Bagus sekali. Kau kira Gin Hua kok ini merupakan tempat yang boleh kau datangi dan kau pergi sesuka hatimu?
Hawa murninya diedarkan, tenaga dalamnya disalurkan ke lengan kanan, dia sudah mengerahkan tenaga sebanyak delapan bagian. Kemudian dia menarik lagi pecutnya dengan sekuat tenaga. Pemuda itu terhuyung-huyung, tubuhnya limbung ke depan. Tetapi di saat itu juga tiba-tiba pedangnya bergerak. Timbul suara dengungan, ternyata dia melancarkan tiga totokan ke bagian dada I Giok Hong.
Seebun Jit sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan. Pada mulanya dia juga tidak mengenal siapa pemuda itu. Sampai pada gerakan pedangnya barusan, kakek itu baru terkesiap setengah mati.
"A ... pa hubunganmu dengan Pat Sian kiam Tao Cu Hun? Mengapa kau menggunakan jurus Pat sian kiam?" teriak Seebun Jit tan pa sadar
.
Mendengar teriakan Seebun Jit, I Giok Hong segera mengendurkan jari tangannya. Pedang dan pecut pun saling terlepas. Kemudian dia memper¬hatikan pemuda itu dengan seksama, lalu mengeluarkan suara tertawa dingin.
"Rupanya kau?" ujar I Giok Hong.
Melihat pedangnya tidak dililit lagi oleh pecut si gadis, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sret! Sret! Sret! Sret! Dalam sekejap mata dia melancarkan empat serangan. Sinar pedang berkilauan dan gerakannya bukan main hebatnya.
Kali ini, I Giok Hong sudah bersiap sedia. Gerakan tubuhnya selincah burung walet mengikuti kelebatan pedang pemuda itu. Dalam keadaan yang benar-benar terjepit, berhasil juga dia menghindari keempat serangan tadi. Saat pedang lawan belum sempat ditarik kembali, matanya mengukur dengan tepat. Tiba-tiba jari tengahnya tampak meluncur ke depan dan menutul bagian tubuh pedang. Terdengar suara Tuk! Meskipun hanya tutulan sebuah jari tangan, tapi I Giok Hong sudah menggunakan tenaga sebanyak delapan bagian. Saat itu juga, si pemuda merasa pedangnya seperti ditekan oleh batangan besi seberat ribuan kati. Jelas saja pedangnya terpental ke samping namun tidak sampai terlepas.
Tangan kanan pemuda itu memang meng-genggam sebatang pedang, dan tangan kirinya memanggul seseorang. Maka begitu pedangnya terhempas ke samping, bagian dada menjadi terbuka. Dalam waktu yang bersamaan, I Giok Hong meng-ayunkan pecut di tangannya. Sinar perak berkilauan, berkelebat melalui bawah ketiaknya kemudian bergerak melingkar. Pecut itu laksana aeekor ular yang tiba-tiba sudah melilit dadanya. Semakin lama Hlitan itu semakin kuat, apalagi setelah I Giok Hong mengerahkan tenaganya. Pemuda itu merasa tulang di sekitar rongga dadanya nyeri sekali sehingga dia berteriak kesakitan. Namun dia tidak ceroboh, Pedang panjangnya dikibaskan ke arah tali pecut itu. Pedang itu tepat mengenai sasarannya, tetapi pecut lemas itu tidak putus. Pemuda itu dapat merasakan keadaannya yang tidak menguntungkan. Dengan mengikuti gerakan pecut, pedang terus meluncur ke depan dan sekali lagi mengancam pergelangan tangan I Giok Hong.
Jurus yang satu ini dikerahkan sesuai perkembangan yang berlangsung. Sebetulnya tidak ada keistimewaan apa-apa, tetapi dalam keadaan terdesak ternyata bermanfaat sekali. Pedang itu sudah sampai pada sasaran, tetapi saat itu juga terdengar suara trak! Ternyata pergelangan tangan I Giok Hong tidak terluka karena pedang itu tepat mengenai gelang batu giok yang dikenakannya.
I Giok Hong merasa dirinya tidak terluka. Tetapi dia menyadari bahwa ilmu pedang pemuda itu ternyata tidak dapat dipandang ringan. Sama sekali tidak boleh diberi kesempatan untuk menyerang terlebih dahulu. Cepat-cepat dia menyurut mundur satu langkah. Dengan sepenuh tenaga dia menarik pecutnya, maka tali yang melilit pemuda itu semakin menguat. Terdengar pemuda itu meraung keras- keras kemudian melancarkan sebuah serangan lagi dalam keadaan terdesak.
