Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 27

NIC

“Kau sungguh mulia, nona. Terima kasih atas berita yang kau sampaikan ini. Tapi...tapi agaknya nona mempunyai kepentingan dengan siautee hingga sampai mencegat di sini.”

“Sebenarnya, aku hendak memperingatkan kau supaya berhati-hati karena ada beberapa orang hendak menangkapmu!” Giok Cu menduga bahwa pemuda itu akan terkejut dan ketakutan, tapi ia kecele. Thio Seng sama sekali tidak memperlihatkan muka terkejut, apa lagi takut. Tidak demikian dengan kedua kawannya yang juga adalah pemuda-pemuda pelajar sastra, mereka ini menjadi pucat dan jelas menunjukkan muka takut.

Tiba-tiba Thian In pegang lengan Thio Seng dan berkata: “Mereka benar-benar tidak mencegat kita, tapi jangan takut, ada aku di sini. Apa pula sekarang ada Pek I Lihiap beserta kita, takut apakah kita?”

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Thian In sengaja jalankan kuda di belakang bersama Giok Cu. Setelah berada di belakang berdua dengan gadis itu, wajah Thian In tampak bersungguh-sungguh.

“Nona Ong, sebenarnya siapakah orang-orang yang hendak menangkap Thio-kongcu? Ada berapa orang dan mereka orang-orang apa?”

“Katanya kau tidak takut! Untuk apa tanya-tanya pula?” jawab Giok Cu sambil mengerling tajam dan mulut tersenyum mengejek.

“Di depan Thio kongcu tidak perlu kita bicara tentang bahaya.” “Tapi ia tampaknya tak setakut engkau!”

Thian In menghela napas. “Memang ia orang luar biasa. Biarpun tubuhnya lemah, tapi hati dan semangatnya lebih kuat dan tabah daripada kita. Karena itu harus kita lindungi dia.”

“Eh, dia itu orang apakah maka agaknya demikian penting? Aku lihat orang-orang yang hendak menangkapnya juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka berjumlah sembilan orang dan semuanya memiliki ilmu silat yang tidak rendah, terutama pendeta itu!”

“Biarlah aku tidak takut. Apalagi ada kau yang membantu.” “Engkoh Thian In sebenarnya orang penting macam apakah pemuda sastrawan lemah itu?” tanya Giok Cu sambil menunjuk dengan gagang cambuk kudanya ke arah punggung Thio Seng, dan bagaimana kau bisa bersama-sama dengan dia?”

“Biarlah kuceritakan riwayatnya yang kudengar dari suhu, dan tentang pertemuanku dengan dia agar kita tidak kesepian melalui hutan ini,” kata Thian In yang selalu bercerita.

Seperti telah diketahui, Thio Seng atau yang biasa disebut Siauw Seng oleh ayah ibunya, adalah putera tunggal dari Thio tihu yang tinggal di kota Anting. Semenjak kecilnya, Thio Seng sangat pintar dan maju sekali dalam pelajaran membaca dan menulis hingga setelah ia agak besar, ayahnya mengirimnya ke kota raja di mana tinggal pamannya yang menjadi congtok. Thio Seng terus mempelajari ilmu kesusasteraan dan ketatanegaraan dengan tekun dan rajin ketika ia menempuh ujian koota raja, ia lulus dengan hasil baik. Tapi dalam dada pemuda ini menyala semangat cinta bangsa yang besar sekali hingga ia segera merasa penasaran dan menyesal melihat ketidak adilan pemerintah Cen-tiauw di masa itu. Ia anggap bahwa pemerintah asing dan bangsa Boan mengisap rakyat yang miskin. Ia bersedih betapa orang-orang gagah bangsa Han yang memiliki kepandaian digunakan oleh pemerintah asing itu untuk menindas rakyat lemah, betapa orang-orang gagah terpecah belah dan bahkan saling bermusuhan. Terdorong oleh rasa penasaran, kemarahan dan kesedihan ini ia menulis sebuah karangan yang isinya mencela pemerintah Boan dan menyerukan kepada semua rakyat jelata agar bersatu padu, saling tolong dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Walaupun ia tidak langsung menganjurkan pemberontakan, tapi isi tulisan itu demikian tajam hingga menimbulkan heboh besar, baik di kalangan rakyat maupun di pihak pemerintah. Orang-orang gagah yang membaca karangan itu timbullah semangat kepahlawanan dan jiwa patriotnya, para dorna atau penghianat, yakni orang-orang Han yang gunakan kesempatan untuk mencari pangkat dengan menjilat-jilat pembesar-pembesar Boan dan menindas serta kurbankan bangsa sendiri merasa tercambuk muka mereka, sedangkan kaisar membaca karangan itu menjadi marah. Pada saat itu memang Thio Seng hendak pulang ke rumah orang tuanya, maka kaisar segera memberi titah untuk menangkap pemuda itu dan membawanya ke istana. Tapi hal itu dilakukan dengan hati-hati sekali oleh para petugaas karena mereka maklum bahwa banyak sekali orang gagah merasa simpati dan suka kepada Thio Seng.

