Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 24

NIC

“Pletak!!” dan dia lempar potongan pedang itu ke atas lantai.

“Tapi susiok, pedang itu adalah pemberian suhu. Mengapa dipatahkan?”

“Tak perduli pemberian siapa juga, kau telah bersalah dengan mencabutnya dan hendak melawan kepada susiokmu sendiri. Hayo maju dan berlutut!” Thian In hanya dapat menurut, dan ia berlutut di depan susioknya. Menurut perguruannya, seorang murid yang bersalah akan dipukul tubuh belakangnya. Dan ia tahu bahwa susiok di depannya ini adalah seorang manusia berhati iblis dan tentu hendak menjatuhkan tangan kanannya kepadanya. Tapi ia tak berani melawan karena dengan demikian berarti ia melanggar peraturan gurunya! Ia hanya kerahkan tenaga dalamnya ke arah punggung untuk menahan kedua orang yang ditahan itu kedatangan musuh dari luar.

Dengan menyimpang Thian In ceritakan bahwa yang datang musuh-musuh lama, maka karena hari telah sore ia minta diri dari tihu itu. Pembesar itu terpaksa meluluskan karena iapun tidak suka kalau musuh- musuh kedua orang itu datang lagi membuat ribut.

Sebelum tinggalkan tempat itu, Thian In berkata kepada Giok Cu: “Nona Ong, sekarang, biarlah kita berpisah. Aku masih ada urusan lain yang harus diselesaikan.”

Giok Cu memandangnya dengan hati sedih. “Tpai, tapi...kau belum ceritakan tentang hal....

“Biarlah nanti bila kita berjumpa di atas Kwie-san akan kuceritakan padamu akan hal ku mendendam kepada keluargamu.”

Terpaksa Giok Cu hanya dapat melihat pemuda itu meninggalkannya dengan hati perih. Ia merasa betapa sikap pemuda itu telah berobah kepadanya. Ia sebagai seorang gadis yang berperasaan halus dapat merasakan bahwa Thian In tidak cinta. Ujung sabut cepat melejit ke bawah dan menyambar leher tosu itu!

“Bagus juga permainanmu!” Gak Ong memuji dan kali ini ia biarkan saja ujung sabuk membelit lehernya! Ketika Giok Cu dengan girang menyentak sabuknya, bukan tubuh pendeta itu yang roboh, sebaliknya dia sendiri yang tertarik hingga terhuyung ke arah pendeta itu! Gak Ong Tosu dengan tertawa menjemukan buka kedua lengannya sambil berkata:

“Ah, ah...mari, manis, mari sini ”

Tapi Giok Cu keburu menahan tubuh dan loncat mundur sambil memaki dengan gemas. “Tosu anjing! Tosu siluman!” Ia banting banting kaki dan hampir saja menangis, karena menghadapi tosu itu ia merasa sebagai seorang anak kecil yang tak berdaya. Sementara itu Thian In masih berlutut tak bergerak.

Pada saat yang berbahaya itu, berkelebatlah sinar putih dan tahu-tahu sebutir batu karang putih menyambar ke arah pilingan kepala Gak Ong Tosu. Menyambarnya senjata rahasia itu demikian cepat hingga Gak Ong mengeluarkan suara kaget dan berkelit ke samping. Tapi pada saat itu juga, tida buah benda putih lain menyambarnya! Senjata-senjata rahasia itu sangat lihai karena yang di arah adalah jalan- jalan darah yang mematikan.

Dengan berseru marah Gak Ong gunakan ujung bajunya yang panjang untuk mengebut ketiga batu itu, kemudian secepat kilat kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu Thian In dan Giok Cu telah tertotok hingga tidak berdaya karena tak dapat bergerak sedikitpun! Thian In masih berlutut dan Giok Cu berdiri bagaikan patung.

“Bueng-cu setan kecil! Jangan lari, tunggu pembalasanku!” Gak Ong berseru keras lalu tubuhnya berkelebat keluar dan loncat ke atas genteng.

Ketika berada di atas genteng, ia tidak melihat siapa-siapa. Tiba-tiba empat buah batu, batu lain menyambarnya yang dapt dikebut dengan mudah. Berbareng saat itu terdengar seruan Bueng-cu si Tanpa bayangan.

