Pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi. Yang dinyanyikan adalah lagu-lagu yang diambil dari sajak To-tik-khing. Ketika Thian In dan Giok Cu menengok, ternyata pintu depan yang tadinya tertutup kini telah terbuka dan dari pintu muncullah seorang pemuda berpakaian sebagai seorang siucay atau sastrawan. Sambil berjalan lenggang kangkung ke arah mereka, orang itu tiada hentinya bernyanyi den gan suara tinggi.
Ketika ia telah datang dekat, bukan main heran hati Giok Cu dan Thian In karena orang itu bukan lain ialah Gan Kam Ciu!
Kam Ciu lewati Thian In dan Giok Cu seakan-akan tak mengenalnya, dan ketika kedua orang muda itu hendak menegurnya, ia menggunkan sebelah mata mengedip dan memberi tanda, hingga Giok Cu hanya memandang bengong terheran-heran! Tapi Thiau In tampak tersenyum-senyum dan agaknya ia tahu akan permainan sandiwara yang dilakukan oleh Kam Ciu!
Seperti seorang yang tolol, Kam Ciu mendekati meja tempat main catur dan berdiri menggendong tangan sambil terus saja bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba Ceng Po Hoatsu yang baru pusing karena rajanya terkurung, merasa marah dan terganggu sekali. Ia angkat kepala dan membentak: “Bodoh! Diam jangan gaduh!”
Kam Ciu leletkan lindah dan angkat pundak. Ia lalu pindah ke belakang Beng Po Hoatsu dan memberi nasihat serta petunjuk.
“Berikan saja kuda itu. Nah, yang di kanan itu, biar saja dimakan kuda kurus itu. Mula-mula Beng Po Hoatsu marah-marah, tapi entah mengapa, ia menurut juga! Beberapa langkah dijalankan oleh Bong Po Hoatsu menurut petunjuk Kam Ciu yang agaknya ahli main catur pula hingga akhirnya Gak Ong Tosu menggebrak meja karena mereka bermain seri!!
“Ha, ha! Gak Ong Tobeng! Jangan kau buru-buru bergembira, akhirnya kita toh seri juga. Jadi taruhan itu harus dibagi dua!” Kemudian mereka berdua memandang ke arah Giok Cu dan Thian In.
“He, kemari kau!” Gak Ong Tosu melambaikan tangan ke arah Giok Cu. “Coba kau pilih di antara kami berdua, mana yang lebih kau suka?”
Bukan main marahnya Giok Cu. Ia cabut pedangnya. Thian In melangkah maju dan berkata: “Tidak pantas menghina yang muda.
Gak Ong Tosu memandang Thian In seperti juga baru saat itu ia meliihat pemuda itu, ia berdiri dan menuding:
“Eh, kau? Kau berani berlaku kasar terhadap susiokmu? Hayo berlutut!”
Tapi Thian In sudah memuncak marahnya maka sambil pelototkan mata ia menjawab:”Aku tidak mempunyai susiok seperti kau!”
“Eh, kurang ajar!” Gak Ong Tosu ulur tangannya, tapi kelima saykong segera maju menahannya.
“Sabar Gak Ong Tobeng, mereka ini datang untuk kami. Sabarlah, biar kami layani mereka lebih dulu untuk membalas dendam kami dulu!”
Gak Ong tertawa bergelak. “Ya, ya, aku tahu. Tapi awas jangan kalian merusak yang secantik halus itu!” Dan kembali ia tertawa bergelak sambil memandang ke arah Giok Cu dengan sikap menjemukan sekali.
Kemudian Gan Tin Cu menjura kepada Giok Cu. “Pek I Lihiap, kau sungguh gagah. Biarpun masih muda tapi ternyata keu penuhi janjimu. Nah, setelah kau datang marilah kita saling ukur tenaga. “Tanpa menjawab Giok Cu hunus pedang dan lepaskan sabuk suteranya. Gan Tin-cu juga lolos pedangnya dan mereka segera bertempur!
Hoan Tin-cu menghampiri Thian In dengan senyum mengejek.
“Orang she Souw! Bagus sekali kau juga datang! Ternyata kau bukanlah orang bai-baik melihat sikapmu terhadap susiokmu tadi. Mari, mari kuperkenalkan saudara-saudaraku.” Ia menunjuk kepada tiga orang saykong yang masih berdiri di belakangnya sambil memangku tangan.
“Nah, inilah toasuheng Ang Tin-cu yang bertempur melawan Pek I Lihiap itu adalah Jisuheng Gan Sin-cu. Ini suteku Lan Tin-cu dan Beng Tin-cu. Sekarang bersiaplah, dan cobalah jatuhkan aku untuk kedua kalinya!”
Thian In memandang kepada Kam Ciu yang masih duduk di atas sebuah bangku di bawah pohon bunga sambil tersenyum. Ia lihat pemuda itu berkedip padanya dan anggukkan kepala, maka tanpa ragu-ragu lagi ia cabut pedangnya.
