Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 29

NIC

Karena bujukan-bujukan Thian In dan Giok Cu, akhirnya orang tua itu menurut. Demikianlah, malam- malam mereka berangkat, diantar oleh Giok Cu dan Thian In. Mereka bersembunyi dalam sebuah kampung di bukit yang sunyi di mana mereka menuntut hidup sebagai petani biasa.

Setelah berjanji hendak menyelidiki keadaan Thio Seng, Thian In dan Giok Cu berpisah dari mereka. Kedua orang muda itu naik kud dan menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan mereka tak banyak bercakap- cakap, karena mereka masih tertindas oleh rasa kasihan melihat nasib rumah tangga Thio.

Pada keesokan harinya ketika mereka sedang bedalkan kudanya melalui sebuah lereng bukit, dari jauh tampak dua kuda mendatangi dengan dijalankan perlahan oleh penunggangnya. Ketika mereka sudah datang dekat, hampir saja kedua anak itu berteriak dengan girang, kaget, dan heran. Seorang dari kedua penunggang kuda itu ternyata adalah Thio Seng sendiri! Pemuda itu tersenyum-senyum dan ayem saja, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu yang hebat! Setelah saling pandang denga heran, Thian In dan Giok Cu memperhatikan penunggang kedua, Thian In melihat bahwa orang itu adalah seorang tua yang berpakaian sebagai sastrawan pula. Kuku jari tangannya panjang-panjang dan jenggotnya putih panjang pula. Wajahnya biasa saja dan kedua matanya memandang dengan jujur dan terbuka. Bibirnya selalu membayangkan senyum ramah. Kalau bagi Thian In orang tua itu tak dikenal dan tampak seperti seorang guru sekolah biasa saja, bagi Giok Cu adalah sebaliknya. Ia loncat turun dan lari menghampiri lalu memberi hormat sambil menyebut:

“Gan lopeh benar-benar kaukah ini?”

Orang tua itu tertawa bergelak, suara tawa yang jujur dan tak dibuat-buat. Sebaris gigi yang putih, rata dan kokoh kuat tampak. Matana bersinar-sinar mengeluarkan cahaya kilat. Setelah berhenti ketawa, sastrawan tua itu mengelus-ngelus rambut Giok Cu sambil berkata:

“Nona Giok Cu! Hampir aku lupa ketika melihat kau sudah begini berubah. Bagaimanakah, baik-baik saja kau selama ini?”

Orang tua itu ternyata bukan lain ialah Gan Im Kiat, si sastrawan jujur yang dulu datang bersama puteranya, Kam Ciu dan bermalam di rumah Giok Cu. Gan Im Kiat inilah yang dulu melamar untuk dijodohkan dengan Kam Ciu, dan lamaran itu telah ditolaknya!

Giok Cu heran mengapa orang tua itu tidak menanyakan ayahnya dan sebaliknya menanyakan keadaannya sendiri? Masih marahkah orang tua itu kepada ayahnya karena penolakan pinangan dulu?

“Gan lopeh....ayah...ayah telah meninggal dunia,” katanya dan air matanya menitik turun.

“Hm, hm jangan menangis, nona. Aku sudah mendengar akan hal itu dari Kam Ciu. Kematian bukanlah

hal yang aneh bagi manusia hidup. Bukankah kita semua ini akhirnya toh akan mati juga? Mati dulu atau mati belakangan itu hanya soal waktu saja! Mengapa kau bersedih? Mari, mari, kuperkenalkan aku kepada kawanmu ini. Ia agaknya gagah sekali.”

Thian In ketika mendengar bahwa orang tua itu adalah ayah Kam Ciu, menjadi heran sekali. Orang tua ini kelihatan biasa saja. Apakah anaknya itu benar-benar pandai? Ia sangsi. Mendengar kata-kata terakhir dari Gan Im Kiat, ia maju dan turun dari kuda dan menjura:

“Saya adalah Souw Thian In. Bagaimana lo-sianseng dapat menolong Thio kongcu?”

“Menolong? Ha, menolong?” Gan Im Kiat memandang kepada Thio-kongcu. “Coba kau ceritakan apa yang telah terjadi.

