Tak disangkanya, ketika tangannya bergerak hendak menangkap pergelangan tangan Tin Eng, gadis itu menarik kembali pukulan tangan kanannya dan tangan kirinya bergerak cepat ke arah kepala Touw Tek dan tahu-tahu ikat kepala si tinggi besar itu telah berada di tangan Tin Eng.
Touw Tek menjadi marah sekali, dan dengan rambut awut-awutan ia segera menyerang dengan goloknya, membabat pinggang Tin Eng. Gadis itu tertawa mengejek dan melompat mundur untuk menghindarkan diri dari pada babatan golok. Kemudian tubuhnya menyambar dan membalas dengan serangan-serangan kilat. Ia menggunakan ikat kepala yang dirampasnya tadi untuk menyerang dan “Plak!” muka Touw Tek telah kena ditampar dengan keras oleh ikat kepalanya sendiri. Tamparan menggunakan ujung ikat kepala ini rasanya lebih pedas dari pada tamparan Gwat Kong tadi sehingga Touw Tek merasa betapa matanya berkunang.
Sebelum ia dapat membalas, ia mendengar suara ketawa dan tahu-tahu kaki gadis itu melayang dan menendang pergelangan tangan kanannya yang memegang golok. Terdengar bunyi “keekk!!” dan Touw Tek menjerit kesakitan, goloknya terlepas dari pegangan.
“Bangsat sombong, kau pergilah!” seru Tin Eng. “Dan lain kali jangan kau berani menginjak lantai rumah pamanku!”
Dengan muka merah dan mulut meringis-ringis kesakitan. Touw Tek lalu menjumput goloknya dan pergi dari situ setelah melayangkan pandang mata sekali lagi ke arah Gwat Kong dan Tin Eng. Lie-wangwe merasa terheran-heran sehingga ia berdiri bengong tak dapat mengeluarkan kata- kata melihat kelihaian keponakannya. Setelah penjahat itu pergi, barulah ia dapat menarik napas panjang, sedangkan banyak pelayan yang tadi menonton pertempuran itu kini berdiri dekat pintu, memandang dengan penuh kekaguman. Lie-wangwe memberi isyarat dengan tangan sehingga semua pelayannya mengundurkan diri.
“Tin Eng, tak kusangka bahwa kaupun selihai itu! Ciu-hiap ini dan kau telah dapat mempermainkan ji-kauwsu dengan tangan kosong. Sungguh takkan dapat kupercaya kalau aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Seharusnya aku berterima kasih dan merasa girang sekali karena kalian telah memberi hajaran kepada bangsat itu dan memang aku merasa girang Akan tetapi, disamping kegirangan ini, akupun merasa amat khawatir, Tin
Eng.”
“Jangan khawatir, pek-hu! Bangsat-bangsat kecil macam dia itu kalau berani datang lagi, akan aku putar batang lehernya seorang demi seorang!” kata Tin Eng dengan gagahnya.
“Memang mudah bagimu, karena kau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi bagaimana kalau kau sudah tidak berada di sini lagi? Bagaimana aku harus membela diri kalau kalian tidak ada dan bangsat-bangsat itu datang mengganggu? Ahh, kalian tidak tahu siapa ji-kauwsu dan terutama kakaknya toa-kauwsu itu ”
“Sebetulnya mereka itu siapakah dan apa artinya uang sumbangan itu, Lie-lopeh?” tanya Gwat Kong.
Juga Tin Eng ingin sekali mengetahui hal itu dan gadis ini lalu duduk di dekat mereka. Setelah menuangkan arak dan minum secawan, Lie Kun Cwan lalu menceritakan keadaan di kota Hun-lam dan tentang pemerasan yang dilakukan oleh bangsat-bangsat itu.
Ternyata bahwa pada beberapa bulan yang lalu, di kota Hun-lam itu tiba-tiba timbul gangguan orang-orang jahat yang melakukan penggedoran, pencurian, dan perampokan di dalam dan di sekitar kota Hun-lam. Pembesar yang berkuasa di Hun-lam, tak berdaya oleh karena biarpun ia telah mengerahkan pasukan untuk menindas gangguan ini namun para penjahat itu ternyata memiliki ilmu silat tinggi dan tidak mudah dikalahkan atau ditangkap.
