“Silahkan! Kami tidak takut!” berkata demikian ini Thian In mencabut pedangnya dan Giok Cu juga turut contoh pemuda itu.
“Ha, ha! Agaknya kalian dua orang muda sudah bosan hidup.”
Sebagai penutup kata-katanya, Kim-to Poey Kong gerakkan golok emasnya ke arah Thian In yang menangkis dengan cepat. Keduanya merasa betapa besar tenaga masing-masing hingga Kim-to Poey Kong terkejut sekali, karena si Golok emas ini tadinya hendak gunakan tenaganya dan sekali sampok hendak bikin pedang Thian In terpental jauh! Siapa duga, tidak saja pedang, pemuda itu tidak terlempar, bahkan ia merasa telapak tangannya yang memegang golok tergetar panas! Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tak boleh dibuat gegabah, maka ia berseru: “Kawan-kawan, serbu!”
Para pengawal keraton itu maju menyerbu dengan senjata masing-masing tapi Giok Cu perlihatkan kesebetannya. Ia mengamuk hebat dengan tangan kanan pegang pedang dan tangan kiri pegang sabuk sutera. Gerakannya demikian gesit dan ia bersilat dengan penuh semangat hingga tak berbeda dengan seekor harimau betina mengamuk. Thian In juga keluarkan seluruh kepandaiannya. Ia mainkan pedangnya bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke sana kemari. Tapi lawan mereka adalah pahlawan- pahlawan kelas satu yang memiliki kepandaian silat tinggi hingga mereka segera terkurung dan terdesak hebat.
“Adik Giok Cu, kesini!” Thian In berseru keras dan Giok Cu segera geser kakinya hingga mereka berdua berkelahi sambil adu punggung. Dengan cara demikian, mereka lebih muda menghadapi lawan-lawan mereka tanpa khawatir diserang dari belakang. Giok Cu berkelahi makin bersemangat. Agaknya sebutan Thian In menyebutnya adik!
Kedua kawan Thio Seng dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan bersembunyi di balik pohon. Tapi sungguh mengagumkan, Thio Seng sendiri duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Anak muda itu duduk dengan enaknya sambil nonton perkelahian itu. Berulang-ulang ia mengangguk dan matanya berseri kagum melihat sepak terjang Thian In dan Giok Cu hingga beberapa kali ia berseru: Bagus! Bagus!”
Tapi perlahan-lahan, Thio Seng merasa cemaas juga, bukan takut untuk nasibnya sendiri, tapi takut kalau- kalau kedua muda mudi yang gagah itu akan mendapat celaka, di ujung senjata. Ia tahu betapa mereka terdesak, tapi apa daya, ia tak sanggup membantu.
Thian In dan Giok Cu juga merasa betapa berbahaya keadaan mereka. Mereka telah merasa lelah sekali, bahkan Thian In telah mendapat beberapa luka di tubuhnya.
“Adikku yang baik, biarlah kita mati bersama dalam menjalankan tugas kegagahan!” Thian In berbisik, Giok Cu tiba-tiba merasa kedua pipinya basah karena air matanya loncat keluar ketika ia mendengar kata-kata Thian In itu. Ia hana bisa menjawab dalam bisikan.
Engko Thian In, jangan putus harapan. Mari kita terjang kepungan ini!” Dan ia putar pedang dan sabuk suteranya makin cepat. Terdengar pekik kesakitan dan seorang pengawal tertusuk pedang Giok Cu pada pahanya. Ia terhuyung-huyung ke belakang lalu roboh dan tak dapat membantu kawan-kawannya. Melihat hasil yang didapat oleh kawannya, Thian In timbul semagatnya. Ia kertak gigi dan putar pedangnya dengan gerakan Hui-pauw-liu-coan atau Air terjun bertebaran. Terdengar jeritan lain dan pedang Thian In berhasil pula melukai pundak kiri seorang pahlawan lain yang cepat loncat mundur untuk rawat lukanya.
Kawanan pengawal keraton menjadi marah sekali dan mereka mendesak makin hebat. Yang aneh adalah pendeta Lama itu. Ia berdiri berpeluk tangan dan nonton pertempuran itu. Sungguh sikapnya seperti Thio Seng, tenang dan dingin!
