Ia tidak berani menyatakan cintanya kepada seorang gadis puteri Kepala daerah, bangsawan tinggi dan keponakan dari seorang yang demikian kaya seperti Lie-wangwe. Ia seorang pemuda yatim piatu yang miskin, maka Gwat Kong merasa lebih baik ia menjauhkan diri dari Tin Eng dan berusaha melupakannya sebelum terlambat, yakni sebelum ikatan hatinya makin erat.
Sementara itu, Tin Eng yang ditinggal pergi oleh Gwat Kong, lalu berlatih diri dengan giatnya. Ia senang tinggal di rumah pamannya yang amat baik terhadap dia dan Lie Kun Cwan juga merasa terhibur dengan adanya gadis itu yang seakan-akan ia anggap sebagai anak sendiri.
Kejenakaan dan kegembiraan watak gadis itu seolah-olah merupakan matahari yang menyinari kesuraman suasana dalam gedungnya yang kosong setelah isterinya yang tercinta meninggal dunia. Lie-wangwe telah mengirim surat kepada Liok-taijin suami isteri menceritakan bahwa Tin Eng berada di rumahnya dan membujuk agar supaya suami isteri itu tidak terlalu memaksa kepada Tin Eng yang disebutnya masih berwatak anak-anak.
Baik Gwat Kong maupun Tin Eng sama sekali tidak tahu bahwa dua orang bersaudara Touw Cit dan Touw Tek adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-i-pang, yakni perkumpulan baju hitam yang berpusat di Tong-kwan, sebelah selatan Hun-lam. Ketika menjalankan pemerasan pada para hartawan di Hun-lam, Touw Cit dan Touw Tek juga dapat perlindungan dari perkumpulan gelap ini dan kedua saudara itu setiap bulan memberi bagian kepada perkumpulan itu.
Yang menjadi Pangcu atau ketua Hek-i-pang adalah seorang tua bernama Song Bu Cu, berusia lima puluh tahun dan terkenal sebagai seorang ahli silat yang memiliki lweekang tinggi. Song Bu Cu ini adalah bekas perampok tunggal yang telah ‘mengundurkan diri’ dan untuk melewati hari tuanya ia membentuk perkumpulan baju hitam itu di mana ia menjadi ketuanya dan hidup dari hasil ‘pensiun’ yang diterimanya dari para anak buahnya.
Perkumpulan ini mempunyai banyak anggauta dan Song Bu Cu yang cerdik itu tidak mau menggunakan tenaga para anak buahnya untuk melakukan kejahatan secara terang-terangan dan kasar seperti merampok, mencuri dan lain-lain. Ia lebih mengutamakan pekerjaan yang aman baginya, yakni pekerjaan pemerasan yang tidak terlalu menyolok mata.
Dengan pengaruhnya yang besar, ia menyebar anak buahnya untuk minta ‘sumbangan’ dari para hartawan dengan cara halus, yakni dengan berkedok menjaga keamanan sebagaimana yang telah dijalankan dengan baiknya oleh Touw Cit dan Touw Tek di kota Hun-lam. Selain ini juga setelah mendapat banyak uang, Song Bu Cu lalu menggunakan uang itu sebagai modal dan membuka rumah-rumah gadai dengan bunga tinggi.
Bahkan di kota Tong-kwan ia memonopoli rumah-rumah makan, sehingga sebagian besar rumah makan yang berada di kota Tong-kwan adalah milik perkumpulan Hek-i-pang, kecuali rumah-rumah makan yang kecil dan bukan merupakan saingan besar. Orang-orang tidak berani membuka rumah makan besar di kota itu karena mereka sungkan dan segan untuk membukanya dan menghadapi perkumpulan gelap itu sebagai musuh.
Semua anggauta Hek-i-pang selalu mengenakan jubah hitam, sungguhpun celana mereka boleh sesukanya. Ada yang putih, hijau dan menurut kesukaan masing-masing, akan tetapi jubahnya selalu hitam. Inilah tanda pengenal anggauta perkumpulan Hek-i-pang. Oleh karena itu pula, maka Touw Cit dan Touw Tek selalu memakai jubah hitam.
Ketika Song Bu Cu mendengar tentang para anak buahnya yang diobrak-abrik oleh Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap di Hun-lam, ia menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan semua pembantunya untuk merundingkan hal ini. Kemudian memutuskan untuk mendatangi tihu dari Hun-lam dan minta agar supaya para penjahat yang ditangkap itu dibebaskan kembali.
Song Bu Cu sendiri hendak turun tangan dan membalas dendam kepada Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap. Akan tetapi seorang pembantunya yang cukup pandai dan lihai, yakni seorang yang bernama Lui Siok berjuluk si Ular Belang, segera berkata,
“Untuk apa pangcu harus maju sendiri? Menangkap dan memukul anjing-anjing kecil seperti dua anak-anak muda itu tak perlu mempergunakan pentungan besar. Biarlah aku saja ke Hun- lam untuk membereskan urusan ini!”
