Rajawali Lembah Huai Chapter 42

NIC

“Maafkan aku, nona.” Tangannya bergerak dan sebatang tusuk sanggul perak melayang ke arah gadis itu. Yen Yens cepat menyambutnya dan mukanya berubah kemerahan. Kiranya, tusuk sanggulnya telah dapat dicabut pemuda itu tanpa ia merasakannya! Ini saja sudah merupakan bukti nyata bahwa ia telah kalah, karena kalau pemuda itu menghendaki tadi dia telah mencabut tusuk sanggul, melainkan mencabut nyawanya melalui cengkeraman pada kepalanya!

Akan tetapi Yen Yen adalah seorang gadis yang galak dan tidak mudah mau menerima kekalahan walaupun sesungguhnya ia tidak sombong. Ia lincah dan agak binal, memandang rendah siapa saja sebelum ia yakin benar akan kemampuan orang itu. Kini, setelah menancapkan lagi tusuk sanggulnya dan peristiwa itu tidak dilihat para anggota Hwa I Kaipang, kecuali kakeknya dan tiga orang ketua cabang, ia lalu menggerakkan tangannya dan di lain saat ia telah mancabut sebatang tongkat sebesar ibu jari kakinya yang tadi ia selipkan di punggung. Ia memutar-mutar tongkat yang panjangnya satu meter itu di antara jari-jari tangan kirinya sehingga tongkat itu berputar cepat seperti kitiran.

“Orang She Cu, engkau boleh juga. Akan tetapi kalau engkau belum mengalahkan tongkatku, aku belum puas. Tongkat adalah senjata keramat para pengemis untuk menaklukkan setan dan iblis. Majulah dan keluarkan senjatamu!” tantangnya. “Nona, aku hanya mempunyai sebatang pedang, akan tetapi pedang itu hanya akan kupergunakan untuk menghadapi musuh.” Dia teringat akan pedangnya, pedang yang pernah menembusi dada Lee Siang kekasihnya, pedang yang sejak saat itu selalu dibawanya dan tadi dia tinggalkan di dalam gua karena dia tidak ingin menghadapi tantangan nona itu dengan senjata di tangannya. “Karena ini hanya merupakan pertandingan persahabatan, aku akan menghadapi tongkatmu dengan tangan kosong saja.”

“Ihhh, berani engkau memandang rendah tongkat kami? Ingat, ilmu tongkat kami Hok-mo- tuung (Tongkat Penakluk Iblis) tak terkalahkan di dunia ini!”

Mendengar ini, kakeknya tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Yen Yen, jangan tekebur seperti itu! Engkau memalukan kakekmu saja. Mana ada ilmu yang tak terkalahkan di dunia ini. Tidak ada!”

Yen Yen memandang kakeknya. “Kek, kenapa kita harus merendahkan ilmu sendiri. Orang she Cu, kuperingatkan sekali lagi. Keluarkan senjatamu untuk menghadapi tongkatku!”

“Tidak nona, cukup dengan kedua tangan kakiku saja. Majulah, aku telah siap menghadapi tongkatmu!”

Marahlah Yen Yen. Ia menganggap pemuda itu yang telah berhasil mencabut tusuk sanggulnya, terlalu memandang rendah tongkatnya. “Baik, engkau sendiri yang mencari penyakit. Nah, sambutlah tongkatku!” Berkata demikian, ia menerjang dengan amat cepatnya.

Dengan sigap Siauw Cu mengelak ke samping, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya secara aneh! Dia menggerakkan tangan untuk menangkap ujung tongkat itu, untuk merampasnya, akan tetapi ujung tongkat tergetar dan lepas dari sambaran tangannya dan secara aneh telah meluncur dan menusuk ke arah antara kedua matanya!

“Ehh...!” Siauw Cu terkejut dan cepat melangkah mundur, akan tetapi kembali ujung tongkat itu telah menotoh jalan darah di depan tubuhnya secara bertubi-tubi. Dia mengelak ke sana- sini dan dalam waktu beberapa detik saja, ujung tongkat itu telah menyerang dengan totokan ke arah lima jalan darah di bagian tubuh depan.

Siauw Cu meloncat ke belakang dan agak terhuyung, dan tongkat itu sempat pula menotok pundaknya. Untung dia masih miringkan pundak sehingga tongkat itu tidak tepat mengenai jalan darah, akan tetapi tetap saja sempat membuat dia tergetar dan terhuyung, dan bajunya di bagian pundak itupun berlubang!”

“Nah, baru engkau merasakan sedikit kelihaian tongkatku!” kata nona itu dengan suara mengandung kebanggaan.

“Tongkatmu hebat, nona, akan tetapi aku belum kalah,” kata Siauw Cu penasaran dan begitu gadis itu menggerakkan tongkatnya lagi, diapun cepat memainkan ilmu silat andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwat!

