Rajawali Lembah Huai Chapter 40

NIC

“Bahwa engkau bodoh? Ha-ha, mari perkenalkan dulu dengan tiga orang pembantuku ini.” Dia memperkenalkan tiga orang itu. Lee Ti atau Lee-pangcu berusia empat puluh tahun, merupakan ketua Hwa I Kaipang cabang wilayah barat, bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok. Pouw Sen berusia empat puluh tahun, ketua cabang di timur, bertubuh tinggi kurus dan mukanya putih tanpa kumis atau jenggot. Adapun orang ke tiga adalah Kauw Bok atau Kauw Pangcu, ketua cabang selatan bertubuh pendek gendut dan mukanya yang bulat itu selalu tersenyum cerah. Mereka itu menjadi ketua-ketua Hwa I Kaipang di tiga wilayah, dan mereka juga merupakan murid-murid dari Pek Mau Lokai Tang Ku It.

Setelah mereka saling berkenalan, seorang anggota kaipang datang menyuguhkan sarapan pagi. Siauw Cu dipersilakan makan bersama dan setelah makan mereka duduk bercakap- cakap.

“Sekarang harap pangcu suka menjelaskan mengapa aku disebut bodoh.” Siauw Cu bertanya kepada ketua itu.

Hwa I Kaipangcu Tang Ku It tertawa. “Bagus, engkau ingin mengetahui kekuranganmu sendiri? Itu pertanda baik, karena hanya orang yang mau mengetahui dan mengakui kekurangan sendiri sajalah yang mempunyai harapan untuk mendapatkan kemajuan dari kehidupan ini. Siauw Cu, aku mengatakan engkau gagah dan pemberani, akan tetapi bodoh. Bagaimana mungkin engkau seorang diri saja berjuang melawan penjajah yang merupakan sebuah kerajaan dengan ratusan ribu pasukannya? Baru menghadapi pengeroyakan puluhan orang perajurit saja engkau sudah luka-luka dan kalau dilanjutkan, engkau akan mati konyol. Kalau engkau berjuang seorang diri, sama saja dengan membunuh diri dan sama sekali tidak ada manfaatnya bagi rakyat.

Siauw Cu mengangguk-angguk. “Aku mengerti akan kesalahanku dan mohon petunjuk.”

“Engkau tidak mungkin berjuang melawan pemerintah Mongol tanpa mempunyai pasukan. Engkau harus menghimpun tenaga para patriot, barulah perjuanganmu ada artinya. Kamipun pejuang, dan sejak lama kami menghimpun tenanga, namun juga belum merasa cukup kuat untuk melawan pasukan pemerintah.” “Aku tidak dapat sesabat itu, pangcu, kata Siauw Cu. “Sampai kapan kita akan bergerak menentang penjajah kalau selalu merasa kurang kuat? Aku melihat penderitaan rakyat di mana-mana, aku melihat penindasan, dan aku ingin memberontak. Aku ingin menentang semua penjajah dan penindas, termasuk orang-orang sesat yang menjadi antek penjajah dan yang melakukan kejahatan terhadap sesama bangsa. Aku ingin menghancurkan mereka semua, perwira-perwira terkutuk yang mengganggu wanita, menindas rakyat!”

Pek Mau Lokai tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kami sudah mendengar tentang nasib nona Kim Lee Siang.”

Siauw Cu tercengang. “Ah, jadi pangcu sudah tahu akan hal itu?”

Ketua kaipang itu tersenyun. “Nah, engkau melihat bahwa kalau kita mempunyai banyak anggota, maka di mana-mana kita dapat menaruh penyelidik, dan kita dapat mengetahui banyak hal. Andaikata aku hanya seorang diri seperti engkau, Siauw Cu, tentu akupun tidak tahu apa-apa. Hanya ada satu hal yang membuat kami tidak mengerti. Mengapa seorang pejuang seperti engkau, yang menurut hasil penyelidikan mencinta nona Kim Lee Siang yang anti penjajah Mongol, dapat menjadi calon suami ketua Jang-kiang-pang? Dan kemudian bahkan engkau menyerangnya dan membuntungi lengannya setelah nona Kim Lee Siang membunuh diri?”