Semua orang merasa girang mendengar ini karena mereka telah maklum akan kelihaian Lui Siok ini yang juga menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang. Kepandaian Lui Siok hampir seimbang dengan kepandaian Song Bu Cu, bahkan si Ular Belang ini terkenal sekali dengan kepandaiannya Siauw-kin-na Chiu-hwat, yakni ilmu silat yang berdasarkan tangkapan dan cengkeraman tangan seperti ilmu Jujitsu dari Jepang.
Oleh karena memiliki kepandaian ini, maka Lui Siok jarang sekali mempergunakan senjata di waktu menghadapi lawan. Sekali saja lawannya terkena pegang oleh tangannya maka lawan itu takkan mudah dapat melepaskan diri tanpa mendapat luka patah tulang atau urat keseleo. “Kalau Lui-te (adik Lui) mau mewakili aku pergi, itu adalah yang baik sekali. Aku percaya penuh bahwa kalau Lui-te yang pergi turun tangan, hal ini akan beres dan sakit hati kiranya akan terbalas!” kata Song Bu Cu dengan girang. Dibandingkan dengan Song Bu Cu, Lui Siok ini lebih muda dua tahun karena usianya baru empat puluh delapan. Akan tetapi melihat rambut di kepalanya, ia nampak lebih tua karena rambutnya telah putih semua.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, Lui Siok dengan diantar oleh dua orang kawannya datang ke kota Hun-lam. Ia langsung menuju ke rumah tihu dan berkata kepada penjaga bahwa ia datang dari Tong-kwan hendak bertemu dengan tihu karena urusan yang amat penting. Penjaga lalu melaporkan dan tihu kota Hun-lam segera keluar dan menanti di ruang tamu. Ketika tiga orang tamunya itu memasuki ruang tamu, ia melihat bahwa mereka adalah orang-orang tak dikenal, akan tetapi baju mereka yang hitam itu menimbulkan perasaan kurang enak di dalam hatinya mengingatkan tihu itu kepada Touw Cit dan Touw Tek yang juga selalu berpakaian hitam.
“Taijin, kami datang dari Tong-kwan untuk menyampaikan surat ini dari perkumpulan kami!” kata Lui Siok setelah dipersilahkan duduk.
Dengan heran dan tanpa banyak curiga tihu menerima surat itu dan membukanya. Akan tetapi, setelah ia membaca surat itu wajahnya menjadi pucat dan ia mengerling ke arah Lui Siok. Makin pucatlah dia ketika melihat betapa Lui Siok tersenyum-senyum penuh arti. Akan tetapi ketika tihu melihat ke arah kedua tangan Lui Siok yang memegang pinggir meja, ternyata meja itu telah remuk pinggirnya karena dicengkeram oleh sepuluh jari tangan tamunya yang aneh itu. Seakan-akan orang mencengkeram keripik saja. Kedua tangan pembesar itu mulai menggigil dan ia membaca sekali lagi surat yang dipegangnya:
Thio-tihu dari Hun-lam,
Kami mengutus seorang wakil perkumpulan kami bersama dua orang anak buah kami, untuk menyampaikan hormat kami kepada taijin. Tentu taijin telah mendengar tentang nama perkumpulan kami yang merupakan jaminan bagi keamanan daerah Tong-kwan, termasuk Hun-lam.
Oleh karena mengingat akan perhubungan ini, kami minta dengan sangat kepada taijin agar supaya berlaku bijaksana dan suka membebaskan kedua anggauta perkumpulan kami Touw Cit dan Touw Tek yang telah ditahan oleh Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Li-hiap! Juga kawan-kawan mereka harap diberi kelonggaran.
Terima kasih atas kebijaksanaan taijin. Hormat kami,
Ketua dari Hek-i-pang Di Tong-kwan.
Thio-tihu memang pernah mendengar tentang perkumpulan ini, akan tetapi ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa Touw Cit dan Touw Tek adalah anggauta perkumpulan yang berpengaruh itu. Baru satu kali saja ia berurusan dengan perkumpulan itu, yakni pada tahun yang lalu ketika hari tahun baru, di Hun-lam kedatangan serombongan pemain Barongsai yang minta derma tanpa memberitahukan kepada rombongan Barongsai pribumi, yakni rombongan dari Hun-lam sendiri. Maka terjadilah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian.
