Gwat Kong tersenyum. “Namaku adalah Bun Gwat Kong dan tentang suhuku, terus terang saja aku tidak mempunyai guru, kecuali diriku sendiri!”
Touw Cit nampak tak puas, akan tetapi ia tetap tersenyum lalu berkata, “Tidak apalah kalau Kang-lam Ciu-hiap menganggap diri terlalu tinggi untuk
memperkenalkan diri kepada kami orang-orang bodoh. Ha, Touw Tek, kau lekas kumpulkan uang pemberian para dermawan tadi dan mengembalikannya sekarang juga.” Touw Tek segera masuk ke dalam rumah. “Masa bodoh, kalau ada kerusuan, siauwte serahkan saja kepada Kang-lam Ciu-hiap dan kawannya!” kata pula Touw Cit kepada Gwat Kong yang segera menyanggupinya. Dan kemudian setelah mengucapkan terima kasih, ia mengajak Tin Eng pergi dari situ kembali ke rumah Lie-wangwe.
Ternyata ketika mereka tiba di situ, rumah Lie-wangwe telah penuh tamu, yakni orang-orang yang tadinya dikenakan sumbangan oleh kedua saudara Touw itu. Bahkan tihu kota itu juga memerlukan datang. Mereka ini merasa gelisah sekali, takut kalau-kalau ada penyerbuan para orang jahat sebagai akibat ditolaknya uang sumbangan itu. Terpaksa Gwat Kong menghibur mereka dengan kata-kata gagah,
“Cu-wi sekalian! Terus terang saja, sesungguhnya bagi siauwte, tidak ada hubungannya dan tidak ada ruginya meskipun cu-wi harus mengeluarkan banyak uang sumbangan. Oleh karena orang-orang kaya seperti cu-wi ini tentu saja tidak berat untuk mengeluarkan uang barang puluan atau ratusan tail perak tiap bulannya. Akan tetapi sebagai seorang perantauan yang memperhatikan segala peristiwa yang diterbitkan oleh orang-orang jahat yang suka mengganggu, tentu saja siauwte tidak suka melihat adanya orang-orang jahat yang mengganggu di kota ini dan siauwte akan berdaya sekuat tenaga untuk membasmi mereka.
Kalau mereka datang, siauwte akan menghadapi mereka!”
“Kau hanya seorang diri atau berdua dengan nona ini, bagaimanakah kalau kalian berdua kalah? Apakah itu bukan berarti keadaan kami makin celaka?” berkata seorang hartawan yang selalu mengingat kepentingan dan keselamatan diri sendiri belaka, sehingga dalam pertanyaan inipun sama sekali tidak perduli akan keadaan dua orang muda itu kalau kalah, akan tetapi yang terutama mengingat keadaan sendiri dulu.”
Gwat Kong tersenyum menyindir. Sebenarnya ia tidak senang harus menjadi pelindung sekian banyak orang-orang hartawan ini. Akan tetapi ia mengingat bahwa di antara mereka ada paman Tin Eng yang baik hati dan dermawan dan ia harus melindungi. Maka ia lalu menenggak secawan arak, lalu disemburkannyalah arak itu dari mulutnya ke arah tiang yang besar di tengah ruangan itu.
Tiang itu terbuat dari kayu yang keras sekali dan jaraknya dari Gwat Kong ada dua tombak. Akan tetapi ketika semburan arak itu mengenai kayu yang keras itu, tampak tiang itu menjadi bolong-bolong, seakan-akan tiap tetes arak berubah menjadi pelor besi.
“Apakah kepala para penjahat itu lebih keras dari pada tiang ini?” Gwat Kong bertanya. Semua mata memandang ke arah tiang itu dengan terbelalak lebar dan untuk sejenak tak seorangpun terdengar mengeluarkan suara. Kemudian bagaikan mendapat komando, mereka berseru memuji tiada habisnya dan kemudian mereka pulang ke rumahnya masing-masing dengan hati besar.
“Maaf, Lie-lopeh,” kata Gwat Kong kepada Lie-wangwe setelah semua tamu itu pergi. “Bukan maksudku untuk menyombongkan kepandaian, hanya untuk melenyapkan kegelisahan mereka.”
