******
Ketika mendengar dari Gu Liong dan ibunya bahwa Siauw Eng adalah anak Ma Gi dan Cin Pau anak Khu Tiong, maka Can Kok selain merasa girang dan berusaha menangkap mereka, juga merasa kuatir karena kedua anak muda yang gagah perkasa itu merupakan musuh-musuh yang tangguh dan yang masih berkeliaran bebas hingga membahayakan keselamatannya.
Oleh karena itu, setelah Siauw Eng dan Cin Pau yang dikepungnya itu dapat melepaskan diri, Can Kok segera memberi kabar ke istana, memberi laporan kepada kaisar bahwa dua orang pemberontak muda, keturunan keluarga Khu dan Ma, mengacau dan hendak melanjutkan pemberontakan kakek mereka.
Kaisar terkejut sekali, apalagi ketika mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pemberontak itu adalah Gobi Ang Sianli yang telah terkenal namanya di kota raja, dan alangkah marahnya ketika ia mendengar bahwa pemberontak ini semenjak kecil telah dipelihara dan dididik oleh Gak Song Ki, perwiranya yang setia itu. Ia lalu mengeluarkan perintah kepada Can Kok untuk menangkap Gak Song Ki dan isteri pemberontak Ma Gi yang kini menjadi isterinya itu. Juga perintah itu mengharuskan ditangkapnya Siauw Eng dan Cin Pau serta Sian Kong Hosiang, ketua Thian Lok Si yang dapat lolos itu. Semua itu berkat kelicinan dan kecerdikan Can Kok hingga sekali gus ia mendapat surat kuasa dari Kaisar untuk menawan atau membunuh musuh-musuh dan orang-orang yang tidak disukainya.
Kemudian Can Kok menyatakan kekhawatirannya karena pihak musuh adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka ia mohon diberi bantuan perwira-perwira yang pandai. Kaisar lalu memerintahkan kepada tiga orang perwira yang merupakan panglima besar dan tokoh tertinggi, yakni yang bernama Mau Kun Liong, Oey Houw, dan Oey See In.
Selain mendapat bantuan ketiga panglima ini, Can Kok juga memberi kabar kepada kawan-kawan lamanya, yakni Kongsan Hong-te dan kedua tosu dari Gobi-san, Cin San Cu dan Bok San Cu, oleh karena ia maklum bahwa biarpun Siauw Eng dan Gak Song Ki adalah murid-murid kedua orang tosu ini, akan tetapi Cin San Cu dan Bok San Cu adalah tosu-tosu yang taat dan setia kepada Kaisar. Dengan senjata surat perintah Kaisar, maka ia yakin bahwa kedua orang tosu itu tentu akan suka membantu untuk menawan murid-murid sendiri.
Setelah membawa surat perintah penangkapan dari kaisar, Can Kok tanpa membuang waktu lagi lalu membawa sepasukan pengawal dan ketiga orang panglima itu, langsung menuju ke gedung Gak Song Ki untuk menangkap perwira ini beserta isterinya.
“Gak Song Ki, kau dan nyonya Ma Gi menyerahlah untuk menjadi tawanan. Kami datang atas perintah kaisar !” kata Can Kok dengan sombong sambil memperlihatkan surat perintah itu.
Gak Song Ki adalah seorang perwira yang setia, maka setelah berlutut terhadap surat perintah kaisar itu dan menyatakan ketaatannya, ia lalu menggandeng tangan Kwei Lan dan mengikuti rombongan yang menangkapnya itu. Seluruh isi rumah menangis sedih karena peristiwa ini dan orang-orang menjadi ribut mendengar betapa perwira Gak Song Ki beserta isterinya telah ditawan oleh kaisar.
“Can-ciangkun, aku telah dapat menduga bahwa kau lah yang berdiri di belakang semua ini,” kata Gak Song Ki ketika ia mulai berjalan meninggalkan rumahnya untuk dibawa ke tempat tahanan. “Pengkhianat jangan banyak membuka mulut !” bentak Can Kok. “kau telah melindungi anak isteri pemberontak besar, percuma saja hendak menyangkal dosa-dosamu yang pantas mendapat hukuman mati !”