Pecut di tangan I Giok Hong sudah membentuk lingkaran yang melilit dadanya. Ketika dia mengerahkan tenaga dalamnya, lilitannya semakin menciut. Pemuda itu harnpir tidak dapat menarik nafas karena dadanya terasa sesak. Dengan panik dia mengedarkan hawa murninya dan memberontak sekuat tenaga. Serangannya kali itu dilakukan dalam keadaan kalap. Tentu saja membahayakan sekali. Tetapi I Giok Hong tetap tenang. Pecutnya ditarik ke samping sehingga gerakan pedang pun meleset dsri sasaran yang sebenarnya. Gadis itu kembali menjulurkan tangan kirinya ke atas dan lagi-lagi terdengar ketukan. Kali ini dia menggunakan tenaga yang lebih besar, sedangkan pemuda itu sudah mulai lemah karena dadanya yang terasa sesak. Seiring dengan suara ketukan itu pedang di tangan si pemuda terpental ke udara.
I Giok Hong merasa bangga sekali. Dia tertawa terbahak- bahak.
"Jit siok, coba kau lihat bagaimana permainanku, lumayan bukan?" Baru saja ucapannya selesai, pergelangan ta¬ngan kanannya menekan ke bawah. Tiba-tiba pecutnya melayang ke atas dan jalan darah di pundak si pemuda sudah tertotok. Setelah itu dia haru mengendorkan lilitannya lalu bergerak ke samping tiga langkah, sikapnya santai sekali. Dia berdiri tegak sambil mengembangkan seulas senyuman manis.
Seebun Jit yang berdiri di samping melihat dengan jelas setiap gerakan tubuh I Giok Hong. Meskipun dia tahu dirinya terlibat permusuhan yang dalam dengan I Ki Hu dan juga tahu keme-nangan I Giok Hong yang berhati keji itu pasti membawa bencana baginya dan lie Cun Ju, tetapi dia juga tidak dapat menahan diri untuk menarik nafas panjang.
"Kepandaian yang hebat," katanya. Meskipun pemuda tadi sudah tertotok jalan darahnya oleh I Giok Hong, tetapi mulutnya masih bisa bersuara. Dia mengedarkan hawa murninya untuk membebaskan dirinya dari totokan.
"Untuk apa kau menahan aku di sini?" katanya. "Aku lihat wajahmu ada kemiripan dengan Tao Ling, lagi pula kau juga pandai memainkan jurus pedang Pat Sian kiam. Mungkinkah kau Tao Heng Kan yang membunuh Li Po di gedung Kuan Hong Siau kemudian melarikan diri menjadi buronan orang- orang kang ouw? Tentunya tebakan itu tidak salah, bukan?" jawab I Giok Hong sambil tersenyum.
Mendengar I Giok Hong menyebut namanya dengan tepat, Tao Heng Kan segera memejamkan matanya dan tidak berkata-kata lagi. Wajah I Giok Hong justru semakin berseri- seri.
"Ternyata kau memang Tao Heng Kan. Ini yang dinamakan dicari-cari tidak ketemu, eh tahu-tahunya malah datang sendiri," ujar I Giok Hong.
Tao Heng Kan sudah mengedarkan hawa mur¬ninya sebanyak dua kali. Dia merasa jalan darah¬nya yang tertotok sudah hampir bebas. Karena itu dia segera mengulur waktu agar dapat menge¬darkan hawa murninya sekali lagi. Matanya tetap terpejam. Dia bertanya kepada I Giok Hong. "Siapa kau? Untuk apa kau mencariku?"
Ilmu totokan dengan ujung pecut seperti yang dikerahkan I Giok Hong itu, setiap jurusnya mengandung tenaga dalam yang murni. Jalan darah niana pun yang tertotok, tidak mudah dibebaskan dengan hanya mengedarkan hawa murni saja. Kecuali orang yang tenaga dalamnya sudah men-capai taraf kesempurnaan.