Selagi orang-orang penduduk Hun-lam merasa gelisah dan ketakutan, tiba-tiba muncul dua saudara Touw itu, yakni Touw Cit dan Touw Tek yang segera membuka perguruan silat di kota itu dan kedua saudara ini datang menghadap kepada pembesar untuk menawarkan bantuannya. Akan tetapi bantuan yang ditawarkan oleh mereka itu istimewa sifatnya, yakni bukan bantuan tenaga dan kepandaian untuk mengusir para penjahat yang mengganggu, akan tetapi untuk memberi ‘suapan’ kepada mereka.
Touw Cit dan Touw Tek mengusulkan agar supaya para hartawan dan orang berpangkat di kota Hun-lam mengumpulkan sumbangan uang yang diberikan kepada ‘kepala penjahat’ dengan perantaraan mereka berdua. Dan ternyata hal ini mendapat persetujuan semua hartawan, karena dari pada didatangi orang-orang jahat itu, tentu saja lebih baik mengeluarkan uang puluhan atau bahkan ratusan tail sekali gus dan aman.
Usaha dua orang saudara Touw ini rupanya berhasil baik. Oleh karena setelah uang dikumpulkan, benar saja penjahat itu tidak muncul lagi. Dengan amat cerdiknya kedua orang saudara Touw ini mengadakan hubungan dengan para penjahat dan berkompromi, mengadakan ‘kerjasama’ yang amat baik. Tentu saja semua orang tidak tahu bahwa sebenarnya kedua saudara Touw ini bukan lain adalah dua orang di antara para pemimpin penjahat-penjahat itu sendiri.
Mereka menggunakan tipu daya yang amat cerdik dan kini mereka setiap bulan mengumpulkan uang sumbangan yang besar jumlahnya. Seorang hartawan sedikitnya harus menderma dua puluh lima tail perak tiap-tiap bulannya sehingga setiap bulan kedua orang ini dapat mengumpulkan uang ratusan tail perak.
Memang enak sekali pekerjaan ini, tidak berbahaya seperti kalau menjadi penjahat yang banyak resikonya. Kini mereka boleh ‘pensiun’, hanya bekerja sekali setiap bulan, yakni mengumpulkan uang sumbangan itu. Biarpun penjahat-penjahat sudah tak nampak mata hidungnya lagi, akan tetapi uang sumbangan setiap bulan tetap saja ditariknya.
Setelah berjalan beberapa bulan memang para penyumbang merasa ragu-ragu dan bercuriga, dan menganggap bahwa setelah para penjahat kini pergi dan tidak mengganggu lagi, apa perlunya diadakan uang-uang sumbangan? Akan tetapi, baru saja siang hari itu seorang hartawan menolaknya, pada malam harinya gedungnya didatangi lima orang penjahat yang selain menggondol pergi barang-barang berharga yang banyak jumlahnya, juga melukai hartawan yang menolak memberi uang sumbangan itu.
Peristiwa itu tentu saja membuat lain-lain hartawan menjadi takut untuk menolak lagi dan kini setiap bulan mereka dengan ‘setia’ memberi uang sumbangan. Sungguhpun hati mereka tidak rela karena mereka tetap saja merasa curiga dan sangsi dan timbul dugaan-dugaan mereka bahwa kedua guru silat itu main gila.
Hal ini terjadi berbulan-bulan dan kedua orang guru silat she Touw ini menjadi ‘hartawan- hartawan’ mendadak. Mereka membuat gedung besar dan hidup dengan mewah sekali. Tak seorangpun berani menganggu mereka. Akan tetapi, nasib orang memang tidak selamanya mujur dan betapapun seorang dilindungi oleh payung kemujuran pasti akan tiba masanya payung itu akan bocor, membuat ia tertimpa hujan kemalangan.
Demikian yang terjadi dengan kedua saudara she Touw itu, yakni ketika Touw Tek bertemu dengan Kang-lam Ciu-hiap dan Tin Eng di dalam gedung Lie Kun Cwan. Touw Tek benar- benar bertemu dengan ‘batu’ yang bertumbuk dengan batu karang yang membuatnya ‘babak bundas’.
