Siang Cu menggelengkan kepalanya. “Kalau taijin kenal kepada Tiong San, tentu tahu pula bahwa dia adalah Shan-tung Koai-hiap.”
“Ya, ya, aku tahu sampai habis hal itu. Katakanlah, apa keperluanmu menjumpaiku?”
Untuk mendapat kepastian, Siang Cu melanjutkan, “Dan kenalkah taijin kepada Thian-te Lo-mo?” “Kakek gila itu? Kenal betul, tidak, tetapi aku tahu bahwa dia adalah guru dari Tiong San!”
“Taijin, terus terang saja kedatanganku ini adalah atas petunjuk Thian-te Lo-mo dan kakek itu menyatakan bahwa di dalam kesukaran yang kuhadapi, aku dapat minta pertolongan kepada kawan-kawan muridnya, yakni kepada orang-orang muda bernama Khu Sin dan Thio Swie, dan juga kepada Tiong San. Oleh karena ternyata bahwa Shan-tung Koai-hiap Lie Tiong San tidak mau menolongku, maka dari kota raja aku langsung mencari taijin untuk mohon perlindungan.”
Khu Sin merasa terkejut dan heran sekali. “Apakah kau bertemu dengan Tiong San? Di mana? Bagaimana keadaannya? Dan mengapa ia tidak mau menolongmu? Dia adalah seorang berhati mulia, semulia- mulianya orang!”
Dihujani pertanyaan ini dan melihat sikap Khu Sin yang amat ramah tamah dan baik, Siang Cu tersenyum dan heranlah Khu Sin melihat gigi yang putih dan rata itu. Terlampau bagus untuk menjadi gigi seorang petani muda biasa!
“Khu-taijin, bukan saja aku telah bertemu dengan Shan-tung Koai-hiap, bahkan sudah bercekcok dengan dia!”
“Apa? Kau bercekcok dengan Tiong San? Mengapa?”
“Khu-taijin, ceritaku panjang dan sebelum aku menuturkan ceritaku ini, harap kau jawab dulu pertanyaanku. Sudahkah kau beristeri?”
Terbelalak mata Khu Sin memandang petani muda ini. Tiong San memang ajaib betul, pikirnya. Mempunyai guru seorang kakek gila dan sekarang kawannya ini rupa-ruoanya juga tak beres otaknya! Akan tetapi ia terpaksa mengangguk, karena memang ia telah kawin dengan Man Kwei, bekas pelayan pangeran Lu Goan Ong yang ditolongnya dulu.
“Kalau kau sudah kawin, baik sekali. Harap kau panggil isterimu keluar karena tidak enak sekali bagiku untuk bercerita tentang pengalamanku di depanmu sendiri. Mana isterimu?”
Kini Khu Sin menjadi marah dan menganggap bahwa orang muda ini pasti seorang gila! “Kau gila!” teriaknya sambil berdiri dari kursinya.
Siang Cu tertawa geli mendengar ini. “Agaknya kau dan kawanmu Shan-tung Koai-hiap itu semodel, paling suka memaki orang gila!”
“Jangan kau main-main!” Khu Sin membentak. “Mengapa kau berani berlaku begini kurang ajar dan menyuruh isteriku keluar? Kalau kau tidak lekas memberitahukan keperluanmu datang di sini, terpaksa aku akan memanggil penjaga untuk mengusirmu!” “Betul-betulkah kau ingin bicara dengan aku sendiri di luar tahu isterimu?” “Tentu saja! Dan jangan kau berlancang mulut membawa-bawa nama isteriku!”
“Bagaimana kalau isterimu mengetahui bahwa suaminya sedang mendengarkan penuturan seorang wanita muda? Apakah dia akan senang hati?”
Kini Khu Sin melompat bagaikan diserang ular dari bawah. “Apa katamu? Kau .... kau ”
Siang Cu berdiri dan menjura, kini bersikap biasa sebagai seorang wanita sungguhpun tampak lucu dalam pakaiannya sebagai petani laki-laki itu. “Aku memang seorang wanita, Khu-taijin. Namaku Gan Siang Cu, bekas pelayan istana kaisar.”
Bukan main terkejutnya hati Khu Sin mendengar ini dan ketika sekali lagi Siang Cu tersenyum manis, ia tidak ragu-ragu lagi. Pantas saja bentuk bibirnya demikian manis dan giginya demikian bagus.
“Mari, mari masuk saja ke dalam rumah ....” katanya gagap dan karena lupa hampir saja ia memegang tangan tamunya untuk ditarik ke dalam, tetapi ketika tangannya menyentuh kulit tangan yang halus itu, ia segera melepaskannya seperti menyentuh api panas.
“Maaf, saudara .... eh, nona ....., aku , aku bingung sekali!” katanya sambil mempersilahkan Siang Cu
masuk ke dalam ruang dalam. Khu Sin lalu berlari-lari memberi tahu kepada isterinya yang segera keluar. Begitu melihat Man Kwei, Siang Cu memandang dan berkata,
“Kalau tidak salah, cici dulu bekerja di gedung pangeran Lu Goan Ong, betulkah?”