Kembali Thian In dan Giok Cu terdesak hebat. Giok Cu mendapat luka dipangkal lengannya dan Thian In telah menerima beberapa guratan lagi. Keadaan mereka sungguh berbahaya dan jiwa mereka seolah-olah tergantung pada sehelai rambut!
Pada saat itu terdengar pekik kesakitan beberapa kali dan keadaan para pengepung menjadi kalut. Dua orang pengawal keraton roboh tak ingat orang! Kini yang mengepung tinggal empat orang lagi. Thian In dan Giok Cu tidak tahu bagaimana dan mengapa dua orang pengeroyoknya roboh.
Pada saat itu, barulah pendeta Lama itu bergerak! Dengan sekali loncat saja pendeta itu telah berada di tengah kalangan pertempuran, dan dua kali tangannya bergerak, ia telah dapat merampas pedang Thian In dan kedua senjata yang dipegang Giok Cu! Melihat kehebatan orang, Thian In dan Giok Cu loncat mundur dengan terkejut, tapi pada saat itu keempat pahlawan telah maju mengeroyok lagi! Sedangkan pendeta lama itu tinggalkan mereka dan tahu-tahu telah loncat ke depan Thio Seng! Sebelum Thio Seng tahu apa yang terjadi, ia merasa dirinya telah diangkat dan berada dalam pondongan pendeta Lama itu. Thio Seng hendak berontak, tapi tiba-tiba ia rasakan tubuhnya kaku dan tak dapat bergerak. Ternyata ia telah ditotok jalan darah Tay-hwie-hiat hingga tubuhnya kaku! Beberapa buah batu putih menyambar ke arah jalan darah pendeta Lama itu, tapi semua senjata rahasia itu dapat disampoknya pergi. Namun makin banyaklah batu-batu kecil m enyambar dan kesemuanya menuju ke tempat yang berbahaya atau ke arah urat yang mematikan! Repot juga batu yang lihai itu. Akhirnya karena gemas, Beng Po Hoatsu, yakni pendeta Lama yang lihai itu, tutup semua jalan darahnya dan kerahkan tenaga dalamnya hinnga kulitnya menjadi kebal. Dan aneh! Semua batu seperti hujan menyerangnya, ketika mengenai kulit tubuhnya lalu jatuh ke atas tanpa berhasil sedikitpun! Kemudian, maklum bahwa lawan-lawan tangguh segera datang membela Thio Seng. Beng Po Hoatsu kempit tubuh pemuda itu dan sekali berkelebat ia lenyap dari situ!
Thian In dan Giok Cu berada dalam keadaan berbahaya. Mereka kini bertangan kosong dan harus menghadapi empat orang jagoan keraton. Mereka sibuk melawan dan gunakan kegesitan hingga sama sekali tidak tahu akan terculiknya Thio Seng oleh Beng Po Hoatsu.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tampak sinar pedang berkelebat ke kanan kini, dan tahu-tahu dua orang pengawal roboh tewas, sedang seorang lagi terbabat pahanya sampai hampir putus! Tinggal Kim to Poey Kong seorang yang merasa gemas dan heran. Ia ayunkan goloknya menyabet ke arah bayangan itu, tapi kembali berkelebat sinar pedang dan ia merasa tangannya sakit sekali hingga goloknya terlepas. Ternyata lengannya telah terlepas hingga mengeluarkan banyak darah. Pada saat itu Thian In maju menendang dadanya hingga ia terlempar beberapa tombak dan roboh pingsan!
Thian In dan Giok Cu hanya melihat bayangan itu loncat pergi cepat sekali dan terdengar suara: “Thio- kongcu kenal tertawan si auwte coba mengejarnya!”
Thian In dan Giok Cu kagum sekali, dan setelah berdiri bengong agak lama, akhirnya Thian In berkata: “Hebat sekali kepandaian orang itu!”
“Dia adalah Bu-eng-cu Koayhiap. Aku kenal suaranya!” kata Giok Cu gembira.
“Pantas disebut Bu-eng-cu si Tanpa bayangan. Ginkangnya benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan.”
“Tapi mengapa Thio-kongcu sampai dapat terampas? Siapa yang melakukan itu?”