“Marilah, Hoan lo-enghiong!”
Hoan Tin-cu segera mainkan Kwie-san-kianhwat yang lihay. Baru beberapa jurus saja tahulah Thian In bahwa Hoan Tin-cu telah memperdalam ilmu pedangnya dan kepandaiannya telah banyak maju jika dibandingkan dengan dulu. Tapi baiknya ia sendiri telah mendapat petunjuk-petunjuk dari suhunya hingga ia dapat melawan dengan gagah. Dengan gunakan ilmu pedang Delapan dewa mabok arak ia perlihatkan kegesitannya hingga Hoan Tin-cu merasa terkejut sekali. Tak disangkanya pemuda itu telah demikian maju selama ini.
Di lain, biarpun untuk beberapa lama masih dapat mengimbangi permainan pedang Gan Tin-cu, namun setelah bertempur lima puluh jurus lebih, gerakan pedang dan sabuk sutera Giok Cu makin lemah dan ia hanya dapat menangkis saja.
Sambil bertempur, Thian In kadang-kadang layangkan pandangannya ke arah Giok Cu dan diam-diam ia merasa cemas sekali melihat betapa gadis terkurung oleh sinar pedang Gan Tin-cu! Ia kertak gigi dan putar pedangnya lebih cepat lagi. Pada suatu kesempatan yang baik, ia gunakan gerakan Hong-cui-pay hio atau Angin tiup-daun-tua, pedang di tangan kanannya menyambar ke arah tenggorokan lawan sedangkan tangan kirinya yang trkepal mengirim pukulan. To-tiu-kim-ciang atau Robohkan-lonceng-mas! Hoan Tin-cu berseru kaget dan miringkan kepala untuk hindarkan pedang lawan, tapi ia tidak sangka bahwa tangan kiri Thian In dapat bergerak secepat itu. Kepalan pemuda yang dipukulkan dengan tenaga hebat itu menggempur dadanya hingga Hoan Tin-cu terlempar jauh lalu terguling sambil muntahkan darah dengan mata terbalik!
Tapi pada saat itu juga Gan Tin-cu berhasil melukai pundak Giok Cu yang terpaksa lepas pedangnya karena tangan kanannya terasa lumpuh! Ia loncat mundur dan kelebatkan sabuknya menjaga diri, tapi Gan Tin-cu yang melihat betapa Hoan Tin Cu roboh menjadi marah sekali dan kirim serangan maut!
Pada saat yang berbahaya bagi Giok Cu itu, berkelebatlah bayangan putih secepat kilat dan tahu-tahu pedang Gan Tin Cu telah tertangkis hingga terpental dan hampir terlepas dari tangannya! Ketika ia memandang, ternyata yang menangkisnya bukan lain ialah pemuda sasterawan yang nonton main catur tadi! Entah kapan mengambilnya, Kam Ciu telah berdiri di situ dengan pedang Giok Cu di tangan.
“Sabar, totiang, orang yang sudah kalah tak perlu didesak terus!” katanya sambil tersenyum.
Gan Tin Cu marah sekali dan tiga saudaranya yang tadi hanya nonton saja, kini maju mengurung Kam Ciu!
“Gan twako! Kau..kau...Bu-eng-cu?” Giok Cu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tapi Kam Ciu hanya tersenyum.
“Nona Ong, kau mengasolah di sana,” ia menunjuk bangku yang didudukinya tadi, biarlah aku yang wakili kau menerima gebukan dan hajaran dari orang tua yang berbudi ini.”
Mendengar disebutnya nama Bu-eng-cu, terkejutlah keempat saykong itu. Sementara itu Gak Ong Tosu yang pada saat itu tengah merawat dan mencoba untuk memulihkan kesehatan Hoan Tin Cu yang terpukul, juga terkejut dan menengok. Ia pandang anak muda yang tampak lemah lembut itu dengan heran. “Benarkah kau Bu-eng-cu Koayhiap?” Ang Tin-cu tokoh tertua dari Kwie-san bertanya.
Kam Ciu menjura, kemudian ia kembalikan pedang Giok Cu kepada gadis itu. Ia sendiri lalu gunakan tangan kanan mencabut sebatang pedang tipis dari bawah baju dan keluarkan sebatang pensil besi dengan tangan kiri. Lalu ia bernyanyi:
Pedang di tangan kiri
Pit dan kertas di tangan kanan Menjelajah rimba raya
Menurun jurang mendaki gunung Langit suram muram
Bumi hitam gelap kotor
Asah pedang, gosok bak basahkan pit Biar pedangku membersihkan bumi Biar pitku menerangi langit
Pedang dan pit bersatu, ribuan, laksaan Langit akan bersih, dunia akan tenang
Sambil bernyanyi, ia putar-putar pedang dan pit dari tangan kiri ke tangan kanan. Gerakannya demikian cepat hingga orang tidak tahu di tangan manakah pedang atau pit terpegang!