"Gembel busuk bosan hidup"
Kau belum mengenal kelihaian Kongcumu, ya?"
Suara Ouwyang-kongcu ini terdengar sayup-sayup oleh Han Han dan pemuda tampan itu mengeluarkan sehelai tambang dari saku sela kudanya. Diikatnya kaki kiri Han Han, kemudian ia memegangi ujung tali itu dan melompat naik ke atas kudanya. Ketika kudanya dilarikan, tubuh Han Han tentu saja terseret di atas tanah. Orang-orang yang berada di situ hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak ada seorang pun berani membela Han Han.
Mereka hanya saling pandang dan menggeleng-geleng kepala dengan hati kasihan kepada anak gembel yang amat pemberani itu. Han Ham memiliki kenekatan dan nyali yang luar biasa sekali. Juga tubuhnya memiliki daya tahan mengagumkan. Hal ini telah dilihat oleh mata yang awas dari Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang sehingga kakek itu merasa tertarik dan ingin mengambilnya sebagai murid. Biarpun ia tadi telah dipukul hebat dan kini tubuhnya diseret seperti itu, ia masih tidak merasa takut. Bahkan ia marah sekali. Tidak dipedulikan punggung dan pinggulnya lecet-lecet, pakaiannya yang sudah penuh tambalan itu makin buruk karena compang-camping. Ia tidak mengeluh, tidak pula minta ampun, bahkan ia yang terseret itu berusaha mengangkat tubuh atasnya dan menudingkan telunjuknya ke depan, ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki-maki.
"Bocah kejam melebihi iblis"
Kelakuanmu ini akan menyeretmu ke lembah kecelakaan."
Pada saat itu, dari arah kanan berkelebat sinar putih.
Ternyata itu adalah sebatang piauw (pisau sambit) yang disambitkan oleh seorang gadis cilik. Piauw itu tepat sekali mengenal tambang yang menyeret Han Han sehingga putus seketika dan Han Han terbebas, tidak terseret lagi. Sambil duduk dan berusaha membuka ikatan kakinya, Han Han memandang dengan mata terbelalak ketika mengenal bahwa anak perempuan itu bukan lain adalah.... Sin Lian, Han Han mengeluh. Dia ditolong dari tangan seorang anak laki-laki kejam oleh seorang anak wanita ganas. Kedua orang anak itu setali tiga uang, sama-sama ganas dan kejam, tiada yang dipilih. Sin Lian sudah meloncat turun dari atas batu di mana ia tadi berdiri dan menyambitkan piauwnya. Sikapnya garang sekali ketika ia memandang Ouwyang-kongcu dan telunjuknya yang kecil runcing itu menuding ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki.
"Setan alas, Monyet pengecut. Beraninya hanya menyiksa bocah gembel yang tidak bisa silat. Hayo lawan aku kalau kau berani, kalau minta diremuk tulang-tulangmu."
Sin Lian memasang kuda-kuda menantang. Ouwyang-kongcu ini adalah putera seorang bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Ouwyang Cin Kok.
Dia putera pangeran, tentu saja selain kaya raya juga angkuh dan sudah biasa menerima penghormatan di mana-mana. Namanya adalah Ouwyang Seng dan pada waktu itu ia sedang menerima pendidikan ilmu silat dari gurunya, seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sakti. Sebagai putera pangeran, tentu saja dalam perguruannya tersedia segala perlengkapan untuk kebutuhannya setiap hari, sampai-sampai tersedia seekor kuda untuknya. Dan ia pun belajar sambil main-main, kadang-kadang menunggang kuda pergi ke dusun-dusun dan ke manapun juga ia pergi, anak nakal ini tentu disambut penduduk dusun dengan ramah dan hormat, sungguhpun di dalam hati mereka ini membencinya karena kenakalannya suka menggoda orang. Kini, dimaki-maki seperti itu, Ouwyang Seng marah sekali lalu meloncat turun dari atas kudanya.
"Eh, kau bocah kampung. Berani kau memaki Kongcumu? Kau pun sudah bosan hidup agaknya."
Sambil berkata demikian, Ouwyang Seng lalu menggunakan sisa tambang yang berada di tangannya, yang panjangnya ada dua meter lebih untuk menyerang.
Serangannya hebat, cepat dan keras sekali sehingga mengejutkan Sin Lian yang cepat melompat dan mengelak. Dari gerakan serangan itu Sin Lian dapat menduga bahwa anak nakal ini pandai silat. Memang dugaannya tidak keliru. Ouwyang Seng diasuh oleh seorang guru yang amat pandai sehingga biarpun cara ia belajar kurang tekun, namun jarang ada anak sebaya dengannya yang mampu melawannya, biarpun anak itu pandai silat sekalipun. Sebaliknya, melihat betapa anak perempuan yang tadinya hendak ia rangket karena telah berani memakinya itu dapat mengelak demikian cepat, Ouwyang Seng menjadi penasaran dan menerjang lebih gencar lagi. Sin Lian tidak diberi kesempatan membalas serangan-serangannya, karena tambang itu menyerang terus-menerus, membuat ia harus menggunakan gin-kang dan berloncatan ke sana ke mari.
"Monyet cilik, Monyet curang. Jangan pakai tambang kalau berani."
Sin Lian memaki kalang-kabut karena ia benar-benar terdesak dan tidak sempat membalas sama sekali, bahkan pahanya telah kena dipecut satu kali sehingga terasa pedas dan panas. Ouwyang Seng tertawa bergelak. Ia kini tahu bahwa biarpun memiliki kegesitan luar biasa, anak perempuan ini masih bukan merupakan lawan berat baginya. Maka ia lalu membuang tambang itu dan berkata,
"Majulah kalau ingin merasakan kaki dan tanganku yang sakti."
