Touw Cit menceritakan pengalamannya dan ketika ia menceritakan bahwa Sian-kiam Lihiap adalah seorang anak murid Go-bi-pai pula dan bahkan anak perempuan Liok Ong Gun Kepala daerah Kiang-sui, Lui Siok membuka matanya lebar-lebar dan berseru, “Ah, kalau begitu kita telah menghadapi orang sendiri!”
Touw Cit dan kawan-kawannya heran mendengar ini, akan tetapi Lui Siok tidak mau banyak bicara, hanya berkata, “Kalian lebih baik segera kembali dulu ke Tong-kwan. Biarlah aku sendiri yang membereskan segala urusan di sini. Tidak baik kalau kalian berada terlalu lama di sini.”
Touw Cit, Touw Tek dan dua orang anak buah Hek-i-pang itu tidak berani membantah dan mereka pergi menuju ke Tong-kwan. Adapun Lui Siok lalu pergi mencari Sian-kiam Lihiap Liok Tin Eng.
Siapakah sebenarnya Lui Siok ini dan mengapa ia menganggap Tin Eng sebagai orang sendiri? Si Ular Belang yang lihai ini sebenarnya bukan lain ialah murid kepala dari Bong Bi Sianjin tokoh Kim-san-pai itu! Dengan demikian maka Lui Siok ini masih terhitung kakak seperguruan dari Gan Bu Gi, pemuda yang hendak dijodohkan dengan Tin Eng dan yang sekarang menjadi perwira di gedung ayah Tin Eng itu! Lui Siok telah mendengar tentang keberuntungan Gan Bu Gi yang menjadi perwira itu, karena suhunya telah menceritakannya, maka ia tahu bahwa sutenya itu hendak dipungut menantu oleh Liok-taijin.
Ia telah mengetahui bahwa Liok-taijin adalah seorang anak murid Go-bi-pai yang pandai dan mendengar pula bahwa ilmu silat gadis yang hendak dijodohkan dengan sutenya itu bahkan lebih tinggi lagi. Maka tentu saja ia terkejut sekali mendengar bahwa yang memusuhi Touw Cit dan Touw Tek adalah Liok Tin Eng atau calon isteri dari Gan Bu Gi sutenya. Pada saat itu, Tin Eng sedang berada di kebun belakang yang dikelilingi tembok tinggi dan gadis ini sedang berlatih silat seorang diri untuk menyempurnakan ilmu silat tangan kosong Sin-eng Kun-hoat yang ia pelajari dari Gwat Kong. Berbeda dengan Sin-eng Kiam-hoat yang pernah ia pelajari dari kitab salinan, untuk ilmu silat tangan kosong yang belum pernah ia pelajari sama sekali ini, ia mendapatkan berbagai kesulitan.
Baiknya ia telah ingat di luar kepala tentang teori-teorinya sehingga ia dapat melatih seorang diri dengan giat dan tekunnya. Ia sedang melatih berkali-kali gerakan dari Sin-eng Kai-peng (Garuda Sakti Membuka Sayap). Gerakan ini walaupun dimulai dengan dua lengan terpentang ke kanan kiri, akan tetapi mempunyai pecahan yang banyak macamnya, yang disesuaikan dengan gerakan dan kedudukan lawan.
Ia pernah melihat Gwat Kong mendemonstrasikan gerakan ini. Akan tetapi masih saja ia mendapatkan kesulitan dan belum merasa puas dengan gerakan sendiri yang dianggapnya masih kurang sempurna. Oleh karena itu semenjak tadi ia mengulangi lagi gerakan itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara teguran. “Aneh sekali, mengapa anak murid Go-bi-pai mainkan ilmu silat yang aneh semacam itu?”
Tin Eng cepat menengok dan melihat seorang laki-laki tua berbaju hitam berambut putih berdiri di atas tembok taman itu. Ia kaget sekali karena sama sekali ia tidak mendengar atau melihat gerakan orang ini sehingga ia dapat menduga bahwa kepandaian orang ini tentu tinggi sekali. Ia memandang dan bertanya,
“Kakek yang gagah siapakah kau dan apakah maksudmu melompat ke atas tembok lain orang?”
Kakek ini yang bukan lain adalah Lui Siok si Ular Belang, tertawa bergelak.
“Apakah kau yang disebut Sian-kiam Lihiap dan bernama Liok Tin Eng?” Ia balas bertanya. Tin Eng mendongkol sekali karena sikap kakek ini ternyata memandang rendah, belum menjawab sudah balas bertanya.
“Kalau aku benar Sian-kiam Lihiap Liok Tin Eng, habis kau mau apakah?”