“Hemm...!” Pek-mau Lo kai berseru kagum dan dia tidak berkedip mengikuti gerakan- gerakan Siauw Cu ketika menghadapi desakan tongkat itu dengan ilmunya yang aneh. Dia melihat gerakan pemuda itu seperti seekor burung rajawali saja. Tangkisan yang biasanya dilakukan, lengan menuju ke luar, kini sebaliknya tangkisan itu dari luar ke dalam, disusul cengkeraman. Juga tubuh itu seringkali mencelat ke atas dan menukik seperti seekor burung rajawali menyambar. Kakek itu merasa kagum dan heran. Dia tak mengenal ilmu silat Siauw- lim-pai mengenai dasar gerakan ilmu silat itu yang kokoh kuat, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda ini, walaupun memiliki dasar gerakan kaki tangan Siauw-lim-pai, namun amat aneh gerakan kembangannya, mirip burung rajawali. Pernah dia melihat ilmu silat yang meniru gerakan burung rajawali, seperti yang terdapat pada aliran Kun-lun-pai, akan tetapi tauw-kun (silat rajawali) yang dimainkan pemuda ini berbeda sama sekali dan amat hebatnya.

Yen Yen sendiri menjadi bingung. Kini tongkatnya tak pernah mampu mendekati lawan, bahkan terancam untuk dirampas. Gerakan yang cepat, kadang mencelat ke atas itu amat membingungkannya. Baru belasan jurus saja, dua kali tongkatnya hampir terampas.

Lawannya menangkis dari luar ke dalam diteruskan cengkeraman dan dua kali sudah tongkatnya kena dicengkeram lawan, akan tetapi dapat ia tarik lepas kembali. Pek Mau Lokai maklum bahwa yang dua kali itu, kalau Siauw Cu menghendaki, tentu dia sudah dapat merampas tongkat, atau setidaknya mencengkeramnya patah-patah. Akan tetapi, agaknya pemuda itu tidak mau merusak tongkat, dan hal ini membuat dia semakin senang dan kagum. Memang ilmu silat tongkat cucunya belum sempurna benar. Kalau dia yang memainkan tongkat itu, tentu dia akan mampu mengimbangi ilmu silat aneh dari Siauw Cu.

Tiba-tiba tongkat itu menyambar dan tertangkap lagi oleh Siauw Cu. Sekali ini, Siauw Cu tidak merampas tongkat, tidak pula merusaknya, hanya menangkap dan menahan tongkat itu sehingga biarpun Yen Yen mengerahkan tenaga untuk menariknya kembali tongkat itu tidak dapat terlepas lagi. Hal ini menjengkelkan hati Yen Yen. Gerakan tongkatnya adalah gerakan seperti seekor ular. Kalau tangan biasa saja jangan harap dapat menangkapnya, karena gerakannya dapat berputar dan licin seperti tubuh ular. Akan tetapi, biarpun tadi dua kali Siauw Cu terpaksa melepaskan lagi, kini, dengan gerakan tangan seperti paruh rajawali mematuk, dia berhasil menangkap tongkat itu sehingga tidak dapat terlepas lagi! Dalam geramnya, Yen Yen menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah muka Siauw Cu.

Pemuda ini menggerakkan pula tangan kana, membentuk paruh rajawali dan tahu-tahu tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri gadis itu. Gadis itu menarik-narik dan meronta-ronta, namun baik tangan kirinya maupun tongkatnya tidak dapat terlepas lagi dari kedua tangan Siauw Cu. Mereka kini kelihatan saling tarik sehingga nampak lucu seperti dua orang kanak-kanak memperebutkan mainan!

“Lepaskan!” bentaknya, akan tetapi Siauw Cu tidak mau melepaskan, karena dia maklum bahwa begitu terlepas, gadis itu akan menyerangnya dari jarak dekat dan hal ini cukup berbahaya.

“Baik, kau menghendaki tongkatku! Nah, ambillah!” Tiba-tiba dengan marah ia melepaskan tongkatnya, lalu tangan kanannya menotok ke arah tenggorokan Siauw Cu!

Siauw Cu sudah menduga akan hal ini, maka cepat diapun menggigit tongkat itu dan kini tangan kirinya menyambut, menangkap pula pergelangan tangan kanan itu sehingga kini kedua tangan gadis itu tertangkap olehnya. Yen Yen semakin marah, menarik dan meronta, namun kedua tangan Siauw Ce seperti sepasang tangan baja yang amat kuat. Dan tiba-tiba Yen Yen menangis!

Siauw Cu terkejut bukan main, cepat melepaskan kedua tangan itu dan meloncat ke belakang, lalu menyerahkan tongkat itu kembali. “Maafkan aku, nona, terimalah kembali tongkatmu.” Akan tetapi gadis itu mendengus, membalikkan tubuhnya lalu berlari meninggalkan tempat itu, membuat Siauw Cu berdiri bengong dengan muka merah dan hati menyesal karena ia telah membikin marah cucu Pek Mau Lokai. Akan tetapi, tepuk tangan memujinya dan para anggota Hwa I Kaipang bertepuk tangan memuji, sedangkan Pek Mau Lokai tahu-tahu sudah berada di depannya dan menerima tongkat cucunya itu.

“Ha-ha-ha, engkau telah dapat menaklukkan cucukuyang seperti naga betina itu, ha-ha!’ Kakek itu tertawa-tawa gembira.

Tiga orang ketua cabang itu saling pandang, lalu mereka bertiga mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata. “Cu-sicu, kionghi (selamat)!”

Posting Komentar