Thio-hujin menahan tubuhnya dengan tangan lalu mendorongnya perlahan untuk rebah kembali. “Tidurlah saja Giok Cu badanmu masih lemah. Kebetulan sekali Siauw Seng mengirim buah-buah dari kota raja. Nah ini untukmu,” Nyonya itu serahkan beberapa butir buah.
“Siapakah Siauw Seng peh-boh??” Thio hujin gunakan tangannya menutup mulut sambil tertawa.
“Lupakah kau? Dia adalah anak kami. Namanya Seng, tapi dari dulu kami sebut dia Seng Kecil (Siauw Seng).”
“Peh-bo, sungguh saya merasa berhutang budi kepadamu berdua. Kebaikan hatimu membuat saya malu saja. Maka besaok hendak melanjutkan perantauanku, peh-bo.”
Thio-hujin menghela napa. “Kau...sudah tidak mempunyai orang tua lagikah?” Giok Cu geleng-geleng kepala dengan sedih.
“Dan keluarga lain?” Kembali Giok Cu geleng-geleng kepala.
“Dan....jangan marah, ja. Itu...pemuda yang dulu bersamamu? Siapakah dia? Masih keluargamukah?” “Bukan! Ia hanyalah...kenalan ayah ketika beliau masih hidup. Kebetulan saja aku berjumpa di kota ini .” “Jadi...kau, belum kawin?”
Giok Cu termenung sebentar, wajah halus itu sambil tersenyum lalu gelengkan kepala. “Belum bertunangan?” pertanyaan ini dikeluarkan dengan hati-hati sekali.
Giok Cu kerutkan jidat sebentar lalu menjawab tetap: “Belum. Mengapa kau tanyakan hal itu, peh-bo?”
Thio-hujin menghela napas. “Terus terang saja, nak. Peh-pohmu dan aku sering bicara tentang kau dan kami merasa kau sebagai anak sendiri. Kami suka dan kasihan padamu. Kami...kami...jika kau suka, kami akan girang sekali mengambil mantu kau untuk kami jodohkan dengan Siauw Seng...
Giok Cu bangkit dan duduk dengan serentak. Ia memandang dengan mata terbuka lebar kepada nyonya yang memandangnya dengan tersenyum itu.
“Ah, peh-bo....” tiba-tiba Giok Cu memeluk nyonya itu dan menangis sedih. Thio hujin elus-elus pundak gadis itu dengan penuh kasih sayang.
“Kalau kau hidup sebatang kara, bukankah baik sekali kau terima pinanganku, Giok Cu? Kau akan mendapat keluarga dan orang tua yang akan selalu berlaku baik padamu. Tapi, ingat nak, aku tidak memaksa. Aku tahu bahwa sebagai seorang gadis pendekar yang sering merantau dan banyak melihat dunia kau tentu tidak puas menerima begitu saja. Maka biarlah kutunggu sampai Siauw Seng pulang, lihatlah sendiri putera kami itu. Kalau ia tidak terlalu buruk dan terlalu bodoh, kuharap engkau dapat menerima kehendak kami ini.”
Bukan demikian, peh-bo. Tapi....tapi aku...”Giok Cu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya sangat terisak-isak saja. Nyonya Thio bangkit berdiri dan setelah menepuk-nepuk bahu gadis beberapa kali dengan mesranya ia berkata:
“Jangan banyak bersedih, nak dan jangan bingungkan tentang pinangan itu. Kau mempunyai banyak waktu untuk mempertimbangkannya. Sekarang mengasolah badanmu masih lemah. “Setelah berkata demikian nyonya yang baik hati itu tinggalkan kamar Giok Cu dan gadis itu duduk termenung seorang diri. Pikirannya berputar-putar dan melayang-layang jauh. Ia hendak dijodohkan dengan putera tihu, seorang pemuda sasterawan. Ia teringat kepada Kam Ciu. Pemuda itu juga dianggap sastrawan ketika meminang dan ditolaknya, hanya karena alasan bahwa ia seorang pemuda sastrawan lemah! Ah, ia telah menolak pemuda seperti Kam Ciu dan salah memilih seorang pemuda yang hendak membunuhnya, yang telah mendatangkan malu dan cemar pada keluarganya. Dan sekarang ia akan dijodohkan dengan seorang pemuda sastrawan lain, sastrawan tulen? Ia bingung, akhirnya menjadi pusing dan tak terasa tertidur kembali. Di dalam tidurnya ia mimpi berjumpa dengan Thian In yang mengejarnya dengan pedang terhunus dan hendak membunuhnya. Ia akhirnya tak kuat lari lagi dan menanti pemuda itu dengan nekad lalu ia berkata bahwa ia takkan melawan dan rela dibunuh asal saja pemuda itu suka menceritakan tentang sebab permusuhannya dengan ayahnya. Tapi Thian In tak menjawab, hanya terus menyerang dan sabetkan pedang ke leher Giok Cu! Giok Cu berkelit tapi pedang masih terus bergerak mengikuti leher hingga ia menjerit dan sadar dari tidurnya!
Giok Cu susut keringat yang membasahi leher dan jidatnya. Seketika timbul rasa penasaran dalam hatinya terhadap Thian In. Mengapa pemuda itu belum mau juga membuka rahasianya? Mengapa belum juga menceritakan riwayat terjadinya permusuhan?
Malam hari itu, ketika Nyonya Thio memasuki kamar Giok Cu, ia melihat kamar itu telah kosong. Gadis itu diam-diam telah pergi hanya tinggalkan sehelai surat di atas meja. Dengan kecewa dan terharu Thio-hujin baca surat itu.