Thio Seng yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil tersenyum, segera berkata: “Gan lo-sianseng ini sebenarnya adalah guruku dalam hal kesusasteraan! Beliau pernah mengajarku beberapa bulan ketika aku masih tinggal di kota raja. Ketika aku ditawan dan dibawa pergi oleh pendeta Lama dulu, aku lalu dimasukkan dalam tahanan sementara menanti persidangan memeriksaku. Dan malam tadi datanglah seorang gagah menolongku. Aku tidak tahu siapa dia karena gerakan-gerakannya demikian cepat dan malam gelap. Tahu-tahu aku telah dibawa loncat naik ke atas rumah dan dibawa ke dalam hutan. Kemudian aku ditinggalkan di hutan itu seorang diri. Ketika aku tanya namanya, ia tak mau mengaku hanya berkata bahwa aku harus menanti di situ dan jangan pergi ke mana-mana. Lalu ia pergi dengan berjanji.

“Dengan bernyanyi? Ah, ia tentu Bu-eng-cu Koayhiap!” berkata demikian Giok Cu memandang kepada Gan Im Kiat dengan tajam tapi orang tua itu hanya tersenyum dan bertanya kepadanya.

“Kenalkah kau kepada Bu-eng-cu Koayhiap?”

Giok Cu geleng-geleng kepala dan menjawab: “Kenal sih tidak, tapi sudah beberapa kali kami bertemu tanpa saling bertemu muka. Beberapa kali ia menolongku dengan menggelap. Gan Lopeh kenalkah kau kepada Bo-eng-cu Koayhiap?” Dan gadis itu kembali gunakan matanya yang tajam menatap wajah orang tua itu.

“Pernah aku mendengar nama itu,” jawabnya sederhana. “Aku tidak tahu siapakah dia, hanya lagu nyanyiannya masih kuingat, beginilah:

Pedang di tangan kiri

Pit dan kertas di tangan kanan Menjelajah rimba raya

Menurun jurang mendaki gunung Langit suram muram

Bumi hitam gelap kotor Pedang dan pit tak berguna

Biarlah pedangku tumpul berkarat! Biarlah pitku kering tak bertinta!

“Mendengar nyanyiannya itu, aku lalu berteriak dan mencelanya, dan mencelanya, dan kukatakan bahwa lagu itu seharusnya begini:

Pedang di tangan kiri

Pit dan kertas di tangan kanan Menjelajah rimba raya

Menurun jurang mendaki gunung Langit suram muram

Bumi hitam gelap kotor

Asah pedang, gosik bak basahkan pit Biar pedangku membersihkan bumu Biar pitku menerangi langit

Pedang dan pit bersatu, ribuan, laksaan Langit akan bersih, dunia akan terang.

“Setelah aku nyanyikan lagu yang telah kurobah itu, dari dalam gelap ia berseru bahwa lagu itu sangat baik dan ia sangat kagum padaku, lalu berjanji bahwa semenjak saat itu ia akan mengubah pendiriannya.”

Thian In dan Giok Cu mendengar penuturan Thio Seng dengan kagum dan heran. Tiba-tiba Giok Cu berpaling kepada Gan Im Kiat dan berkata:

“Gan Lopeh, di manakah saudara Kam Ciu? Telah lama aku tidak berjumpa dengan dia.

“Kam Ciu? Ah, anak yang tiada guna itu selalu pergi ke mana-mana. Ia mempunyai urusan tersendiri, entah di mana ia berada sekarang. Akupun hendak mencarinya, maka kebetulan sekali kami bertemu dengan kalian di sini. Nah, sekarang aku serahkan Thio Seng kepada kalian untuk diantar ke rumah orang tuanya. Aku harus mencari Kam Ciu!” Kemudian otrang tua itu naik ke atas kudanya lagi dan jalankan kuda itu perlahan ke jurusan lain.

Giok Cu masih merasa penasaran berteriak:

“Gan lopeh, kenalkah kau kepada seorang locianpwe?”

Gan Im Kiat tahan kudanya dan menengok. “Locianpwe yangmana?” “Heng-san Lojin, guru Bu-eng-cu Koayhiap! Kenalkah kau kepadanya?” Gan Im Kiat geleng-geleng kepala dan mulutnya berkata perlahan-lahan.

“Entahlah...entahlah...”kemudian sambil pandang muka Thio Seng, ia berkata sambil tertawa: “Nyanyian karanganmu yang kau ceritakan tadi bagus sekali, aku suka pula menyanyikannya...”

Setelah berkata demikian, orang tua itu jalankan lagi kudanya dan bernyanyi perlahan dengan suara tinggi:

Pedang di tangan kiri

Pit dan kertas di tangan kanan...

