Giok Cu geleng kepala. “Belum tentu, peh-bo. Siapa tahu, iklim dalam taman yang terkurung dan tidak bebas bahkan membuat ia mudah layu dan mati.”
Thio hujin mendekat dan pegang pundak gadis itu. “Giok Cu betapapun juga, aku sayang padamu, dan...dan usul pinanganku dulu itu masih berlaku, nak. Bagaimana pendapatmu? Kau telah melihat anakku yang bodoh. Memang aku tahu, Siauw Seng tidak berharga menjadi suamimu, tapi, kami yang cukup tahu kewajiban.” Giok Cu memandang Thio hujin dengan muka sungguh-sungguh, peh bo. Jangan kau bilang begitu, Thio kongcu adalah seorang yang sangat mulia dan berjiwa gagah perkasa. Bukan dia yang tak berharga, tapi akulah yang tak pantas sama sekali duduk di sampingnya. Aku seorang gadis kasar dan bodoh yang hanya bisa sedikit bermain pedang dan olah raga kasar.”
“Jadi kau tidak menolak?” Thio hujin tanya cepat-cepat.
Giok Cu geleng-geleng kepala. “Peh bo sebenarnya...aku...aku sudah kawin dengan orang lain ”
Terkejutlah Thio-hujin mendengar ini. “Apa?? Kau sudah kawin? Mana suamimu ?
Ditanya demikian, tiba-tiba Giok Cu menangis. Wajah Thio-hujin melembut dan ia segera pegang pundak gadis itu. “Ah, apakah suamimu telah meninggal?” Giok Cu geleng-geleng kepala kemudian dengan terisak-isak ia ceritakan riwayatnya semenjak ia dikawinkan dengan Thian In. Thio hujin mengucurkan air mata karena kasihan dan terharu.
“Jadi pemuda di lain kamar itu, dia itu suamimu, juga musuhmu? Giok Cu tak dapat menjawab karena hatinya perih, maka hanya mengangguk-angguk saja.
“Kalau demikian halnya, maafkanlah aku urusan pinanganku itu anggaplah seperti yang tak pernah kuucapkan saja.” Setelah menghibur dengan kata-kata manis, Nyonya Thio tinggalkan Giok Cu.
Gadis itu duduk termenung seorang diri. Ia buka jendela kamarnya. Ketika bulan yang semenjak tadi tertutup mega kini muncul dengan cahayanya yang gemilang, tiba-tiba Giok Cu ingat besok adalah permulaan musin Chun! Hampir saja ia loncat dan lari ke kamar Thian In untuk memberi tahu hal itu. Hatinya berdebar girang dan seketika itu juga lupalah ia akan kesedihan yang baru saja timbul karena percakapan dengan Thio hujin! Besok ia dan Thian In akan ke Kwie san. Dan di sana pemuda itu akan membuka tabir rahasia yang mendatangkan kegelapan baginya.
Pada keesokan harinya, ketika ia bertemu Thian In dan memberitahukan hal itu, Thian In hanya tersenyum dan berkata:
“Apakah kau kira akupun lupa akan hal itu? Hayolah kita siap dan berangkat dengan cepat!”
Mereka lalu berkemas dan setelah mendapat nasehat-nasehat serta doa-doa dari Thio tihu suami isteri, juga dari Thio Seng, mereka naiki kuda mereka dan kaburkan kudanya menuju ke Kwie-san!
Setelah lewat tengah hari, mereka telah berada di lereng Kwie-san dan jalan mulai sukar. Akhirnya mereka turun dari kuda dan setelah ikat kendali kuda pada sebuah pohon yang lebat daunnya, mereka lalu lanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Thian In menyatakan herannya mengapa ia belum melihat gurunya, juga Giok Cu yang mengharap-harap akan dapat bertemu dengan Bu-eng-cu merasa gelisah. Mereka telah mendekati puncak dan samar-samar telah tampak genteng sebuah kelenteng yang tinggi, tempat kediaman tokoh-tokoh Kwie-san-pay!
Timbul keraguan dan kecemasan dalam hati mereka. Bagaimana kalau orang-orang yang mereka andalkan itu tidak datang? Sama halnya dengan mengantar jiwa untuk binasa di situ, karena mereka maklum betapa lihainya lawan-lawan mereka di atas panggung itu. Kwie-san-ngokoay atau lima orang aneh dari Kwie san saja sudah merupakan lawan yang berat dan sukar kiranya bagi mereka berdua untuk mengalahkan mereka, belum ditambah dengan Gak Ong Tosu yang luar biasa lihainya! Giok Cu merasa bulu tengkuknya berdiri ketika ia teringat akan Gak Ong Tosu si pendeta siluman yang pernah menculiknya dulu itu!