Thio peh-bo yang tercinta, Sungguh saya merasa berdosa besar dan malu sekali telah pergi diam-diam tanpa pamit, setelah peh-bo berdua begitu baik terhadap saya. Tapi apa boleh buat, sebuah urusan yang sangat penting memaksa saya pergi malam ini juga. Saya belum dapat ceritakan apakah adanya urusasn ini, dan pada bulan depan, sekiranya saya masih hidup, pasti saya akan datang menghaturkan maaf di depan peh-bo berdua.
Hormat saya: Ong Giok Cu
Diam-diam Thio-hujin mengeluh. Ah, dasar anak perempuan kang-ouw. Sayang dia bukan gadis terpelajar biasa yang tidak kenal akan segala kekasaran dari golongan persilatan, pikirnya. Maka timbullah sedirit rasa kecewa dalam hati nyonya yang halus budi itu. Dan pergilah ia mendapatkan suaminya sambil membawa surat Giok Cu. Thio tihu hanya geleng-geleng kepala dan rabah-rabah kumisnya.
Seperti orang yang tak sehat pikiran, Giok Cu di waktu tengah malam buta pergi meninggalkan gedung tihu, balapkan kudanya keluar kota dan semalam penuh tiada hentinya ia berpacu melawan angin malam. Ia tak perdulikan hawa malam yang dingin, tak perdulikan tubuhnya yang baru saja sembuh dari sakit itu menjadi basah oleh keringat. Ia larikan kudanya seperti dalam mimpi. Satu-satunya pikiran yang terbayang dalam otaknya ialah kejar dan cari Thian In!
Fajar telah menyingsing ketika ia masuk kota kecil yang ramai. Bau masakan yang keluar dari sebuah rumah makan menyadarkannya bahwa perutnya sejak malam tadi terasa lapar dan minta diisi. Ia hentikan kudanya di depan rumah makan itu dan setelah ikat kendali kuda pada sebuah tiang, ia masuk. Rumah makan itu kecil tapi telah ramai. Giok Cu agak heran melihat kerajinan orang-orang di situ, sepagi itu telah keluar rumah dan berada di rumah makan. Mungkin di situ terdapat pasar yang buka pagi-pagi, pikirnya.
Rumah makan itu berloteng dan karena di bawah terlalu penuh, Giok Cu naik ke loteng. Semua tamu yang makan di situ adalah laki-laki belaka, dan tak seorangpun tidak menengok memandangnya semenjak ia memasuki pintu rumah makan. Hal ini membuat Giok Cu merasa gemar sekali hingga ketika ia sudah sampai di loteng ia duduk sambil tarik kursi keras-keras.
Yang makan di atas loteng hanyalah serombongan orang terdiri dari seorang tua dan empat orang muda. Pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat dan di pinggang mereka tergantung pedang. Tapi Giok Cu tak memperhatikan mereka hanya makan dengan bernapsu. Ia tidak tahu bahwa seorang di antara mereka yang muda, memandangnya dengan penuh gairah. Ketika ia kebetulan menengok, maka marahlah ia karena orang muda itu lalu memandangnya dengan mata kurang ajar dan mulut cengar cengir!
Bangsat, pikirnya, dan untuk melampiaskan rasa mendongkolnya, Giok Cu berdiri dengan serentak dan pergi hingga kursi yang tadi didudukinya terguling dan mengeluarkan suara keras! Tapi gadis itu tak perdulikan itu semua, hanya cepat bayar harga makanan dan cemplak kudanya.
Tapi setelah keluar dari kota, pikirannya agak tenang. Hawa sangat sejuk dan pemandangan indah. Maka ia jalankan kudanya dengan perlahan seenaknya.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda belakangnya. Segera ia hentikan kudanya dan minggir. Ternyata yang datang adalah lima orang yang tadi sedang makan di loteng rumah makan. Pemuda yang tadi memandangnya dengan sikap menjemukan, tahan les kudanya hingga kawan-kawannyapun terpaksa berhenti.
Orang tua itu angkat tangan memberi hormat. “Nona, boleh aku bertanya. Nona hendak ke mana?” Kata- katanya diiringi senyum memikat.
Giok Cu kedikkan kepalanya. Hendak kemanapun aku apakah hubungannya dengan kamu?”
Orang itu tersenyum dan lirik kawan-kawannya yang juga tersenyum mendengar dan melihat lagak gadis yang galak itu.
“Tidak apa-apa, nona. Hanya kalau kita sejurusan, bukankah lebih enak kita jalan sama-sama dari pada menyepi seorang diri.”
Giok Cu marah sekali, wajahnya memerah. “Kau anggap aku orang apa maka kau berani berlaku kurang ajar?”
Orang itu makin lebar senyumnya. “Kau? Kau kuanggap orang yang cantik jelita, sayang sedikit galak!” “Bangsat, rendah, kau cari mampus!” Giok Cu cabut pedangnya dan loncat turun dari kudanya.
Pengganggunya loncat turun juga dan sambil memandang kawan-kawannya ia berkata: “Ah, tak kusangka gadis cantik ini pandai main pedang. Twako, perkenankanlah aku main-main sebentar dengan orang ini.”
Orang yang tertua mengangguk tersenyum. Tapi berhati-hatilah, jangan kau celakakan padanya.”
“Mana aku tega hati untuk melukai kulitnya yang halus dan putih bersih itu?” orang itu berkata tapi ia harus segerah tahan suara ketawanya ketika pedang Giok Cu datang menyambar!