Lie Kun Cwan tahu akan hal ini. Kemudian Gwat Kong berunding dengan Tin Eng untuk mempersiapkan diri menanti datangnya serbuan orang-orang jahat. “Tin Eng, malam ini kita berdua harus berjaga dengan amat hati-hati. Sudah pasti orang-orang jahat itu akan datang. Entah benar-benar orang dari luar, ataupun anak buah kedua saudara Touw itu sendiri. Kita belum tahu dari mana mereka akan datang. Oleh karena itu lebih baik kita berjaga dengan berpencar. Kau berkeliling dari selatan memutar ke timur dan aku dari selatan memutar ke barat sehingga kita bertemu di ujung utara kota. Dengan cara meronda seperti ini, kalau mereka berani datang pasti akan bertemu dengan kau atau aku!”
“Baik, Gwat Kong!” jawab Tin Eng dengan gagah dan sedikitpun gadis ini tidak nampak jerih.
“Akan tetapi, apakah tidak perlu kalian minta bantuan pasukan penjaga dari tihu? Bagaimana kalau jumlah mereka banyak dan kalian di keroyok? Apakah itu tidak berbahaya?”
“Memang baik kalau mereka itu mau membantu,” jawab Gwat Kong. “Dan siauwte menghaturkan terima kasih atas perhatian Lie-lopeh. Akan tetapi, harap lopeh beritahu kepada tihu agar para penjaga itu disuruh bersembunyi, menjaga-jaga kalau-kalau ada penjahat diam- diam memasuki kota. Mereka tak perlu turun tangan, kecuali kalau perampokan pada rumah yang jauh letaknya dari tempat kami sehingga kami tak dapat menolongnya. Mereka itu boleh menyediakan banyak belenggu untuk merantai para penjahat!”
Lie-wangwe menyatakan setuju dan ia segera pergi sendiri menemui tihu untuk mengatur penjagaan pasukan bersembunyi itu. Seluruh kota Hun-lam terasa tegang menanti datangnya malam hari. Semenjak masih sore, rumah-rumah telah menutup pintunya dan para penghuninya tak dapat tidur, berkumpul di dalam dengan hati kebat-kebit. Setiap bunyi gaduh yang terdengar oleh mereka, baik bunyi tikus ataupun kucing, membuat mereka pucat dan menjumbul karena kaget setengah mati.
Gwat Kong dengan tenang lalu mengajak Tin Eng keluar dari rumah dan mereka lalu melompat di atas genteng dan menuju ke pinggir kota sebelah selatan. Setelah tiba di situ, mulailah mereka berpisah untuk melakukan perondaan, menjaga datangnya para penjahat yang hendak mengganggu kota.
****
Malam itu tidak terlalu gelap. Lebih dari tiga perempat bagian bulan nampak di angkasa tersenyum-senyum manis dan bermain-main dengan mega-mega putih. Bayangan tubuh Gwat Kong dan Tin Eng yang melakukan penjagaan masing-masing, nampak berkelebat bagaikan bayangan setan malam.
Akan tetapi, sudah dua kali putaran mereka meronda sehingga mereka bertemu di bagian utara kota, akan tetapi sama sekali tidak terlihat penjahat yang menyerbu kota.
“Benar aneh!” kata Gwat Kong kepada Tin Eng ketika mereka bertemu untuk ketiga kalinya di atas wuwungan rumah, sebelah utara. Mereka berdua duduk mengaso di atas wuwungan rumah yang tinggi itu.
“Mungkin mereka tidak berani muncul karena tahu bahwa kita mengadakan penjagaan,’ kata Tin Eng sambil membereskan segumpal rambut yang terlepas karena tiupan angin malam dan berjuntai di atas keningnya. “Atau memang barangkali sama sekali tidak ada penjahat dari luar kota,” kata Gwat Kong sambil memutar otaknya. “Jangan-jangan penjahat-penjahat sudah bersembunyi di dalam kota dan tinggal bereaksi saja.”
Tiba-tiba Tin Eng berdiri dengan kaget. “Ah, mengapa kita begini bodoh! Kita sudah mencurigai dua saudara Touw, mengapa tidak menyelidik mereka? Kalau mereka pemimpinnya, tentu penjahat-penjahat itu sudah bersembunyi di dalam gedung mereka!”
“Mungkin kau benar Tin Eng!” kata Gwat Kong kaget. “Mari kita menyelidiki tempat mereka!”