Thian In tunda langkah kakinya, dituruti oleh Giok Cu.
“Mereka terlalu lihai....bukan makanan kita ” pemuda itu berkata pelan seakan-akan kepada diri sendiri.
“Akupun pikir demikian tapi tak mungkin kita kembali.”
“Tak mungkin! Lebih baik mati daripada berlaku demikian pengecut!” kata Thian In gagah. “Akupun berpendapat begitu!” kata Giok Cu.
“Hm, ada persamaan di antara kita,” kata Thian In. “Kurasa...banyak persamaan kita.”
Pada saat itu tiba-tiba dari atas puncak terdengar bunyi orang bernyanyi. Itulah nyanyian yang telah terkenal, tapi yang telah diubah oleh Thio Seng! Penyanyi itu hanya dinyanyikan bagian bawah saja.
Asah pedang, gosok bak basah pit!
Biar pedangku membersihkan bumi, biar pitku menerangi langit Pedang dan pit bersatu, ribuan, laksaan
Langit akan bersih, dunia akan terang
Suara itu makin keras dan bergema di segenap penjuru hingga Thian In keluarkan suara pujian. Giok Cu telah loncat bangun dan pegang lengan Thian In.
“Dia telah datang!” katanya dengan gembira dan wajah berseri. Bu-eng-cu Koayhiap?” tanya Thian In.
Mereka lalu bergerak cepat ke arah datangnya suara. Semangat mereka timbul dengan mendadak! Tapi mereka tak dapat temukan penyanyi itu dan ketika mereka telah tiba di depan pintu kelenteng itu, belum juga mereka bertemu dengan orang yang dicarinya! Bangunan itu adalah sebuah gedung beras yang besar yang berbentuk seperti kelenteng, dan di atas pintunya yang besar terdapat tulisan: “Kwie-san-pay.”
Keadaan di situ sunyi saja dan pintu depannya tertutup. Thian In mencoba untuk dorong daun pintu, tapi ternyata pintu yang tebal dan berat itu terpalang dari dalam. Pemuda itu berani gunakan kepalan tangan menggedor pintu sambil berseru keras:
“Kwie-san Ngo-lo-enghiong! Kami berdua orang-orang muda telah datang memenuhi janji. Berilah pintu!”
Setelah berteriak beberapa kali, tiba-tiba dari dalam terdengar suara orang ketawa nyaring dan disusul oleh kata-kata.
“Pintu memang tertutup, tapi tembok kami demikian rendah, lompati saja tembok itu kami menanti di taman!” Kata-kata ini seolah-olah dikeluarkan terhadap seorang kawan lama, hingga Thian In dan Giok Cu segera memandang tembok itu. Bukan main tingginya dinding yang mengurung tempat itu. Tidak kurang dari lima belas kaki! Dan di atas tembok dipasangi besi-besi tajam seperti ujung tombak lagi. Kalau bukan orang yang telah mempunyai kepandaian loncat dan ginkang yang tinggi, sukarlah agakna untuk dapat meloncati tembok itu tanpa terluka kulitnya atau terobek pakaiannya oleh ujung tombak tajam itu!
Tapi Thian In tidak mampu perlihatkan kelemahannya hanya karena menghadapi rintangan macam itu. “Dapatkah kau loncati tembok ini?” tanyanya kepada Giok Cu.
Setelah mengukur dengan matanya, Giok Cu berkata terus terang: “Kalau tidak terhalang oleh ujung-ujung tombak itu, tentu dapat.”
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara tertawa lagi yang diikuti suara ejekan: “He anak-anak muda, hati- hatilah. Ujung-ujung besi itu telah karatan dan beracun!”
Thian In merasa mendongkol sekali.
“Aku hendak loncat dulu, kau menyusul kemudian dan pegang kedua kakiku. Aku akan lempar kau lewat tembok dengan kedua kakiku. Mengertikah?
Giok Cu tersenyum maklum. “Baiklah!”
Setelah kencangkan ikat pinggang dan ringkaskan pakaian, Thian In enjot tubuhnya dan dengan gerakan Pek-lion-seng thian atau Naga-putih-naik ke langit ia loncat ke atas dengan ringannya. Tubuhnya melayang dengan cepat dan ia gunakan kedua tangannya untuk menyambar dan memegang dua batang besi tombak di atas tembok! Ia ulur kedua kakinya melintang dan berseru ke bawah:
“Adik Giok, kau naiklah!”