I Giok Hong sudah melihat bahwa lawannya adalah putra Pat Sian kiam Tao Cu Hun. Ada beberapa pertanyaan yang ingin diajukannya, karena itu dia hanya menggunakan tiga bagian ketika menotok jalan darah Tao Heng Kan. Maksudnya agar pemuda itu dapat menjawab pertanyaannya dengan lancar. Tetapi maksud hatinya itu justru memberi kesempatan bagi Tao Heng Kan. I Giok Hong juga tidak menyadari bahwa tenaga dalam lawannya sudah cukup tinggi, bahwa tidak seberapa jauh apabila dibandingkan dengan dirinya. Apalagi mempunyai dugaan bahwa anak muda itu bisa mengedarkan hawa murninya untuk melepaskan totokannya.
"Tentu saja ada urusan baru aku mencarimu. Aku ingin menanyakan dimana orang tuamu sekarang?" jawab I Giok Hong dengan tawa cekikikan.
"Aku tidak tahu," jawab Tao Heng Kan segera.
Dari sepasang inata I Giok Hong yang indah menyorot sinar yang tajam,
"Kau bertanding ilmu dengan putra Pat Kua kim gin kiam Lie Yuan yang bernama Li Po. Mengapa tiba-tiba kau membunuhnya? Apakah demi . . ." tanyanya.
Baru berkata sampai di sini, Tao Heng Kan sudah mengedarkan hawa murni dalam tubuh untuk ketiga kalinya. Dia merasa tubuhnya menjadi ringan dan sudah bisa bergerak lagi. Tiba-tiba tangannya mengibas dan tiga titik sinar melesat keluar secepat kilat mengincar bagian dada I Giok Hong. Dalam waktu yang bersamaan, kakinya menghentak dan melesat ke samping.
I Giok Hong sedang berbicara dengan Tao Heng Kan, jarak mereka dekat sekali. Mungkin karena dia telah menotok jalan darah pemuda itu sehingga tidak khawtir bisa diserang secara mendadak olehnya. Dia sama sekali tidak membayangkan Tao Heng Kan bisa menembus sendiri jalan darahnya yang tertotok, bahkan menyambitkan tiga batang senjata rahasia kepadanya.
Ilmu kepandaian I Giok Hong saat itu sebetul-nya dapat menandingi jago bulim kelas satu yang mana pun. Tetapi dalam keadaan tanpa persiapan sedikit pun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Niatnya ingin mengayunkan pecut di tangannya, tetapi tidak keburu lagi. Terpaksa dia menekuk sepasang kakinya dan berjongkok dengan kepala menunduk.
Ketiga batang senjata rahasia yang disambitkan Tao Heng Kan pun melesat lewat di atas kepalanya. Jaraknya hanya tinggal beberapa cun. Kalau saja gerakannya kurang sigap, pasti saat ini dia sudah terkapar di atas tanah dengan dada tertembus sen¬jata rahasia.
Hawa amarah dalam dada I Giok Hong meluap seketika. Cepat-cepat dia bangun dan membalikkan tubuhnya. Tampak Tao Heng Kan sudah melesat sejauh dua depaan. Kakinya mendarat tepat di samping pedang panjangnya yang dipentalkan oleh I Giok Hong tadi. Kakinya menendang, pedang itu pun mencelat ke atas. Bayangannya seperti pelangi melintas. Pedang itu terbang ke depan, gerak tubuh Tao Heng Kan pun melesat mengikutinya. Sembari terus berlari, tangannya menjulur ke atas meraih pedang yang sedang melayang turun itu. Jaraknya sudah bertambah dua depa lagi. Tahu-tahu dia sudah mencapai mulut lembah Gin Hua kok. Tanpa menolehkan kepala sedikt pun, dia langsung berlari keluar. I Giok Hong membentak dengan suara nyaring.
"Manusia she Tao! Jangan lari!"Gerakan tubuhnya laksana terbang, dia menghambur ke arah kudanya yang berwarna putih perak. Sekali loncat ia sudah menunggang di atasnya. Pecutnya diayunkan dan menimbulkan suara Tarrr! Baru saja dia ingin melarikan kudanya untuk mengejar Tao Heng Kan, tiba-tiba terdengar Seebun Jit berteriak.
"Siocia! Jangan dikejar!"
Sepasang alis I Giok Hong langsung menjungkit ke atas.
Dia mendengus satu kali.
"Kau dan dia sama-sama prajurit yang sudah dikalahkan. Setelah aku menyelesaikan persoalanku dengan pemuda itu, aku akan kembali lagi untuk berhitungan denganmu."
Sembari berkata, dia menghentakkan tali kendali kudanya kemudian melesat ke depan.