Melihat pemuda cilik itu sudah membuang tambangnya, Sin Lian menjadi girang dan cepat ia menerjang maju dengan kaki tangannya yang gesit. Namun dengan mudah Ouwyang Seng menangkis sambil mengerahkan tenaga, membuat Sin Lian meringis kesakitan. Ouwyang Seng tertawa lagi, lalu mendesak dengan pukulan aneh. Sin Lian berseru kaget, terhuyung mundur dan tiba-tiba lututnya kena ditendang Ouwyang Seng sehingga ia roboh terguling. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Han Han telah melompat dan menubruk Ouwyang Seng dari belakang. Mulutnya mencela,
"Laki-laki apa tuh yang menyerang perempuan."
Kedua lengannya merangkul leher dengan sekuat tenaga, kedua kakinya mengait pinggang. Ouwyang Seng terkejut, meronta-ronta. Akan tetapi biarpun tidak pandai silat, Han Han pada dasarnya memang memiliki tenaga besar. Apalagi ia mempunyai kelebihan, yaitu nyali dan kenekatan. Biarpun Ouwyang Seng mengobat-abitkannya, ia tetap tidak mau melepaskan rangkulan lengan dan kempitan kakinya, seperti seekor lintah yang kelaparan menempel pada daging gemuk.
"Lepaskan...., Lepaskan, kau gembel busuk.... lepaskan....."
Akan tetapi Han Han tidak mau melepaskannya, bahkan menggunakan tangannya untuk mencekik leher.
Penduduk dusun yang menghampiri dan menonton perkelahian ini, tidak berani mencampuri, hanya memandang terheran-heran. Orang-orang tidak ada yang berani melawan Ouwyang-kongcu, kini seorang anak perempuan dan seorang pengemis cilik berani menghinanya, memakinya, dan melawannya. Ouwyang Seng yang meronta-ronta akhirnya roboh, membawa tubuh Han Han bersama-sama. Mereka bergulingan di atas tanah, bergelut, namun tetap Han Han tidak mau melepaskan kaki tangannya. Ouwyang Seng mendapat akal, ia lalu menangkap tangan Han Han dan menekuk jari telunjuknya. Bukan main nyerinya rasa telunjuk itu, sampai terasa menusuk di ulu hatinya. Han Han marah lalu.... menggigit pundak Ouwyang Seng sekuat tenaga.
"Ouwwuw.... aduh.... aduh.... aduhhh....."
Ouwyang Seng menjerit-jerit, pundaknya berdarah dan akhirnya ia menangis berkaok-kaok, melolong-lolong sambil meronta-ronta. Penduduk dusun yang melihat ini menjadi khawatir. Takut kalau terbawa-bawa, maka mereka lalu memburu dan cepat melerai, menarik Han Han melepaskan rangkulannya, kempitannya dan gigitannya.
"Hi-hi-hik, Pengecut besar. Bisanya hanya menangis. Hi-hi-hik, kau hebat, Han Han....."
Sin Lian bertepuk-tepuk tangan. Ia masih duduk karena lututnya yang tertendang itu membuatnya tak dapat berdiri, agaknya terlepas sambungannya. Juga Han Han merasa betapa telunjuk tangan kirinya sakit sekali, seperti patah sambungannya pula. Ouwyang Seng tadi menangis bukan hanya karena sakit, melainkan terutama sekali karena ketakutan setelah usahanya melepaskan rangkulan gagal. Kini setelah bebas, ia menjadi marah sekali dan menerjang Han Han dengan pukulan keras.
Han Han terjengkang dan terpaksa menerima hantaman dan tendangan. Sin Lian memaki-maki, dan untuk ini, Ouwyang Seng segera melompat ke dekatnya dan menendang kepalanya. Biarpun tak dapat bangun, namun Sin Lian yang mengerti ilmu silat mencoba untuk menangkis dengan lengan, dan akibatnya ia pun roboh terguling-guling. Ouwyang Seng menjadi mata gelap saking marahnya. Disambarnya sebuah batu sebesar kepalanya dengan kedua tangan dan ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi, kemudian dihantamkan ke arah kepala Han Han. Kalau hantaman ini kena, tentu kepala Han Han akan remuk. Akan tetapi tiba-tiba batu itu tertahan dan di situ telah berdiri Lauw-pangcu. Sekali renggut batu itu terampas dan dibuang ke pinggir.
"Anak keji, pergilah."
Lauw-pangcu berkata dan ia menangkap tengkuk Ouwyang Seng terus dilempar ke depan. Tubuh anak itu melayang dan.... jatuh tepat di atas punggung kudanya. Ouwyang Seng maklum bahwa kakek itu amat lihai, akan tetapi dasar seorang anak yang manja, ia malah memaki,
"Tua bangka gembel busuk. Kalau berani, katakan siapa namamu."
Lauw-pangcu hanya mengira bahwa anak itu adalah seorang anak bangsawan manja saja, maka sambil tersenyum ia berkatap
"Bocah, aku adalah orang she Lauw."
Ouwyang Seng menarik kendali kudanya, menendang perut kuda itu yang segera meloncat maju dan membalap ke depan, meninggalkan debu mengebul tinggi. Han Han bukan tidak mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh kakek itu, dan ia sudah terlalu banyak belajar tentang kebudayaan dan tentang budi, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
"Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan locianpwe."
Lauw-pangcu tersenyum.
"Bangunlah dan mari ikut bersamaku, Han Han."