“Benar galak ...!” Lui Siok kembali tertawa. “Akan tetapi cantik manis dan gagah!” Kini ia berjongkok di atas tembok itu dan sambil tersenyum ia berkata kembali,
“Nona, ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan Hoa-coa-ji Lui Siok (Si Ular Belang)!”
Tin Eng tersenyum mengejek. “Semenjak hidupku, aku belum pernah mendengar nama dan julukan itu.”
Lui Siok tidak marah, hanya tertawa lagi. “Tentu saja belum kenal karena kau masih hijau dan kurang pengalaman.”
Tin Eng makin mendongkol lalu berkata ketus, “Orang tua, sebetulnya apakah maksud kedatanganmu? Apakah kau datang hanya hendak memamerkan nama dan julukanmu? Kalau benar demikian, kau salah alamat. Seharusnya kau pergi ke pasar di mana terdapat banyak orang dan kau boleh menjual nama sesuka hatimu. Aku tidak butuh julukan!” “Aduh aduh! Mengapa sute berani menghadapi nona yang begini galak?” kembali Lui Siok berkata. Akan tetapi ia benar-benar cantik jelita dan gagah. Ha ha, nona kecil, jangan kau berlaku galak kepadaku. Ketahuilah bahwa aku sebetulnya masih suhengmu (kakak seperguruan) sendiri!”
Tin Eng terkejut dan heran, akan tetapi ia makin gemas. Terang bahwa orang tua ini hendak mempermainkannya. Dari mana ia mempunyai kakak seperguruan seperti ini? Melihat atau mendengar namanya belum pernah.
“Aku tidak pernah mempunyai seorang suheng yang manapun juga!” katanya mendongkol. “Harap jangan mengobrol di sini dan pergilah!”
“Ha ha ha! Tentu sute belum menceritakan hal suhengnya ini kepadamu. Ah, kalau bertemu dengan Gan-sute, tentu ia akan kutegur! Ketahuilah nona, Gan Bu Gi, calon suamimu itu adalah suteku! Kalau aku menjadi suhengnya, bukankah kau juga harus menyebut suheng kepadaku?”
Kini mengertilah Tin Eng, akan tetapi pengertian ini bahkan menambah kemarahannya. Dengan muka merah ia menuding,
“Jangan kau ngaco belo! Siapa yang menjadi calon isteri orang she Gan itu? Jangan kau berlancang mulut!”
Kini Lui Siok memandang heran dan ia menggeleng-gelengkan kepala lalu berdiri di atas tembok itu.
“Heran, heran! Gan-sute benar-benar gila! Mengapa ia mau mencari jodoh dengan gadis segalak ini? Nona Liok! Ku berlaku kurang ajar terhadap saudara tua, kalau calon suamimu mendengar tentang hal ini, kau tentu akan mendapat teguran keras!”
“Tutup mulutmu yang busuk!”
Marahlah Lui Siok melihat sikap Tin Eng yang dianggapnya terlalu kurang ajar ini. Mana ada calon isteri seorang sute bersikap seperti ini terhadap seorang suheng?
“Hmmm, agaknya kau sombong karena kau telah mendapat julukan Sian-kiam Lihiap! Ketahuilah nona galak, kedatanganku ini sebenarnya untuk mencari dan membunuh Kang-lam Ciu-hiap yang telah mengganggu kawan-kawanku yaitu Touw Cit dan Touw Tek! Tadinya kaupun hendak kuhajar, akan tetapi mendengar bahwa kau adalah calon isteri suteku, tentu saja aku tidak mau turun tangan, hanya mengharapkan sikap manis darimu dan pernyataan maaf. Sekarang sikapmu begini kurang ajar, agaknya kau mau mengandalkan kepandaian Kang-lam Ciu-hiap. Suruh dia keluar agar dapat berkenalan dengan kelihaian Hoa-coa-ji Lui Siok!”
“Kang-lam Ciu-hiap tidak berada di sini!” jawab Tin Eng dengan tabah. “Tak perduli kau menjadi suheng siapapun juga, kalau kau membela Touw Cit, berarti kaupun bukan manusia baik-baik. Bukan hanya Kang-lam Ciu-hiap yang memberi hajaran kepada Touw Cit, akan tetapi akupun mempunyai saham terbesar! Kalau kau memang berani dan berkepandaian turunlah, siapa takuti omonganmu yang besar?” “Bocah kurang ajar!” Lui Siok membentak dan ia segera melompat turun dengan gerakan Chong-eng-kim-touw (Burung Sambar Kelinci), langsung menubruk dari atas dengan kedua tangan diulur dan dibuka bagaikan seekor burung garuda menyambar dan menerkam tubuh Tin Eng. Akan tetapi gadis itu telah siap menanti dan ketika tubuh lawannya telah turun dekat, kaki kanannya menyambar sambil menendang dengan keras untuk memapaki dada musuhnya itu.