Di antara para orang gagah i tu, Gak Bong Tosu juga merasa kagum akan keperibadian dan buah pikiran anak muda itu, maka ia segera mencari Thian In dan perintahkan muridnya itu mencegah perjalanan Thio Seng dan melindunginya.

Thian In semenjak gagaknya membalas dendam kepada Ong Kang Ek lalu naik gunung dan bertapa dengan suhunya, tapi Gak Bong tahu bahwa muridnya itu tidak berjodoh untuk menjadi pertapa, karena itulah maka ia perintahkan muridnya turun gunung sekalian melindungi pemuda sasterawan yang berjiwa besar itu.

Perjalanan Thian In terhalang ketika ia bertemu dengan Giok Cu, tapi segera pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk menjemput Thio Seng. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Thio Seng yang telah tertangkap oleh segerombolan perampok dan dengan gagah Thian In menwaskan kepala rampok dan menolong Thio Seng dengan dua orang kawannya. Semenjak peristiwa itu mereka bersahabat dengan Thian In mengawali Thio Seng pulang ke kampungnya dan bertemu di jalan dengan Giok Cu.

Demikianlah, Thian In menceritakan pengalamannya kepada Giok Cu dan sebaliknya Giok Cu juga tuturkan pengalamannya semenjak mereka berpisah. Tentu saja ia tidak ceritakan bahwa ia telah dipinang oleh Thio-hujin untuk dijodohkan dengan Thio Seng!

Akhirnya Giok Cu bertanya: “Engko Thian In, sebenarnya aku masih sangat mengharap penjelasan tentang rahasiamu agar penasaranku segera padam.”

Thian In menghela napas dan geleng-geleng kepala. “Belum waktunya, nona Ong, nanti saja aku tuturkan hal itu di atas gunung Kwie-san!” Setelah berkata demikian pemuda itu keprak kudanya dan jalankan kudanya sejajar dengan Thio Seng, sedangkan Giok Cu dengan hati mangkel tinggal di belakang.

Tak lama kemudian Thian In mendekati Giok Cu lagi dan berkata perlahan: “Nona, kau katakan tadi hendak membalas budi keluarga Thio dan membela Thio kongcu, betulkah?”

Giok Cu memandang heran karena ia tidak dapat menduga apa maksud pemuda itu, tapi ia mengangguk membenarkan. “Kau begitu, kuharap kau suka berjalan di belakang, sedangkan aku berjalan di depan hingga Thio kongcu dan kawan-kawannya berada di tengah. Dengan cara demikian, akan lebih mudahlah kita melindunginya. Hati-hatilah, kita sudah dekat Liok-ankian!”

Giok Cu mengangguk dan semangatnya bangun kembali. Ah, ia memang hendak membalas budi dan melindungi keselamatan Thian Seng dengan sekuat tenaga, kalau perlu dengan jiwanya! Bukankah dulu ayah bunda pemuda itu juga telah memeliharanya dari sakit, bahkan mungkin dari kematian?

Ketika mereka memasuki kota Liok-ankian, hati Giok Cu berdebar. Betapapun juga, kalau teringat akan pendeta Lama itu, ia merasa seram dan ngeri juga. Dapatkah ia dan Thian In melawan kekuatan mereka itu? Ia sangsi dan ragu-ragu, tapi di depan Thian In dan Thio Seng ia tidak sudi perlihatkan kelemahan atau ketakutan, lebih-lebih ketika ia mendengar bahwa biarpun tubuhnya lemah, hati dan semangat Thio Seng menyala bagai api yang tak kenal padam!