Mereka lalu berlari-lari di atas genteng. Pada waktu itu, tengah malam telah lewat lama bahkan telah mendekati fajar dan ketika mereka tiba di tengah kota kembali, tiba-tiba mereka mendengar suara teriakan-teriakan para penjaga. Mereka segera lari ke arah suara teriakan itu, dan tiba-tiba dari lain jurusan terdengar teriakan-teriakan penjaga lain.
“Benar saja mereka itu beraksi selagi kita melakukan penjagaan di pinggir kota. Tin Eng kita berpencar! Kau jagalah rumah pamanmu!”
Tin Eng terkejut ketika teringat kepada pamannya, maka cepat tubuhnya melesat menuju ke rumah pamannya. Sementara itu, Gwat Kong segera menyambar turun, dan melihat betapa empat orang penjaga sedang mengeroyok dua orang penjahat berkedok yang ilmu silatnya cukup tinggi sehingga penjaga-penjaga itu terdesak hebat. Dua orang penjahat itu bersenjata golok besar dan ketika Gwat Kong tiba di situ, seorang penjaga telah rebah mandi darah dan yang empat inipun telah kacau permainan silatnya.
Gwat Kong menyambar dengan pedang ditangan dan sekali dia gerakan pedangnya, “Trangg. !!” Dua golok di tangan penjahat itu terlempar jauh dan dua kaki dan tangan
kirinya bergerak, penjahat itu telah roboh dan tak berdaya. Para penjaga dengan girang lalu menubruknya dan mengikat kaki tangan mereka.
Gwat Kong berlari ke arah lain di mana juga terdapat dua orang penjahat yang dikeroyok oleh para penjaga. Dua orang penjahat ini lebih lihai lagi sehingga di tempat ini sudah ada empat orang penjaga yang terluka, sedangkan lima orang lagi yang mengeroyok berada dalam keadaan terdesak sekali.
“Serahkan mereka kepadaku!” teriak Gwat Kong dan para penjaga yang melihat datangnya Kang-lam Ciu-hiap segera melompat mundur. Dua orang penjahat inipun berkedok dan begitu melihat Gwat Kong, mereka lalu maju mengeroyok dengan pedang mereka. Gwat Kong menangkis dengan pedangnya dan ternyata bahwa dua orang penjahat ini cukup gesit sehingga dapat melayani untuk beberapa jurus.
Akan tetapi Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu untuk melayani mereka. Terpaksa ia mainkan pedangnya dengan cepat dan dua gebrakan kemudian menjeritlah dua orang penjahat itu dan pedang mereka terlepas dari tangannya karena lengan mereka terluka oleh pedang Gwat Kong. Para penjaga menubruk dan mengikat mereka erat-erat.
Gwat Kong lalu melakukan penyelidikan dan ternyata bahwa di atap rumah seorang hartawan yang biasanya memberi sumbangan didatangi dua orang atau tiga orang penjahat. Benar-benar para penjahat itu berani dan cerdik sehingga mereka bergerak dengan berbareng pada waktu yang sama sehingga bagi Gwat Kong sukar sekali untuk membagi-bagi tangannya. Terpaksa ia bekerja cepat dan berlari ke sana ke mari untuk membantu para penjaga yang terdesak oleh para penjahat itu.
Para penjahat mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap mengamuk dan menangkap banyak kawan mereka, maka mereka lalu bersatu dan ketika Gwat Kong sedang dikeroyok oleh tiga orang penjahat di rumah tihu yang juga diganggu, datanglah enam orang penjahat lain dan sebentar saja Gwat Kong dikepung oleh sembilan orang penjahat yang bersenjata pedang dan golok.
GWAT Kong tidak menjadi jerih, bahkan dengan tertawa bergelak ia lalu keluarkan seguci arak dari jubahnya. Dengan tangan kiri ia menenggak araknya yang dibawanya dari rumah Lie-wangwe, sedangkan tangan kanannya yang memegang pedang diputar sedemikian rupa sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menembus sinar pedangnya itu. Kemudian, ia menyimpan kembali guci araknya di dalam saku jubahnya dan para penjaga yang melihat ini diam-diam merasa heran sekali. Mengapa pemuda itu demikian doyan arak sehingga dalam keadaan pertempuran hebat dan dikeroyok sembilan orang ia ada kesempatan untuk minum arak?
“Benar-benar setan arak!” kata seorang penjaga.