Siauw Cu mengepal kedua tangannya.

Diingatkan tentang peristiwa itu, dia teringat akan Lee Siang yang dicintanya dan wajahnya diliputi kedukaan, juga kebencian terhadap Liu Bi.

“Perempuan keparat itu!” katanya gemas. “Ketua Jang-kiang-pang itu meracuni sumoinya sendiri dan memaksaku untuk menikah dengannya. Kalau aku tidak mau, ia tidak akan memberi obat penawar kepada Lee Siang. Untuk menyelamatkan nyawa Lee Siang, terpaksa aku menerima permintaannya. Akan tetapi pada malam perayaan pernikahan itu, ia telah menyerahkan Lee Siang yang lemah dan dibius kepada jahanam Khabuli itu!” Mukanya berubah merah dan matanya mencorong penuh kemarahan. “Aku harus membunuh jahanam Mongol itu!!”

“Sabar dan tenanglah, Siauw Cu. Seorang laki-laki tidak hanya menuruti nafsu kemarahannya, dan seorang pejuang mengesampingkan urusan dan kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan perjuangan. Semua itu terjadi, juga semua penderitaan rakyat itu terjadi sebagai akibat dari satu sebab, yaitu penjajahan. Andaikata engkau berhasil membunuh Khabuli karena dia menyebabkan kematian nona Kim, akan muncul ribuan orang Khabuli yang lain, yang mengorbankan ribuan nona Kim yang lain! Andaikata engkau membunuh seorang penindas rakyat, masih akan bermunculan ribuan penindas yang lain. Satu-satunya jalan adalah melenyapkan penjajah dari bumi kita, barulah ada ketenteraman dan kesejahteraan bagi rakyat.”

Diam-diam Siauw Cu kagum kepada ketua pengemis itu. Apa yang diucapkannya memang benar dan tepat. Kalau dia ingin berhasil, dia harus menahan diri, tidak menuruti nafsu dendam pribadinya, dan dia juga harus dapat menghimpun tenaga dari rakyat jelata. Dia tidak seharusnya hanya mencurahkan perhatiannya untuk membalas kepada orang-orang seperti ketua Jang-kiang-pang dan perwira Khabuli saja, melainkan kepada pusatnya, yaitu kepada pemerintah Mongol, sang penjajah yang menjadi biang keladi kesengsaraan rakyat, kesengsaraannya. Sejak kecil, dia telah menderita akibat penjajahan. Orang tuanya sakit dan mati karena kelaparan, dia sendiri hidup terlunta-lunta, semua itu karena keadaan kehidupan rakyat yang miskin dan sengsara, akibat penjajahan. Dia harus berusaha melenyapkan penjajah!

Melihat pemuda itu termenung, Pak-mau Lo-kai yang diam-diam merasa kagum dan suka kepada pemuda itu langsung mengulurkan tangan, “Cu Goan Ciang, kalau engkau sudah dapat mengerti apa yang kumaksudkan, tentu engkau tidak lagi memandang rendah dan hina kepada kita para pengemis.

“Tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Sejak pertama kali kita berkenalan, apakah aku pernah memandang rendah kepadamu?”

“Bagus, kalau begitu, bagaimana kalau engkau kami tarik sebagai anggota Hwa I Kaipang? Aku ingin engkau menjadi pembantuku yang dapat ku andalkan dan kupercaya.

“Heii, tidak begitu mudah...!!” Tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dari luar gua. “Wah, si rewel itu akan membuat ulah lagi, heh-heh-heh!” Pek Mau Lokai berkata sambil

tertawa dan memandang keluar gua. Tiga orang ketua cabang juga memandang keluar sambil tersenyum. Melihat mereka semua memandang keluar gua, Siauw Cu juga menoleh dan dia melihat seorang gadis berdiri di depan gua. Gua itu agak gelap, dan di luar demikian terangnya sehingga gadis itu seperti berada di dalam sinar yang cerah dari atas. Seorang gadis yang manis sekali dengan pakaian tambal-tambalan dan berkembang-kembang, akan tetapi selain pakaian itu amat bersih, juga potongannya amat manis sehingga tidak seperti pakaian pengemis, melainkan seperti pakaian mode terakhir, model terbaru yang tentu akan menarik perhatian gadis-gadis lain! Rambutnya yang hitam dan lebat itu digelung ke atas, sembarangan saja agak awut-awutan dan diikat pita merah dan diperkuat tusuk sanggul dari perak berbentuk burung merak. Tidak memakai perhiasan lain, namun justeru kesederhanaannya itu bahkan menonjolkan kecantikannya yang alami. Dahinya berkulit halus seperti lilin, dengan anak rambut halus lembut melingkar mesra di dahi dan kening, sepasang alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis dan tidak ditambah penghitam apapun.