“He, Gak Ong, pendeta cabul penuh dosa! Mengapa selainnya cabul dan jahat, kau juga sangat pengecut? Kau sudah janji dengan suhengmu untuk bertemu di Kwie-san. Mengapa kau ganggu mereka sebelum tiba waktu penetapan di Kwie-san? Apakah kau hendak andalkan kepandaianmu menghina yang lemah? Ingat, Gak Ong perbuatanmu ini akan membusukkan nama selama kau hidup di kalangan kang-ouw! Tidak beranikah kau menanti sampai setengah bulan lagi di Kwie-san?”

Merahlah wajah Gak Ong. “Bu-eng-cu! Kau manusia rendah! Kau katakan aku pengecut? Untuk makian ini saja aku akan membunuhmu! Baiklah aku menanti di Kwie-san. Dan jangan kau tidak datang, karena kalau kau tidak muncul, ke manapun kau pergi pasti aku akan mengejarmu!” Sehabis berkata demikian dengan hati panas Gak Ong Tosu melayang pergi.

Thian In dan Giok Cu mendengar semua itu tapi mereka tak berdaya untuk keluar. Tiba-tiba dua butir batu melayang dan memukul tepat pada jalan darah Thian In dan Giok Cu yang segera terbebas dari totokan tadi. Mereka memburu keluar dan loncat naik. Tapi Bu-eng-cu Koay-hiap si Pendekar aneh Tanpa- bayangan sudah tak tampak sedikitpun bayangannya!

“Kenalkah kau kepada Bu-eng-cu Koay-hiap?” Giok Cu bertanya dengan suara gemetar kepada Thian In. Pemuda itu geleng kepala dan tersenyum.

“Biarpun belum pernah bertemu muka tapi aku dapat menduga siapa dia, dan kurasa kaupun dapat menduganya, nona Ong. Tapi sementara ini biarlah kita jangan pusingkan kepala dengan menduga-duga karena kau tadipun mendengar bahwa setengah bulan lagi dia juga hendak naik ke Kwie-san. Ah, akan ramailah di sana nanti!”

Ketika mereka turun kembali, di situ sudah penuh orang-orang yang ternyata adalah tihu dan pengawal- pengawalnya. Mereka ini diberitahu oleh penjaga tahanan dan segera mengepung tempat itu karena menyangka bahwa datangnya pukulan susioknya yang ia duga tentu akan mendatangkan maut baginya, atau setidak-tidaknya luka dalam yang hebat! Ia meramkan matanya. Tapi pada saat itu Giok Cu tak dapat tahan marahnya lagi. Secepat kilang ia menusuk dengan pedangnya ke arah pinggang tosu itu.

Gak Ong Tosu tertawa menyindir dan berkata: “Ha, nona, kau juga hendak kurang ajar padaku? Lihat nanti di Kwie-san, kalau aku sudah membawa kau ke sana, apakah kau masih dapat berlaku segalak ini atau tidak. Ha, ha, ha! Sambil tertawa ia gerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang Giok Cu telah menusuk celah-celah jari tangan tosu itu yang menyengkeram dan dengan keluarkan suara keras pedang Giok Cu juga patah menjadi dua. Bukan main kagetnya gadis itu tapi ia belum mau menyerah. Ia cabut sabuk suteranya dan gunakan itu untuk memecut muka Gak Ong Tosu. Pendeta siluman itu gunakan tangan kiri mencabut ujung sabuk, tapi dengan sekatan sekali Giok Cu gerakkan tangannya hingga lagi padanya! Ia terkenang kepada Kam Ciu. Benarkah pemuda yang dulu ia tolak lamarannya dan tampak lemah dan tolol itu sekarang pendekar luar biasa? Benarkah Bu-eng-cu Koayhyap yang lihai dan beberapa kali menolongnya itu adalah Gan Kam Ciu juga? Ah, tidak masuk diakal! Tapi kalau betul alangkah malunya

kalau bertemu padanya!

Berpikir sampai di sini, Giok Cu menjadi bingung dan ia merasa betapa ia hidup seorang diri di dunia ini. Tiba-tiba ia merasa sangat kesepian dan menangislah ia tersedu-sedu!

Ketika ada tangan memegang pundaknya dengan lembut, ia angkat kepala menengok Tihu tua yang ramah itulah yang memegang pundaknya.

“Lihiap, mengapa bersedih dan menangis? Marilah kau tinggal di rumahku beberapa hari, Lihiap. Isteriku tentu akan senang sekali bertemu dengan engkau. Tentu saja, kalau kau sudi mampir di rumah kami.”

