Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 49

NIC

Tiong San menahan langkah kakinya dan menurunkan Siang Cu dari pondongannya. “Kau berani berdiri di sini?” ujar Tiong San.

Siang Cu melihat ke bawah. Wuwungan itu tinggi sekali, akan tetapi ia merasa malu untuk menyatakan kengerian hatinya, maka ia menjawab, “Tentu saja berani!”

Tiong San tersenyum, lalu berdiri menanti datangnya dua bayangan orang yang mengejarnya.

“Shan-tung Koai-hiap, kau berani menculik pelayan kaisar?” teriak Bu Kam yang maju dengan sepasang kipasnya.

“Perwira gadungan! Jangan bertopeng nama kaisar, kalau kau memang gagah, majulah!” Tiong San membentak dan telah siap dengan sepasang senjatanya. Kini ia maklum akan menghadapi lawan tangguh, maka dipegangnya pedang pemberian Si Cui Sian di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.

Im-yang Po-san Bu Kam membentak marah dan menyerang dengan sepasang kipasnya yang berbahaya itu, tetapi Tiong San dengan tenang menyambut serangan itu dengan pedang dan cambuknya. Ilmu kipas Im-yang dari Bu Kam sebenarnya telah mencapai tingkat tinggi sehingga ia telah menduduki tempat kelas satu dan menjadi seorang di antara perwira-perwira yang paling pandai.

Kalau Tiong San hanya memegang cambuknya saja, belum tentu pemuda ini akan dapat menang, karena biarpun ilmu cambuk Tiong San amat lihai dan mengatasi ilmu silat lawannya, tetapi dalam hal lweekang dan pengalaman pertempuran, ia masih kalah jauh. Akan tetapi, kini Tiong San memegang dua macam senjata yang digerakkan dalam ilmu silat dua macam pula, dan dalam hal kelihaian, ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat dari Si Cui Sian memang hebat dan jarang terdapat.

Wanita itu telah mempergunakan waktu puluhan tahun untuk menyempurnakan ilmu pedang ini. Kini setelah ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat digabung dengan ilmu cambuk Im-yang Joan-pian, maka kehebatannya mengagumkan sekali dan karenanya ia dapat mengimbangi kelihaian sepasang kipas dari Bu Kam.

Pertempuran itu dilakukan di atas wuwungan rumah yang tinggi dan dalam keadaan gelap. Mereka hanya mempergunakan ketajaman mata dan telinga untuk mengikuti gerakan senjata lawan, maka pertempuran kali ini benar-benar merupakan pertempuran antara mati dan hidup!

Ketika Siang Cu melihat betapa kedua orang itu bertempur dengan gerakan cepat, sehingga tubuh mereka hanya merupakan bayangan-bayangan yang sebentar lenyap sebentar muncul di antara sinar senjata yang menyambar-nyambar. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia menyuruh pemuda itu menghadapi lawan yang demikian lihainya.

Bagaimana kalau pemuda itu sampai binasa? Demikian pikirnya dengan hati penuh kegelisahan. Ah, ia menghibur diri sendiri. Kalau Tiong San sampai tewas dalam pertempuran ini, aku akan meloncat dari atas genteng dan tubuhku akan hancur lebur, nyawaku akan menyusul nyawanya!

Sebetulnya kalau Siang Cu mengerti tentang ilmu silat, tentu ia tak usah merasa demikian gelisah. Kini Tiong San mulai dapat mendesak lawannya. Ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat dan ilmu cambuk Im-yang Joan-pian ternyata benar-benar hebat, sehingga ilmu kipas Bu Kam kali ini tidak berdaya sama sekali!

Lui Kong Bu Tong Cu si Dewa Geluduk, semenjak tadi hanya menonton saja oleh karena ia maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih kalah jauh, maka ia tidak berani turun tangan, tetapi ketika melihat betapa Bu Kam mulai terdesak hebat, ia pikir lebih baik segera bertindak merampas Siang Cu dan membawanya ke kota raja untuk menerima pahala dan hadiah dari pangeran yang menyuruhnya!

Shan-tung Koai-hiap sedang sibuk melayani Bu Kam, maka saat yang terbaik ini tak disia-siakan oleh si Dewa Geluduk. Ia melompat ke tempat Siang Cu dan sebelum gadis itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu tubuh si tinggi kurus yang bongkok telah berada di depannya dengan menyeringai menakutkan!

Siang Cu menjerit dan suara itu cukup membuat ujung cambuk Tiong San menyambar ke arahnya dengan kecepatan yang tak disangka-sangka! Ujung cambuk dengan tepat sekali menotok jalan darah di punggung Bu Tong Cu yang segera memekik ngeri dan tubuhnya roboh lalu menggelinding turun ke bawah genteng!