Sepasang matanya seperti mata burung Hong, tajam dan menantang namun mengandung kelembutan yang khas wanita. Kedua pipinya putuh kemerahan tanpa pemerah, hidungnya kecil mancung dan nampak lucu karena ujungnya agak berdongak, mulutnya amat manis, dengan sepasang bibir yang merah basah tanpa gincu, dan selalu dibayangi senyum dikulum dengan lesung pipit di sebelah kiri dan garis-garis manis di sebelah kanan. Dagunya yang meruncing memberi kesan wajah itu berbentuk seperti telur. Usianya tentu tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dengan tubuh yang tinggi ramping, kedua kaki panjang dan sepatu kulit hitam mengkilap itu sungguh tidak pantas dipakai seorang pengemis!

“Heii, anak bengal! Apa lagi kau ribut-ribut di situ?” teriak Pek Mau Lokai. “Kalau mau bicara, jangan berteriak-teriak dari luar, masuklah saja dan bicara yang baik dan pantas!”

“Kong-kong (kakek), aku tidak mau masuk! Di situ ada orang asing!”

Lee Ti, atau Lee-pangcu, ketua cabang Hwa I Kaipang di barat, tertawa dan berseru, “Hui Yen, kami adalah paman-pamanmu, bukan orang asing!” “Lee-susiok (paman guru Lee), aku tidak maksudkan kalian bertiga!” jawab gadis yang disebut dengan nama Hui Yen itu.

“Yen Yen, jangan tidak sopan. Tamu kita ini adalah Cu Goan Ciang, dan mulai hari ini dia menjadi saudara kita, menjadi pembantu utamaku di sini,” kata kakek Pek Mau Lokai sambil tersenyum. Gadis itu bernama Tang Hui Yen yang biasa disebut Yen Yen, berusia dua puluh tahun. Ia adalah cucu dalam dari Pek Mau Lokai Tang Ku It. Ayah dan ibu anak itu telah tewas dalam pertempuran besar antara kelompok Hwa I Kaipang yang diserbu pasukan pemerintah dan anggota kaipang lain yang memusuhi mereka.

“Justru itulah, kek, maka tadi aku mengatakan tidak boleh begitu mudah. Pembantu kakek berarti seorang yang akan memimpin kaipang kita, berarti dia haruslah seorang yang cakap dalam kepemimpinan, bijaksana, cerdik, berwibawa, dan terutama sekali memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada para anggota kita. Apakah orang muda itu memiliki kesemuanya itu?”

Pek Mau Lokai memandang kepada Siauw Cu sambil tersenyum lebar. “Begitulah cucuku itu, selalu ingin memuji orang!”

“Suhu, kami kira hal itu baik sekali. Kalau Cu-sicu ini menjadi pembantu suhu, sudah selayaknya kalau dia memperlihatkan kepandaiannya agar dilihat oleh para anggota sehingga kelak tidak akan ada anggota yang merasa penasaran dan ragu.”kata Lee Ti dan kedua orang rekannya juga mengangguk menyetujui.

Siauw Cu mengerutkan alisnya. “Mana aku berani kurang ajar terhadap cucu lo-cian-pwe yang lihai?”

“Ha-ha-ha, katakan saja engkau sungkan melawan seorang wanita! Akan tetapi biar ia seorang gadis, Yen Yen telah memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan tingkat para muridku yang lain. Dan biarpun ia cucuku, akan tetapi engkau tidak berkelahi melawannya, melainkan hanya bertanding untuk diuji kepandaianmu olehnya. Nah, sambutlah tantangannya, Siauw Cu.”

Posting Komentar