Gak Song Ki hanya menggigit bibir saja karena ia maklum bahwa dalam keadaan tak berdaya ini, makin banyak ia bicara, makin hebat pula Can Kok akan menghina. Karena urusan kali ini menyangkut diri seorang perwira tinggi, maka yang akan menjadi hakim adalah kaisar sendiri dan sementara menanti pengadilan, kedua suami isteri yang malang itu dimasukkan ke dalam sebuah tempat tahanan yang kokoh kuat dan terjaga oleh anak buah Can Kok sendiri.
Sementara itu, kalangan perwira geger ketika mendengar tentang penangkapan ini. Gak Song Ki adalah seorang perwira yang telah banyak membuat jasa, selain ini, telah beberapa keturunan nenek moyangnya menjadi panglima-panglima yang setia kepada raja, bahkan ayahnya dulu adalah seorang panglima besar yang telah terkenal sebagai pembela kaisar yang paling gagah dan setia, maka penangkapan ini dianggap kurang adil dan menimbulkan gelisah di kalangan mereka.
Terutama sekali Gan Hok, ayah tiri Hwee Lian. Ketika mendengar dari puterinya yang datang-datang menangis dan menuturkan bagaimana ia telah mengalami hal-hal yang mengejutkan di depan kedua makam pemberontak dan mendapat kenyataan yang mengagetkan bahwa Siauw Eng adalah anak pemberontak Ma Gi, lalu berkata kepada isterinya dan anaknya,
“Sudahlah, kalian jangan ikut campur dalam urusan ini. Ingat bahwa biarpun ayah Hwee Lian tewas dalam tangan kedua orang pemberontak Khu dan Ma, akan tetapi mereka berdua juga sudah tewas pula di tangan petugas-petugas hingga boleh dibilang segala perhitungan telah beres dan lunas. Perlu apa kita harus ikut mencampuri urusan ini pula ? Sekarang kalian berdua adalah keluargaku, bukan keluarga Gu lagi, dan aku tidak suka kalau harus mengotorkan tangan menanam bibit permusuhan dengan keluarga Khu dan Ma !”
Hwee Lian menjawab ucapan ayahnya dengan hati terharu, “Kau benar, ayah. Memang, aku sendiri tidak bisa memusuhi Siauw Eng, tidak hanya karena ilmu kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi juga karena ia begitu baik dan telah kuanggap seperti saudara sendiri. Bagaimana aku sanggup untuk menjadi musuhnya, biarpun ayah kami dulu bermusuhan ?”
“Sebetulnya ayahmu dulu pun tidak bermusuh dengan Khu Tiong dan Ma Gi, anakku,’ kata nyonya Gan Hok yang berhati sabar hingga nyonya inipun telah lama menanam rasa sakit hatinya, “bahkan ketika kakekmu pangeran Gu dan kedua orang sasterawan tua she Khu dan Ma itu masih bersahabat bahkan mengangkat saudara, ayahmu dan kedua orang itu hidup rukun dan damai bagaikan sekeluarga.
Ayahmu hanya terbawa-bawa, demikianpun Khu Tiong dan Ma Gi, terbawa-bawa oleh persoalan yang timbul antara pengeran Gu kakekmu itu dan kedua orang sasterawan tua, dan ayahmu menjadi kurban dari pada kedua saudara yang sedang mata gelap dan mengamuk itu.”
Demikianlah, ketiga orang ini dengan penuh kesadaran telah dapat menolak godaan nafsu dendam hingga mereka tidak mau ikut mencampuri urusan balas dendam yang turun temurun ini. Akan tetapi ketika Gan Hok mendengar tentang ditawannya Gak Song Ki dengan isterinya, ia menjadi terkejut sekali dan perwira ini segera keluar dari gedungnya untuk mencari tahu dan kalau mungkin menolong sahabatnya itu.
