Pendekar Pemabuk Chapter 44

NIC

“Bok Kwi Sianjin, kau masih saja amat sombong dan tidak memandang kepada golongan lain.”

Berbareng dengan habisnya perkataan ini, orang yang bicara ini muncul dan ternyata bahwa ia tadi bersembunyi di atas pohon yang besar, agak jauh dari situ sehingga Gwat Kong merasa kagum karena orang itu mempunyai pendengaran yang amat tajam serta mempunyai gerakan yang amat cepat. Ia memperhatikan dan orang ini adalah seorang tosu (pendeta penganut agama To) yang bertubuh tinggi kurus bagaikan pohon bambu, keningnya telah penuh keriput dan giginya telah ompong semua.

Akan tetapi anehnya, kedua pipinya kemerah-merahan dan sehat sekali. Sedangkan rambut dan kumis jenggotnya yang panjang semua masih hitam seperti dicat. Di punggungnya tergantung sebuah tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga.

Melihat tosu ini, Bok Kwi Sianjin tertawa terkekeh-kekeh dan bangkit dari duduknya,

“Aha! Sin Seng Cu, tidak saja kau kelihatan makin muda, akan tetapi hatimu bertambah muda saja.”

Kemudian ia berkata kepada Gwat Kong yang juga sudah berdiri. “Muridku, inilah tokoh Hoa-san-pai, orang pertama yang menimbulkan kerusuhan antara Go-bi dan Hoa-san setelah ia mengalahkan Seng Le Hosiang. Agaknya ia masih saja beradat keras. Lihat saja matanya ditujukan kepadaku dengan penuh kehendak menguji kepandaian, ha ha ha!”

Mendengar nama ini, Gwat Kong menjadi terkejut dan memandang dengan penuh perhatian. Kalau tosu itu pernah mengalahkan Seng Le Hosiang, tokoh Go-bi-pai yang pernah dijumpainya itu, dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu kepandaian tosu ini.

Sementara itu, Sin Seng Cu ketika mendengar ucapan Bok Kwi Sianjin tadi, tertawa bergelak lalu berkata, “Bok Kwi Sianjin, agaknya kau masih mengandalkan ilmu tongkatmu Sin-hong-tung-hoat. Mari-mari kita boleh main-main sebentar untuk saling mengukur sampai di mana kemajuan masing-masing.”

Sambil berkata demikian, kedua tangan tosu itu bergerak dan tahu-tahu tongkat kepala naga itu telah berada di tangannya.

Kembali Bok Kwi Sianjin tertawa, “Sin Seng Cu! Sebelum kita tua sama tua bermain gila dengan pedang harap kau suka berlaku murah sedikit kepadaku dan menguji kebodohan pemuda yang menjadi muridku ini. Kalau dia bisa bertahan sampai dua puluh jurus menghadapi Liong-thouw-koai-tung (Tongkat Iblis Kepala Naga) di tanganmu, aku takkan menganggapmu bodoh lagi!” Kemudian kakek itu tanpa menanti jawaban Sin Seng Cu, berkata kepada Gwat Kong.

“Hayo kau cabut pedangmu dan hadapi tosu ini dengan baik sampai dua puluh jurus!”

Diam-diam Sin Seng Cu merasa mendongkol karena hendak diadu dengan murid kakek itu. Akan tetapi iapun merasa heran sekali karena mengapa Bok Kwi Sianjin yang menjadi ahli ilmu silat tongkat, tiba-tiba mempunyai murid yang menggunakan pedang. Maka ia segera menjawab sambil tersenyum,

“Baik, baik! Kau majulah anak muda!”

“Harap totiang suka berlaku murah hati kepada teecu,” kata Gwat Kong dengan hormat karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu silatnya.

Ia diberi waktu untuk melawan sampai dua puluh jurus, maka ia merasa penasaran, karena benarkah ia tidak kuat menghadapi tosu ini dalam dua puluh jurus saja? Dengan pikiran ini, ia lalu maju dan mulai menyerangnya dengan gerak tipu yang lihai dari Sin-eng Kiam-hoat.

Pertama-tama ia menyerang dengan tusukan pedang pada leher tosu itu dalam gerak tipu Sin- eng-chio-cu (Garuda Sakti Rebut Mestika) dan ketika tosu itu mengelak sambil gerakkan tongkatnya yang aneh itu untuk menyabet pedang, ia segera menarik kembali pedangnya dan membuka serangan kedua dengan gerakan Sin-eng-hian-bwe (Garuda Sakti Memperlihatkan Ekor). Gerakan kedua ini dilakukan dengan membalikkan tubuh lalu tiba-tiba pedang diluncurkan dari bawah lengan kiri dengan tidak terduga-duga dan cepat sekali.