Sebagai seorang pelayan istana yang cukup ternama di antara semua pelayan-pelayan, Siang Cu tentu saja pernah dilihat dan dikenal oleh Man Kwei yang mengaguminya. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tentu saja ia tidak mengenalnya. Siang Cu lalu membuka topinya dan rambutnya yang telah dipotongnya itu nampak lucu sekali.
“Cici, lupakah kau kepada Siang Cu?”
Man Kwei membelalakkan matanya. “Apa? Kau .... Siang Cu?” dengan herannya ia mendekati dan memandang lebih teliti lagi. Kemudian sambil tertawa ia memeluk Siang Cu.
“Benar, benar! Kau adalah Siang Cu, tetapi mengapa kau menjadi begini?”
Siang Cu menarik napas panjang dan sebelum ia mulai menuturkan pengalamannya, Man Kwei mencegahnya dan membawanya ke dalam untuk mandi dan bertukar pakaian. Setelah ia muncul lagi, ia telah menjadi seorang gadis cantik, dan ia lalu menuturkan seluruh pengalamannya semenjak pertemuannya dengan Thian-te Lo-mo sampai perpisahannya dengan Tiong San di dalam hutan.
Setelah Siang Cu menuturkan pengalamannya, Khu Sin dan isterinya menjadi sangat terharu.
“Akan tetapi,” kata Khu Sin, “Di manakah adanya Tiong San sekarang? Mengapa dia tidak mau pulang?” Hati Khu Sin selalu merasa khawatir semenjak ia mendengar betapa Tiong San telah mempermainkan pangeran Lu Goan Ong dan Siu Eng.
“Siapa tahu?” jawab Siang Cu mengangkat pundak.
“Tapi mengapa dia tidak mau menolongmu? Bukankah ia sudah menolongmu keluar dari istana dan kota raja? Mengapa tidak mau melanjutkan pertolongannya dan meninggalkanmu di dalam hutan?”
Siang Cu tak dapat menjawab dan menundukkan mukanya. Ketika Man Kwei membantu suaminya mendesaknya, ia menjawab, “Mengapa ia tidak mau menolong? Kukira karena ...., karena aku seorang perempuan!”
“Ha?!?” seru Khu Sin terheran-heran. “Dia memang pembenci perempuan,” kata Siang Cu pula dengan cemberut. Man Kwei lebih mengerti perasaan wanita, maka ia mengejapkan matanya kepada suaminya sehingga Khu Sin tidak membuka mulut lagi.
Kemudian Siang Cu bertanya tentang pengalaman mereka dan Khu Sin lalu menceritakan seluruh pengalamannya. Menurut penuturan Khu Sin, ternyata bahwa ia dan Thio Swie telah kembali ke kampung Kui-ma-chung dengan selamat, membawa pangkat dan uang sepuluh ribu tail perak untuk ibu Tiong San. Akan tetapi, nyonya janda Lie, ibu Tiong San, ketika mendengar dari kedua pemuda itu tentang puteranya yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti dan uang sepuluh ribu tail perak itu adalah “emas kawin” dari pangeran Lu Goan Ong, menjadi marah-marah.
“Tiong San menjual dirinya, kawin dengan gadis macam itu dan menerima emas kawin yang dikirimkan kepadaku? Ah, kalau ia menganggap ibunya mata duitan seperti itu, dia benar-benar gila! Aku tidak sudi menerima uang ini!” Kemudian ia menangis sedih. Terpaksa Khu Sin dan Thio Swie membawa dan menyimpan uang itu karena ibu Tiong San berkeras tidak mau menerimanya.
Ketika Khu Sin dan Thio Swie mendengar tentang Tiong San yang mempermainkan Siu Eng dan pangeran Lu Goan Ong, mereka menjadi girang dan geli sekali. Terutama Thio Swie yang tadinya merasa tidak puas dan mendongkol mendengar bahwa Tiong San hendak kawin dengan Siu Eng, tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.
“Bagus, bagus, Tiong San! Kau benar-benar sahabat karibku!” serunya sambil menepuk-nepuk bahu Khu Sin dengan girangnya. “Aha, Khu Sin, ingin benar aku melihat muka Siu Eng dan mengejeknya!”
Mereka segera memberitahukan hal itu kepada ibu Tiong San yang juga menjadi gembira, tetapi ia segera berkata dengan wajah bersungguh-sungguh kepada Khu Sin dan Thio Swie,
“Uang sepuluh ribu tail perak itu harap hari ini juga kalian kirimkan kembali kepada pangeran Lu Goan Ong! Uang itu adalah hasil penipuan puteraku dan kita tidak berhak memakainya sepeserpun!”
Khu Sin dan Thio Swie tidak berani membantah dan segera mengirimkan kembali uang itu disertai surat mereka yang menyatakan bahwa ibu Tiong San tidak mau menerimanya bahkan mohon banyak maaf untuk kekurang ajaran puteranya. Tak lupa kedua orang muda ini menyampaikan terima kasih atas kurnia yang diberikan kepada mereka.
Kalau pangeran Lu Goan Ong tadinya merasa mendongkol dan gemas sekali karena telah ditipu Tiong San, kini hatinya menjadi luluh menghadapi kemuliaan budi yang diperlihatkan oleh ibu pemuda itu. Maka iapun lalu memberi laporan yang amat baik kepada atasan untuk Khu Sin dan Thio Swie sehingga kedudukan kedua pembesar baru itu makin menjadi kuat.