Semua ini diceritakan oleh Lie Kun Cwan kepada Gwat Kong dan Tin Eng dan sungguhpun hartawan ini tidak ragu akan tipu muslihat Touw Cit dan Touw Tek, akan tetapi ia mengutarakan kecurigaannya dan berkata,
“Aku dan juga pembesar dan lain-lain hartawan yang menolak itu didatangi penjahat yang lima orang itu. Semuanya memakai kedok. Mungkin sekali mereka adalah dua orang she Touw itu dan kaki tangannya, siapa tahu? Akan tetapi kami tidak berdaya, karena mereka itu lihai!”
“Hmm, kalau begitu Lie-lopeh segera memberi tahu kepada semua penyumbang agar supaya menghentikan sumbangan mereka sekarang juga. Bahkan uang-uang sumbangan yang sudah diberikan, akan kuminta kembali dari kedua orang bangsat itu.” Lie-wangwe percaya penuh kepada kedua orang muda yang sudah disaksikan kelihaiannya ini, maka ia segera menulis surat pemberitahuan dan mengutus orang-orangnya untuk menyebarkan surat pemberitahuan itu.
Sementara itu, Gwat Kong dan Tin Eng lalu pergi mengunjungi gedung baru tempat tinggal Touw Cit dan Touw Tek. Mereka berdua telah bersiap sedia untuk menghadapi pertempuran. Akan tetapi alangkah heran mereka ketika mereka mendapat sambutan yang manis dari Touw Tek dan Touw Cit. Seperti juga Touw Tek, Twa-kauwsu Touw Cit bertubuh tinggi besar dan berbaju hitam bercelana putih. Akan tetapi keningnya tinggi membuat kepalanya nampak seperti botak dan ia tidak bertopi atau berikat kepala.
Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah besar itu, Touw Cit dan Touw Tek sendiri lalu menyambut dan Touw Cit segera menjura dengan sikap yang menghormati sekali.
“Ji-wi yang gagah!” katanya dengan suara yang besar. “Aku telah mendengar dari adikku Touw Tek tentang kegagahan ji-wi yang muda. Sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Harap saja ji-wi sudi memaafkan kekasaran adikku tadi.”
Gwat Kong benar-benar tertegun karena tak pernah menyangka akan mendapat sambutan seperti ini. Ia membalas penghormatan tuan rumah dan berkata,
“Saudara tentulah yang bernama Hun-lam Twa-kauwsu Touw Cit. Kami berdua juga mohon maaf apabila kami telah mengganggu adikmu di rumah Lie-wangwe tadi. Kedatangan kami ini tak lain hendak membantu usaha ji-wi dalam menghadapi para penjahat yang suka mengganggu kota ini. Akan tetapi kami berdua tidak hendak mempergunakan cara yang telah dipergunakan oleh ji-wi (tuan berdua). Akan tetapi kami hendak menghadapi para penjahat itu dengan pedang kami. Oleh karena itu, para penyumbang yang telah menyetor uang kepada ji- wi harap saja ji-wi suka mengembalikan uang sumbangan itu kepada mereka.” Touw Cit mengerutkan keningnya, sungguhpun mulutnya tetap tersenyum.
“Akan tetapi bagaimana kalau mereka nanti marah dan menyerbu ke sini?”
Gwat Kong tersenyum. “Biarlah, kalau mereka benar-benar datang menyerbu, siauwte dan kawanku ini yang bertangguing jawab menghadapi mereka!”
Touw Cit tersenyum, “Ah, taihiap benar-benar gagah, akan tetapi agaknya kau belum tahu siapakah mereka yang kau hendak hadapi ini. Tidak tahu siapakah nama taihiap yang semuda ini telah mempunyai keberanian hebat dan kegagahan yang mengagumkan? Kalau tidak salah, julukan taihiap adalah Kang-lam Ciu-hiap seperti tadi yang didengar oleh adikku. Akan tetapi siapakah taihiap dan siapa pula guru taihiap?”