara kota Nan-king. Dari tempat itu, ke Nan king masih sejauh tiga puluh li lagi. Tengah hari itu amatlah teriknya. Tubuh Shu Ta sudah basah oleh keringat, maka diapun berhenti di tepi jalan, duduk di bawah pohon besar yang rindang. Jalan itu sepi sekali. Dia menurunkan buntalan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah guci yang terisi air jernih.

Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda. Dia memegang guci dan tidak jadi membuka tutupnya karena dua ekor kuda yang berlari congklang ke tempat itu menimbulkan debu.

Tidak sehat kalau dia minum pada saat itu, tentu banyak debu ikut memasuki mulutnya. Dia mengangkat muka memandang. Dua ekor kuda yang bagus, tinggi besar, jelas kuda-kuda pilihan yang mahal. Juga pakaian kudanya menunjukkan bahwa penunggangnya adalah orang-orang kaya. Dan memang benar. Pemuda dan gadis yang menunggang kuda itu jelas orang kaya, bahkan tentu bangsawan karena pakaian mereka yang indah. Dari model topi mereka, Shu Ta dapat menduga bahwa mereka yang berkedudukan tinggi dan kaya raya.

Posting Komentar