******
Siauw Eng dan Cin Pau dengan perlahan berjalan menuju ke makam orang tua mereka. Mereka tidak banyak bercakap, terbenam dalam lamunan masing-masing. Tak pernah disangkanya bahwa kini mereka berjalan berdua di dalam hutan sebagai dua orang yang dikejar-kejar dan dimusuhi kaisar.
Perbedaan keadaan mereka yang amat besar dulu itu kini musnah sama sekali dan membuat mereka senasib sependeritaan, saling dekat saling membela, seperti halnya kedua orang ayah mereka yang sampai matipun berada dalam keadaan berkumpul dan berjajar.
Ketika mereka masuk ke dalam hutan yang mereka tuju, senja telah mulai mendatang, maka mereka lalu mempercepat langkah untuk tiba di makam itu sebelum gelap. Akan tetapi ketika mereka telah tiba tak jauh dari makam, tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan ringkik kuda. Mereka mempercepat lari sambil mengintai dan alangkah kaget kedua orang muda itu ketika melihat bahwa yang berada di situ adalah serombongan orang yang menggali kuburan ayah mereka. Dan orang-orang ini dikepalai oleh Can Kok sendiri, bersama tiga orang panglima. Gu Liong juga nampak berada di situ, bersama seorang wanita yang Siauw Eng kenal sebagai ibu pemuda itu. “Kejam !” Siauw Eng berbisik kepada Cin Pau sambil memandang dengan mata terbelalak.
“Agaknya nyonya Gu Keng Siu hendak membalas dendam kepada kerangka kedua ayah kita ” saking
merasa ngeri dan marah, Siauw Eng memegang lengan Cin Pau yang juga menegang karena pemuda ini mengepal tinjunya.
“Ingat baik-baik,” terdengar Can Kok berkata kepada para pencangkul itu yang telah mulai menemukan kedua kerangka yang dikubur di situ, “yang tertusuk panah tulang-tulang iganya adalah kerangka pemberontak Khu Tiong. Ia mampus dengan anak panah tertancap di dada.
Sedangkan rangka Ma Gi kalau tidak salah tentu tulang pahanya telah patah, karena dulu ketika ia mampus, beberapa bacokan mengenai pahanya dengan keras sekali. Kita kumpulkan tulang-tulang mereka itu untuk dipertontonkan kepada rakyat agar tidak ada yang berani main berontak-berontakan lagi !”
“Sesudah itu kita berikan tulang-tulang itu kepada anjing-anjing kelaparan supaya dimakan !” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, yakni suara nyonya Gu Keng Siu. Suara ini biarpun halus dan merdu akan tetapi terdengar amat menyeramkan sehingga Siauw Eng merasa bergidik. Juga Cin Pau menggertakkan gigi mendengar betapa tulang-tulang ayahnya hendak diberikan kepada anjing. Can Kok mendengar ucapan ini, tertawa bergelak dan berkata,
“Alangkah bencimu kepada mereka, Gu-hujin.”
“Kalau mereka masih hidup, aku sanggup minum darah mereka !” terdengar pula suara yang halus itu berkata lagi. “Dan aku takkan berhenti sebelum dapat membunuh keturunan pemberontak-pemberontak jahat yang telah membunuh suamiku ini !”
Tiba-tiba seorang di antara para pencangkul itu berkata, “Nah, inilah kerangka Khu Tiong ! Ada anak panah menembus tulang-tulang iganya.”
“Yang satu ini tentu tulang kerangka Ma Gi kata pencangkul yang lain.
Tulang-tulang itu lalu diangkat dan dipisahkan menjadi dua bungkus. Dan pada saat itu, Siauw Eng dan Cin Pau tak kuat menahan kemarahan hati mereka lebih lama lagi. Dengan pedang terhunus mereka keluar dari tempat persembunyian dan berseru,