Ketika Tiong San melancarkan serangan ke arah Bu Tong Cu, Im-yang Po-san Bu Kam tidak mau membuang sia-sia kesempatan itu, maka sambil mengerahkan tenaga ia lalu menyerang dengan sepasang kipasnya! Serangan ini luar biasa hebatnya, kipas di tangan kanan menyerang kepala dan kipas di tangan kiri digunakan untuk menusuk, yakni gagang kipas yang runcing itu mengarah jalan darah di iga Tiong San!

Melihat datangnya serangan yang cepat ini, Tiong San menjadi terkejut. Cambuk di tangan kirinya sedang digunakan untuk menyerang Bu Tong Cu, sehingga tak dapat digunakan untuk menghadapi Bu Kam, maka cepat ia mengelak ke kiri sambil merendahkan tubuhnya. Serangan kipas kanan ke arah kepalanya dapat dihindarkan dengan elakan ini. Tetapi kipas kiri dari lawannya terus mengejarnya dengan cepat.

Tiong San menggerakkan pedangnya dengan tiba-tiba dan dari samping, gerakan yang benar-benar mentakjubkan karena pedang itu meluncur melalui bawah sikunya dengan memutar pergelangan tangan sedemikian rupa yang takkan mudah dilakukan oleh ahli pedang lain. Ujung pedangnya bertemu dengan kipas dan “brettt!” ujung pedang itu berhasil merobek kain kipas di tangan Bu Kam.

Alangkah kagetnya Im-yang Po-san Bu Kam melihat hal ini, dan karena ia melihat betapa kawannya sudah dirobohkan, hatinya menjadi ngeri dan ia lalu melompat pergi dengan cepat!

Tiong San melompat ke dekat Siang Cu yang memandangnya dengan kagum sekali dan kalau saja malam tidak demikian gelap, tentu pemuda itu akan melihat betapa sinar mata gadis itu amat mesra menatapnya, dan betapa dua titik air mata bergantung di bulu mata yang panjang itu. Akan tetapi ia tidak melihat hal ini dan segera berkata, “Mari kita pergi!” Ia lalu memondong tubuh Siang Cu dan membawanya melompat ke depan dan berlari cepat keluar dari kota itu.

Kedatangan mereka disambut dengan tangis gembira oleh Nyonya Lie. Nyonya ini tidak saja merasa girang bahwa Siang Cu dapat tertolong, tetapi juga diam-diam ia merasa gembira melihat kegelisahan yang membayang di wajah puteranya ketika mendengar tentang perampasan gadis itu. Diam-diam ia mengucapkan doa kepada Yang Maha Kuasa bahwa akhirnya sepasang orang muda itu akan mendapatkan hati masing-masing!

Akan tetapi, sikap Tiong San masih seperti biasa terhadap Siang Cu, acuh tak acuh dan dingin. Sebetulnya oleh karena ia merasa malu dan terlalu sopan-santun, maka ia jarang sekali berani mengajak bicara gadis itu dan kalau ia sekali-kali bicara, ia selalu bicara dengan penuh kesopanan dan selalu menyebut gadis itu dengan “Gan-siocia” (nona Gan), sehingga Siang Cu yang malam hari itu menyebutnya “kanda”, sekarang juga berobah lagi menjadi “inkong” (tuan penolong)! Hubungan mereka di luar nampak renggang sekali, dan di dalam hanya mereka saja yang tahu!

********************

Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika Tiong San sedang layap-layap hendak pulas, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di atas genteng kamarnya. Serentak pikirannya menjadi terang dan kantuknya lenyap sama sekali dan sebagai seorang ahli silat tinggi, seluruh perasaan dan pikirannya memang telah mempunyai gerakan otomatis untuk menjaga diri pada saat ia mencium datangnya bahaya. Ia maklum bahwa orang yang berada di atas gentengnya memiliki ginkang yang baik sekali, sehingga gerakannya hanya terdengar perlahan saja.

Selagi ia hendak turun dari pembaringan, tiba-tiba dari luar menyambar tujuh benda yang bersinar terang ke arah tubuhnya. Ia cepat melompat ke samping dan ternyata benda-benda itu adalah tujuh batang jarum perak yang kini menancap dan lenyap ke dalam kasur di atas pembaringan! Sebatang jarum itu kebetulan mengenai papan di pinggir pembaringannya dan sekali ia memandang, ia berseru kaget. “Siu Eng ....!” Jarum itu ternyata adalah Kiu-hwa-ciam yang biasa dipergunakan oleh Siu Eng. Ia segera menyambar pedang dan cambuknya, lalu melompat keluar dari jendelanya terus melompat ke atas genteng.

Benar saja dugaannya, gadis cantik jelita yang pernah ia permainkan itu telah berdiri di atas genteng dengan tangan memegang pedang.

“Hm, Shan-tung Koai-hiap, akhirnya aku dapat juga mencari tempat tinggalmu! Bersiaplah menerima pembalasanku!”