Mereka singgah di sebuah rumah makan sebentar untuk makan. Selama itu Giok Cu dan Thian In berlaku sangat hati-hati biarpun kepada Thio Seng mereka tak berkata apa-apa. Terutama Thian In sampaipun makanan dan minuman yang dihidangkan selalu diperiksa dengan teliti hingga diam-diam Giok Cu merasa kagum dan dalam perjalanan itu ia banyak mendapat petunjuk yang memperluas pengalamannya.

Tapi sungguh heran, sampai pada saat mereka keluar lagi dari kota Liok-ankian, mereka tidak mengalami gangguan sedikitpun! Thian In memandang Giok Cu dengan penuh pertanyaan, tapi gadis itu sendiripun mengangkat pundak dan terheran.

Perjalanan dilanjutkan. Beberapa belas li setelah mereka berada di luar kota, tiba-tiba mereka berada di luar kota, tiba-tiba di sebuah kota jalan tikungan mereka melihat beberapa orang berdiri di pinggir jalan.

“Nah, itulah mereka!” Giok Cu berkata cemas.

Ketika Thian In memandang, pemuda itu berseru: “Celaka mereka adalah pengawal-pengawal istana, jagoan-jagoan kelas satu! Kita menemui lawan-lawan berat!

Ternyata yang mencegat mereka adalah delapan orang pahlawan keraton dan seorang pendeta lama berjubah kuning. Thian In belum pernah melihat pendeta asing itu, mereka tidak berapa memperhatikan. Yang menjadi pusat perhatiannya ialah rombongan pengawal itu.

“Nona, kau lihat! Pengawal yang tertua itu bukan lain ialah Kim-to Poey Kong Si golok emas! Ia lihai sekali, maka serahkanlah ia padaku. Kau boleh layani yang muda-muda mungkin mereka tak berapa berat!”

Ketika mereka sudah datang dekat dengan para pencegat itu Kim-to Poey Kong sambil lintangkan goloknya angkat tangan kiri. “Tahan, atas nama Sri Baginda Kaisar yang mulia, kami harus antar Thio siucai kembali ke kotaraja!!” Thio Seng memang biasa disebut Thio siucai, ialah sebutan bagi para sastrawan yang telah lulus ujian.

Melihat sikap orang, Thio Seng turun dari kuda dan bertanya: “Bolehkah aku melihat tanda-tanda bahwa kau diutus oleh Baginda Kaisar? Mana lengkinya (bendera perintah)?”

“Lihatlah, bukalah matamu! Bukankah jelas bahwa kami adalah pahlawan-pahlawan Kaisar? Kami tak perlu membawa lengki!”

Thio Seng geleng-geleng kepala dengan tabah. ”Tak mungkin ada aturan demikian! Kalau memang kau membawa tanda dari Sri Baginda, tentu aku akan berlutut dan menurut saja kau tangkap. Tapi karena kalian tidak membawa surat perintah, aku tidak mau kau suruh kembali ke kota raja!”

“Twako, tak perlu ribut-ribut. Tangkap saja dia!” seru pengawal lain.

Tapi pada saat itu Thian In dan Giok Cu maju menghalang di depan Thio Seng.

“Orang-orang kurang ajar dari mana hendak andalkan kekerasan mengganggu orang baik-baik?” Thian In membentak. “Eh, darimana datangnya orang hutan ini? Menyindir seorang pengawal muda yang pernah merasakan sabetan sabuk Giok Cu, berkata menyeringai:

“Ha, Pek I Lihiap datang lagi. Apakah kau rindu padaku?” pahlawan itu gunakan kesempatan untuk menghina Giok Cu karena hatinya masih sakit karena sabetan dulu.

“Saudara-saudara! Kalau memang kalian tidak mencari permusuhan, pergilah jangan ganggu kami!” Thian In berkata lagi.

Kim-to Poey-kong tertawa. “Sobat, kau agaknya seorang gagah juga. Maka kau pergilah dengan Pek I Lihiap, kami takkan mengganggu kalian. Tapi Thio-siucai ini harus kalian tinggalkan kepada kami.”

“Tak mungkin! Kami berlima adalah teman seperjalanan, tak mungkin dia kami tinggalkan. Kami pergi bersama dan tinggal bersama pula.”

“Kalau begitu, terpaksa kami harus gunakan kekerasan!”

Posting Komentar