Giok Cu kagum melihat gerakan pemuda itu. Kemudian setelah mendengar seruan Thian In, ia loncat ke atas dengan gerakan Hui hiau-coan-in atau burung terbang terjang mega. Ia telah gunakan seluruh tenaganya meloncat dengan mudah ia dapat menangkap pergelangan kedua kaki Thian In yang diulurkan.
Awas, aku lempar kau ke dalam!” Thian In lalu ayunkan kakinya beberapa kali untuk ambil tenaga, kemudian dengan keras ia tendangkan kakinya ke atas dan tubuh Giok Cu terlempar ke atas melewati ujung-ujung tombak!
Karena sudah berjaga, maka Giok Cu dapat atur tubuhnya sedemikian rupa hingga ia melayang dengan baik ke dalam! Ternyata di sebelah dalam adalah sebuah taman bunga yang indah dan dengan selamat Giok Cu dapat turunkan kedua kakinya di atas rumput hijau!
Melihat bahwa Giok Cu telah melayang ke dalam dengan selamat, Thian In lalu ayun kakinya ke atas dan dengan ber-poksay atau berjumpalitan dengan gerakan Lee-hi-ta-teng atau Ikan-lohi-loncat meletik ia berhasil melewati ujung-ujung tombak dan melayang ke dalam dengan selamat pula!
Mereka berdua memandang ke sekeliling dengan waspada. Dan apa yang tampak di dalam taman adalah di luar dugaan mereka.
Lima orang saykong rambut panjang dengan pakaian seragam warna hijau tengah berdiri mengelilingi dua orang yang sedang duduk main catur. Thian In dan Giok Cu kanali bahwa dua di antara kelima saykong itu adalah Hoan Tin-cu dan Gan Tin-cu, maka mereka dapat menduga bahwa tiga saykong yang lain tentulah tokoh-tokoh Kwie-san-pay yang lain. Maka lengkaplah Kwie-san-ngo-koay! Tapi kenyataan ini belum terlalu mengagetkan mereka, karena ketika mereka melihat kedua orang yang sedang bermain catur itu mereka terkejut sekali. Mereka adalah Gak Ong Tosu dan Beng Po Hiatsu, si pendeta Lama yang kelihaiannya seperti iblis dan yang telah berhasil menculik Thio Seng dulu!
Biarpun mereka berdua tabah dan gagah, namun melihat keadaan lawan yang tangguh itu, diam-diam Thian In dan Giok Cu mengeluh! Mereka bertujuh, lima tokoh Hwie-san dan dua pendeta siluman yang sedang main catur itu sama sekali tidak melihat mereka bahkan seakan-akan tidak tahu akan kedatangan mereka.
Thian In merasa dihina sekali maka ia maju hendak menegur, tapi tiba-tiba Gan Tin-cu goyang-goyang tangan menyuruh ia diam!
Thian In tidak jadi menegur dan melihat betapa kelima saykong itu memandang ke arah papan catur dengan penuh perhatian, ia pun sangat tertarik! Dengan tak heran ia maju melangkah mendekati tempat itu, diikut Giok Cu. Tak lama kemudian mereka berdua berdiri di sebelah kelima saykong itu sambil menonton orang main catur! Sungguh lugu keadaan mereka. Jauh-jauh datang hendak menguji ilmu silat, tidak tahunya mereka kini berdiri diam bagaikan patung, nonton orang beradu otak dengan tertarik sekali!
Pada saat itu kedudukan raja yang dipegang Beng Po Hoatsu terdesak dan terkurung.
“Ha, ha, ha! Toyu, sekarang kau pasti kalah! Taruhan itu takkan terlepas lagi dari tanganku!” kata Gak Ong Tosu girang.
Tapi Beng Po Hoatsu tidak menjawab hanya usap-usap jidatnya dan mencari jalan untuk mengeluarkan rajanya dari kepungan Thian In makin tertarik.
“Apakah taruhan mereka?” tanyanya kepada Gan Tin-cu. Saykong itu tersenyum dan gerakan kepalanya ke arah Giok Cu!
“Apa maksudmu?” Thian In berbisik dan Giok Cu memandang dengan mata terbelalak. “Nona inilah taruhan mereka,” jawab Gan Tin-cu dengan perlahan.
Bukan main marah hati Giok Cu. Ia hendak menerjang kedua pertapa yang main catur itu, tapi Thian In pegang lengannya dan menyabarkannya.