“Bagus!” seru Sin Seng Cu memuji karena ia benar-benar tertegun melihat gerakan yang cepat dan aneh ini sehingga ia harus cepat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi dadanya yang hendak disate. Tak pernah ia menyangka bahwa pemuda ini memiliki gerakan pedang yang demikian aneh dan cepat, maka ia segera berseru keras dan sebentar saja tongkat kepala naga di tangannya menyambar-nyambar ke atas dan ke bawah, mengurung Gwat Kong dengan sinarnya. Tongkat itu kini seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan semua mengancam jalan darah dan bagian yang berbahaya dari tubuh Gwat Kong.

Pemuda ini terkejut sekali dan cepat mempergunakan ginkangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan gerakan Sin-eng Kiam-hoat yang paling sukar dan tinggi setelah ia putar-putar pedangnya dengan gerakan Hwee-eng- koan-jit (Garuda Terbang Menutup Matahari), barulah ia dapat pecahkan serangan tosu yang lihai itu.

Sin Seng Cu adalah seorang tosu yang terkenal mempunyai watak keras tidak mau kalah. Ketika tadi menerima permintaan Bok Kwi Sianjin untuk menghadapi pemuda itu, ia memandang rendah dan merasa pasti bahwa ia tentu akan berhasil mengalahkan pemuda itu sebelum dua puluh jurus.

Kini melihat betapa sepuluh jurus telah berlalu tanpa ia dapat merobohkan lawannya, ia menjadi penasaran sekali berbareng kaget. Ilmu pedang pemuda ini benar-benar lihai sekali dan tingkatnya tidak berada di sebelah bawah ilmu tongkatnya. Kalau pemuda ini sudah begini lihai, tentu Bok Kwi Sianjin telah memiliki ilmu silat yang tak dapat diukur tingginya. Ia heran sekali karena ia belum pernah mendengar kakek itu memiliki ilmu pedang dan ketika ia memperhatikan ilmu pedang dari Gwat Kong, ia makin menjadi heran.

Sambil berseru keras karena hatinya mulai menjadi panas, Sin Seng Cu lalu menyerang makin hebat dan kini ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan pemuda itu. Biarpun untuk dapat mencapai maksudnya itu ia harus memukul hancur kepala lawannya yang muda!

Ia maklum bahwa terhadap pemuda ini ia tak bisa main-main dan berlaku murah karena tanpa penyerangan yang sungguh-sungguh dan mati-matian, agaknya tak mungkin ia akan dapat mengalahkan pemuda ini, jangankan hendak merobohkannya dalam dua puluh jurus.

Sebaliknya, sungguhpun Gwat Kong dapat mengimbangi permainan tosu itu, akan tetapi ia merasa betapa beratnya menghadapi lawan ini. Tiap kali tongkat itu menyerempet pedangnya, ia merasa seakan-akan lengannya menjadi kaku. Akan tetapi Gwat Kong memiliki ketabahan luar biasa yang membuat hatinya tenang dan matanya tajam waspada sehingga biarpun ia terdesak hebat.

Akan tetapi ia masih belum berada dalam keadaan berbahaya dan masih sanggup menangkis atau mengelak sambil melakukan serangan balasan yang tak kalah lihainya. Biarpun kedudukannya kalah kuat karena selain kalah tenaga, juga kalah pengalaman dan keuletan, akan tetapi ia dapat membalas tiap serangan sehingga boleh dibilang bahwa pertempuran itu tak terlalu berat sebelah dan cukup ramai.

Dua puluh jurus telah lewat tanpa ada yang terkena senjata. Dua puluh lima jurus, tiga puluh jurus! Tetap saja Gwat Kong dapat mempertahankan diri. Tiba-tiba Sin Seng Cu melompat mundur dan menahan tongkatnya, sedangkan Gwat Kong dengan hati lega juga berdiri dan menjura terhadap tosu itu.

“Bok Kwi Sianjin,” Sin Seng Cu menegur dengan muka merah. “Jangan kau main-main. Siapakah sebetulnya pemuda ini? Bukankah ilmu pedangnya itu Sin-eng Kiam-hoat?”

Bok Kwi Sianjin tertawa puas. “Ha ha ha! Matamu tajam juga, Sin Seng Cu. Memang dia ini ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, dan sekarang dia juga calon ahli waris Sin-hong-tung-hoat.”

“Bok Kwi Sianjin, kau berlaku tolol,” kata Sin Seng Cu mengejek. “Bukan aku merasa takut kepada Sin-eng Kiam-hoat digabung dengan Sin-hong-tung-hoat. Akan tetapi, dengan terpisahnya kedua ilmu itu, kalau yang satu terbawa sesat, yang lain dapat menahannya. Kalau tergabung dalam diri seorang, lalu ia bermata gelap dan menjalani lorong kesesatan, bukankah sama dengan mencari penyakit?”

“Sin Seng Cu, kau berpandangan picik. Aku tidak sembarangan menurunkan ilmu kepada orang yang lemah iman. Tidak seperti kau dan golonganmu yang mengobral kepandaian kepada siapa saja yang mau belajar sehingga banyak anak muridmu yang memancing kekacauan dan permusuhan. Bagiku seorang murid yang baik lebih berharga dari pada seribu orang murid yang tak benar.”

Posting Komentar