Tiba-tiba Thian In teringat. “Eh, mana pendeta Lama yang tadi berdiri saja dan tiba-tiba merampas senjata kita? Dia lihai sekali tentu dialah yang telah menawan Thio kongcu.”
Giok Cu mengangguk membenarkan. “Tentu dia! Siapa lagi selain dia. Untung Bu-eng-cu Koay hiap datang, kalau tidak, selain Thio kongcu tertawan, jiwa kitapun tentu telah melayang.”
Thian In menghela napas lagi. “Kalau pendeta itu sampai dapat menawan Thio kongcu di depan mata Bu- eng-cu, dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian pendeta Lama itu.
Mereka merawat luka masing-masing. Untungnya Thian In selalu membekal obat-obat luka. Kemudian mereka memilih dua kuda yang terbaik dan naik kuda itu tinggalkan para korban. Delapan orang pahlawan Kaisar yang terkenal gagah perkasa semua rebah mandi darah di tempat itu, ada yang sudah mati, ada yang pingsan, dan ada yang masih bergerak-gerak sambil mengerang kesakitan!
“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” Giok Cu berkata bingung.
“Kita harus menuju ke rumah orang tua Thio kongcu. Aku dapat menduga bahwa kaisar tentu akan membasmi mereka serumah tangga. Marilah, makin cepat makin baik. Thio-tihu serumah tangga harus segera lari bersembunyi!”
Mereka lalu bedal kuda dan membalap menuju kota Anting. Mereka berjalan terus tak kenal lelah walaupun sesungguhnya mereka butuh sekali mengaso setelah mengalami pertempuran yang hebat itu dan mendapat luka-luka walaupun hanya luka-luka di luar dan tak berbahaya. Semua ini menunjukkan bahwa baik Thian In dan Giok Cu adalah orang-orang yang menjunjung tinggi prikebenaran, orang-orang yang setia akan tugas seperti halnya Thian In yang menjalankan perintah suhunya, dan yang bertekad dalam membalas budi, seperti halnya Giok Cu yang masih ingat akan budi keluarga Thio kepadanya!
Kedatangan mereka disambut oleh kedua suami isteri Thio. Dengan halus agar tak mengejutkan orang, Giok Cu ceritakan akan hal tertawannya Thio Seng. Namun, tetap saja Thio-hujin mendengar hal ini lalu menjerit dan jatuh pingsan! Setelah ditolong dan siuman kembali, nyonya itu menangis sedikit walaupun ia menahan suara tangisnya, agak tak kedengaran orang tapi tubuhnya bergerak-gerak menggigil dan air matanya tiada hentinya mengalir dari kedua belah matanya. Giok Cu menjadi terharu dan ikut menangis.
Thio tihu dapat menekan penderitaan batin itu. Ia geleng-geleng kepalanya. “Memang sudah kuduga bahwa Siouw Seng tentu akan menjadi seorang luar biasa. Aku girang mendengar dia berjiwa patriot, berarti ia menjunjung tinggi nama nenek moyangnya, tapi tak kusangka ia seberani itu. Ahh...ia masih muda, tak kurang hati-hati...
“Tapi, tayjin tak usah kau khawatir. Thio kongcu telah membangunkan semangat banyak orang gagah. Mereka tentu takkan tinggal diam dan berusaha menolongnya. Sekarang yang penting tayjin berdua harus segera lari dari sini, karena kalau tidak tentu bencana besar menimpa keluar ini! Pasti kaisar akan menangkap kalian serumah tangga!”
Thio tihu mengangguk-angguk. “Aku tahu...aku tahu...tapi sebagai seorang pemangku jabatan, aku harus menerima segala hukum yang dijatuhkan padaku oleh Sri Baginda!”
“Kau keliru, tayjin. Bukankah putermu sudah dengan nyata sekali menyatakan ketidak adilan pemerintah? Mengapa kau hendak berkorban jiwa serumah tanggamu untuk kaisar asing itu? Pula, kalau sampai tayjin tertawan, aku berani pastikan bahwa Thio-kongcu juga pasti akan menyerahkan diri kembali seandainya ia telah terbebas sekalipun. Mana dia mau melarikan diri jika diketahuinya bahwa orang tuanya mendekam dalam penjara!