Giok Cu hendak menolak, tapi ia melihat wajah yang ramah itu seakan-akan memohonnya. Juga, pada saat hari telah mulai gelap itu, hendak kemanakah ia pergi?

“Marilah, lihiap. Barang-barangmu di hotel telah kupindahkan ke rumah kami, karena aku kalau-kalau di sana ada yang mencurinya.”

Akhirnya Giok Cu setuju dan mengikuti tihu itu ke gedungnya. Tihu itu adalah seorang she Thio. Thio tihu hidup berdua dengan isterinya, karena putera tunggalnya yang bernama Thio Seng melanjutkan pelajaran ke kota raja dan menempuh ujian di sana.

Gedung tihu itu biarpun besar tapi hanya diisi dengan perabot rumah tangga yang sederhana saja hingga diam-diam Giok Cu merasa heran. Mengapa ada tihu semelarat ini? Ia tidak tahu bahwa Thio-tihu terkenal sebagai seorang yang jujur dan adil. Hatinya bersih tak pernah sudi menerima sogokan hingga ia terkenal dan disuka oleh rakyat, tapi keadaannya selalu miskin. Kelebihan hasil yang dipakainya selalu digunakan untuk membantu mereka yang miskin, atau disumbangkan kepada kelenteng-kelenteng yang hendak memperbaiki bangunannya.

Thio-hujin ternyata adalah seorang nyonya setengah tua yang halus tutur bahasanya, perumah dan terpelajar pula. Nyonya itu walaupun hanya seorang wanita, tapi setelah bercakap-cakap dengan Giok Cu, ternyata sangat luas pandangannya. Tidak heran bahwa sebentar saja Giok Cu merasa tunduk betul dan merasa suka kepadanya. Hal ini tidak saja dikarenakan kehalusan budi nyonya Thio, tapi juga karena sebenarnya Giok Cu haus akan kasih sayang seorang ibu. Ibunya sendiri meninggal ketika ia belum dewasa.

Karena kebaikan Thio tihu dan keramahan Thio-hujin. Giok Cu merasa betah tinggal di situ hingga ketika suami isteri she Thio itu minta agar ia tinggal lebih lama ia menyetujui sambil haturkan terima kasih. Tapi, biarpun merasa senang tinggal di situ karena tekanan-tekanan batin yang dideritanya semenjak tinggalkan rumah sampai pada perjumpaannya dengan Thian In, ditambah kekecewaan hatinya mendengar akan hal Kam Ciu yang membuatnya merasa malu kepada diri sendiri, Giok Cu jatuh sakit!

Tubuhnya panas sekali hingga ia sering sekali mengigau menyebut-nyebut nama ayah-ibu, nama Thian In dan Kam Ciu berganti-ganti. Berhari-hari ia tidak ingat orang hingga Thio tihu berdua isterinya merasa bingung sekali. Kedua suami isteri yang baik hati ini segera panggil tabib terpandai dan merawat gadis itu dengan teliti dan open sekali.

Tiga hari kemudian Giok Cu sembuh kembali dari sakitnya, walaupun tubuhnya masih lema. Ia terima kasih sekali kepada Thio-tihu dan terutama kepada Thio-hujin yang sering kali duduk di pinggir pembaringannya dan gunakan tangannya yang halus untuk membereskan rambut dan pakaiannya, bahkan sering kali nyonya yang berbudi ini elus-elus rambut kepala Giok Cu dengan penuh kasih sayang! Giok Cu tidak tahu bahwa nyonya itu dulu di samping puteranya mempunyai juga seorang anak perempuan yang wajahnya hampir sama dengan dia, dan yang meninggal dunia karena penyakit. Agaknya persamaan wajah inilah yang menggerakkan hati nyonya itu untuk timbul kasih sayangnya terhadap Giok Cu.

Pada hari keempatnya, di waktu senja ketika Giok Cu sadar dari tidur siang, ia melihat Thio-hujin telah duduk pula di dekatnya.

“O, sudah lamakkah, pehbo?” tegurnya sambil buru-buru bangun duduk. Ia diharuskan menyabut peh-peh dan peh-boh, yakni uwak atau paman serta bibi kepada Thio-tihu berdua, sebutan yang lebih mesra dan yang lebih berarti bahwa ia dianggap keluarga sendiri.

Posting Komentar