Akan tetapi ternyata bahwa rombongan Barongsai Baju Hitam ini lihai sekali sehingga rombongan dari Hun-lam banyak yang menderita luka-luka. Para penjaga tak berdaya terhadap mereka, sedangkan Touw Cit dan Touw Tek yang diminta bantuannya, hanya menyatakan bahwa lebih baik rombongan dari Tong-kwan itu jangan diganggu. Maka rombongan itu melanjutkan permainannya di depan tiap rumah dan pada para hartawan di Hun-lam mereka minta jumlah sumbangan yang telah ditetapkan.
Kini setelah menerima surat ini dan melihat demonstrasi kelihaian yang diperlihatkan oleh Lui Siok dengan mencengkeram hancur ujung mejanya yang tebal dan keras itu, tentu saja Thio-tihu menjadi terkejut, gelisah dan ketakutan. Dengan lemas ia duduk kembali di kursinya dan berkata dengan suara gemetar,
“Harap saja Samwi-enghiong (bertiga orang gagah) jangan marah karena sesungguhnya urusan ini tak dapat dilakukan dengan mudah begitu saja. Bagaimana aku bisa membebaskan orang-orang yang telah menjadi tahanan karena dianggap penjahat-penjahat?”
“Taijin,” berkata Lui Siok yang masih tersenyum ramah, akan tetapi matanya bersinar tajam mengerikan. “Kami orang-orang dari Hek-i-pang selalu berlaku sabar, mengalah dan memandang persahabatan. Kalau kami mau, apakah sukarnya mendatangi tempat tahanan itu dan mengeluarkan kawan-kawan kami? Akan tetapi kami tidak mau melakukan kekerasan itu dan sengaja minta kebijaksanaan taijin karena bukankah taijin yang berkuasa dan berhak membebaskan mereka? Lebih baik taijin segera menulis sepucuk surat pembebasan agar dapat kami bawa ke tempat tahanan untuk membebaskan kawan-kawan kami itu!”
Thio-tihu menjadi bingung. Menolak ia tidak berani karena maklum bahwa ketiga orang ini bukanlah orang baik-baik dan tentu akan mencelakakannya apabila ia menolak, akan tetapi untuk mentaati permintaan itu, juga sukar baginya.
“SAM-wi, memang benar aku yang berkuasa, akan tetapi harus kalian ketahui bahwa yang menangkap mereka bukanlah aku! Semenjak dahulu hubunganku dengan saudara Touw baik sekali, sampai datang Kang-lam Ciu-hiap dan memaksaku memberi hukuman kepada mereka. Kalau sekarang aku melepaskan mereka, bukankah aku melakukan kesalahan besar terhadap kedua pendekar muda itu? Harus diketahui bahwa mereka itu lihai sekali dan apa dayaku terhadap mereka?”
Tiba-tiba Lui Siok si Ular Belang tertawa terbahak-bahak. “Anjing-anjing kecil itu untuk apakah ditakuti sekali? Mereka hanya pandai menyalak dan tak mampu menggigit! Tentang mereka, serahkanlah kepadaku, taijin. Setelah membebaskan Touw Cit dan Touw Tek, aku akan langsung mencari mereka di gedung Lie-wangwe.”
Lega juga Thio-tihu mendengar ini, karena memang maksudnya hendak mengadu orang- orang ini dengan kedua pendekar muda ini yang tentu takkan tinggal diam. Hanya sayangnya ia telah mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap meninggalkan Hun-lam kemarin sehingga kini hanya tinggal Sian-kiam Lihiap seorang. Terpaksa ia membuat sepucuk surat pembebasan bagi Touw Cit dan Touw Tek dan menyerahkan kepada Lui Siok. Si Ular Belang tertawa bergelak dan sekali lagi tangan kanannya digerakkan menghantam meja di depannya yang segera menjadi pecah bagaikan kena hantaman kampak.
“Taijin, kalau lain kali terjadi penangkapan atas diri anggauta-anggauta perkumpulan kami, bukan meja ini yang kupecahkan, akan tetapi kepala orang-orang yang bertanggung jawab dalam urusan penangkapan itu!”
Setelah berkata demikian, dengan senyum dimulut, Lui Siok mengajak kedua anak buahnya pergi meninggalkan Thio-tihu yang masih berdiri menggigil sambil memandang kepada meja yang telah rusak terpukul itu.
Dengan surat perintah dari Thio-tihu, maka mudah saja Lui Siok dan dua orang anak buahnya membebaskan Touw Cit dan Touw Tek. Kedua saudara ini segera memberi hormat dan menghaturkan terima kasih banyak kepada Lui Siok yang menjawab sambil tertawa,
“Sudahlah, pengalaman ini kalian jadikan contoh agar lain kali tidak bertindak semberono dan lebih dulu memberitahukan kepada kami apabila menghadapi urusan besar! Sekarang ceritakanlah bagaimana kalian sampai kalah terhadap Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap.”