Giok Cu dan Thian In memandang perginya orang tua itu sampai lenyap di sebuah tikungan. Gadis itu menghela napas kecewa karena tidak mendapat keterangan yang jelas maka ia bertanya kepada Thio Seng:

“Thio kongcu, di manakah kau bertemu dengan Gan-lopeh?”

“Ceritaku tadi belum habis!” jawab Thio Seng tertawa. “Setelah penolongku itu memujiku, ia lalu pergi. Aku menaati nasihatnya dan tidak pergi ke mana-mana, hanya duduk saja di situ di atas sebuah batu karang, sampai fajar menyingsing. Kemudian berbareng dengan datangnya sinar matahari, datanglah Gan losianseng itu naik kuda dan menuntun kuda lain di belakangnya. Ia katakan bahwa di jalan ia bertemu dengan seorang yang pesan agar ia menjemput aku di tempat itu. Ia tidak tahu siapa orang yang memesan itu, hanya orang itu meninggalkan seekor kuda untukku! Nah, begitulah maka aku berjalan bersama dia sampai di sini.

Giok Cu makin bingung dan tak mengerti. Siapakah yang main sandiwara? Benarkah Bu-eng-cu yang gagah perkasa itu Kam Ciu? Juga Thian In merasa ragu-ragu, tapi ia masih teguh keyakinannya bahwa Kam Ciu bukanlah seorang pemuda sastrawan yang lemah, hanya ia tidak tahu pasti apakah pemuda itu Bu-eng-cu atau bukan.

Giok Cu dan Thian In lalu antar Thio Seng menuju ke kampung di mana bersembunyi Thio tihu dan isterinya. Pertemuan mereka mengharukan sekali, terutama sekali Thio hujin yang menangis tersedu-sedu karena girang melihat puteranya selamat tapi bersedih mengenang akan nasib keluarnya. Thio Seng menjatuhkan diri berlutut di depan ayah bundanya dan berkata dengan suara penuh penyesalan:

“Ayah dan ibu, ampunilah anakmu yang hanya mendatangkan malapetaka belaka kepada ayah bunda.” Ibunya hanya dapat memeluknya dan menangis makin sedih, tapi ayahnya berkata tegas:

“Tidak, Siauw Seng! Kau tidak berbuat salah!”

“Anak adalah seorang yang puthauw, ayah. Anak hanya mendatangkan bencana.”

“Aku tidak menganggapnya begitu, Siauw Seng. Bahkan...aku bangga melihat sepak terjangmu. Kau tidak nodai nama keluarga bahkan kau membuat keluarga Thio terpandang tinggi oleh rakyat. Kau mengharumkan nama keluargamu, anakku. Biarlah jangan kita bekerja setengah-setengah. Teruskanlah cita-citamu, kalau perlu lawanlah pemerintah asing! Atau setidak-tidaknya gunakanlah pengertianmu untuk mengumpulkan kawan-kawan membasmi para durna yang hanya merusak rakat. Akupun sudah bosan menjadi pembesar, karena di sekelilingku hanya orang-orang rendah, penjilat-penjilat, dan pengejar- pengejar harta benda belaka yang bekerja! Majulah, Siauw Seng, aku dan ibumu hanya bisa berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu. Kau akan dibantu oleh banyak orang-orang gagah seperti yang telah terjadi sekarang ini!”

Thian In dan Giok Cu ditahan semalam di kampung itu. Malam harinya Thio hujin ma suk ke kamar Giok Cu.

“Giok Cu kau anak nakal! Kau ke mana saja, nak? Semenjak kau pergi diam-diam dulu itu, kau kelihatan sibuk sekali. Bukankah urusan yang kau campuri semua itu urusan laki-laki? Mengapa kau ikut-ikut dan turut campur? Biarkanlah saja orang-orang lelaki yang mengurus dan menyelesaikannya!”

Giok Cu tersenyum. “Memang aku berbeda jauh dengan kau, peh-bo. Kau adalah wanita yang halus terpelajar, kau adalah bagaikan bunga, aku adalah bagaikan bunga hutan, bunga liar yang sudah biasa hidup di hutan-hutan!

Thio-hujin tersenyum. “Bunga hutan kalau dipindahkan dan ditanam dalam taman akan menjadi bunga yang lebih indah dan harum lagi, Giok Cu.”

Posting Komentar