“Siu Eng, belum insyafkah kau akan kesalahanmu? Sayang .... sayang ....!” kata Tiong San sambil menangkis serangan Siu Eng, tetapi tanpa menjawab, gadis ini menyerang lagi dengan sengitnya. Tiong San hendak mencoba kepandaian pedang gadis itu, maka ia tidak mempergunakan cambuknya, hanya melayaninya dengan pedang saja.

Ternyata olehnya bahwa ilmu kepandaian gadis ini sudah banyak maju, akan tetapi ilmu pedangnya tidak kalah hebat sungguhpun harus ia akui bahwa dengan mengandalkan pedang saja, tak mungkin ia akan mendapatkan kemenangan dengan cepat. Dikerahkannya kepandaiannya dan di bawah sinar bulan yang terang, mereka bertempur di atas genteng dengan serunya.

Serangan-serangan pedang di tangan Siu Eng masih ganas dan cepat seperti dulu, tetapi sekarang permainannya lebih matang dan tenang, tidak banyak mengawur menuruti nafsu kemarahan hati seperti dulu, hingga diam-diam Tiong San memuji. Akan tetapi, untuk mengalahkan Shan-tung Koai-hiap, apalagi kalau dia mempergunakan jurus cambuknya, agaknya Siu Eng harus belajar sedikitnya sepuluh tahun lagi!

Selagi mereka bertempur dengan amat serunya sampai lebih lima puluh jurus, tiba-tiba dari jauh terdengar suitan nyaring dua kali. Tiba-tiba Siu Eng melompat mundur dan berkata sambil tersenyum manis,

“Shan-tung Koai-hiap, cukup sekian dulu. Besok pagi kita bertemu pula!” Gadis itu lalu melompat turun dari genteng dan melarikan diri. Tiong San tidak mau mengejar, karena iapun tidak mempunyai maksud untuk mengganggu gadis itu. Ia berdiri beberapa lama di atas genteng dan merasa heran sekali mengapa tiba- tiba gadis yang belum terdesak hebat itu telah menghentikan pertempuran dan melarikan diri. Lebih tak dimengertinya pula mengapa Siu Eng tadi mengatakan bahwa besok pagi mereka akan bertemu pula!

Ia menarik napas panjang lalu melompat turun dan memasuki rumahnya. Tiba-tiba ia menahan langkah kakinya dan wajahnya berobah. Mengapa ibunya dan Siang Cu tidak keluar? Ia tahu bahwa pada saat seperti itu, biasanya ibunya dan gadis itu belum tidur. Mengapa mereka tidak mendengar ribut-ribut tadi? Ia segera menuju ke kamar ibunya dan ia makin merasa khawatir ketika melihat pintu kamar ibunya dan pintu kamar Siang Cu yang berada di depan kamar ibunya itu terbuka! Ini tanda bahwa mereka belum tidur. Mengapa mereka tidak keluar? Apakah benar-benar mereka tidak mendengar pertempuran tadi?

Ia berlari memasuki kamar ibunya dan setibanya di dalam ia menahan teriakannya ketika melihat betapa ibunya duduk di atas sebuah kursi dengan tubuh lemas tak dapat bergerak!

“Ibu ....!” teriaknya sambil menahan napas. Ia cepat memeriksa dan hatinya menjadi lega ketika melihat bahwa ibunya hanya lumpuh karena tertotok saja. Ia cepat menggerakkan tangan menotok dan mengurut tubuh ibunya untuk memulihkan tenaganya dan membebaskan orang tua itu dari pengaruh totokan. Kemudian ia teringat sesuatu dan setelah didengarnya ibunya mengeluh tanda telah terbebas dari totokan, ia lalu melompat keluar dari kamar ibunya itu dan lari memasuki kamar Siang Cu dengan hati berdebar khawatir. Dan benar saja, gadis itu tidak berada di dalam kamarnya! Ia mencari-cari, akan tetapi gadis itu benar-benar lenyap tak berbekas!

Ibunya tersaruk-saruk menyusulnya ke dalam kamar Siang Cu.

“Ibu, di mana dia ?? Di mana Siang Cu???” tanyanya dengan muka pucat.

“Tadi dia berada di kamarku,” kata ibunya dengan napas masih sesak, “Kemudian datang seorang wanita berpakaian sebagai seorang to-kouw (pertapa wanita) yang sekali meraba dadaku telah membuat aku seperti lumpuh. Kemudian to-kouw itu juga membuat Siang Cu tak dapat bergerak maupun berteriak, lalu memondongnya pergi setelah meninggalkan surat ini di atas meja.” Tiong San mengambil surat itu dari tangan ibunya dan segera membacanya. Tulisan tangan yang indah menghias kertas itu berbunyi:

Shan-tung Koai-hiap!

Aku mendengar dari Im-yang Po-san Bu Kam bahwa kau berada di sini dan kini mempunyai seorang kekasih yang tak lain hanya seorang pelayan hina!

Posting Komentar