Selama itu Ceng Ceng terus awasi si anak muda, hatinya lega melihat air muka terang dari pemuda itu, tapi sekarang ia pun terperanjat mendapati orang mandi keringat, romannya berkuatir.
"Belum sampai bertempur, hatinya sudah goncang, bagaimana nanti?" pikir dia. Maka ia menjadi turut bingung sendirinya.
Sin Cie awasi lilin, yang hampir padam, ia sendiri masih belum peroleh daya, bukan main sibuknya dia.
Itu waktu satu bujang perempuan bertindak kedalam ruangan, tangannya menyekal secawan air teh, ia hampirkan si anak muda.
"Wan siangkong, silakan minum teh," katanya.
Selagi kusut pikiran itu, Sin Cie sambuti cawan teh dengan tidak ragu-ragu, malah ia terus antar cawan kemulutnya, akan tetapi disaat bibir dan cawan hampir nempel, mendadakan terdengar suara nyaring didepan mukanya sendiri dan tangannya tergetar, untuk kagetnya, ia dapatkan cawan sudah terpukul terlepas panah-tangan, jatuh hancur dilantai.
Masih anak muda ini sempat lihat Ceng Ceng menarik pulang tangannya, maka ia tahu, adalah si nona yang sudah serang cawan itu. Maka berbareng kaget, ia insaf. "Sungguh berbahaya!" kata ia dalam hatinya. "Kenapa aku jadi begini goblok? Kenapa tak ingat aku yang mereka juga bisa kasi aku minum obat pulas?"
Justru itu waktu, bagaikan guntur, Un Beng Go mendamprat : "Ada ibunya, ada gadisnya. Keluarga Un telah tidak menumpuk jasa-jasa baik maka juga telah terlahirlah anak hina-dina ini yang bersekongkol dengan orang luar!"
Ceng Ceng tahu, dialah yang dicaci, dia tidak mau mengalah.
"Ya, leluhur keluarga Un telah menumpuk banyak sekali jasa-jasa baik! Mereka telah perbaiki jembatan-jembatan, jalan-jalan besar, mengamal terhadap orang-orang melarat! Segala macam perbuatan baik, mereka lakukan!"
Itulah sindiran belaka terhadap Ngo Cou yang tidak ada kejahatan yang tidak dilakukan mereka.
Un Beng Go jadi demikian murka sehingga dia lompat bangun sambil berjingkrak, dia hendak hajar cucu atau cucu-keponakan itu, akan tetapi Un Beng Tat menghalangi dia.
"Sabar, ngo-tee," kata engko ini. "Jaga itu bocah saja!" Pada waktu itu, telah lenyap roman berkuatir dari Sin
Cie, sebagai gantinya, anak muda ini kembali berwajah
riang-gembira. Serangan Ceng Ceng dengan panah rahasia terhadap cawan seperti memberikan ia ilham.
"Kenapa aku tidak mau gunai senjata rahasia?" demikian pikirnya. "Dalam hal senjata rahasia, walaupun Kim Coa Long Kun masih tak dapat menandingi aku! Bukankah pada tubuhku juga ada baju kaos istimewa hadiah dari Bhok Siang Toojin? Kenapa aku tidak mau antap orang hajar beberapa kali bebokongku, supaya berbareng dengan itu aku bisa pecahkan Ngo-heng-tin ini?"
Sekejab saja, pemuda ini ambil putusannya. Tidak lagi dia tunggu habisnya sebatang lilin, segera ia berbangkit.
"Cukup!" katanya. "Silakan kamu beri pengajaran kepadaku!"
Un Beng Tat lantas perintah orang-orangnya tukar semua lilin.
"Ini kali, kalau ada keputusan menang atau kalah, bagaimana?" Sin Cie tegaskan.
"Jikalau kau menang, pergi kau bawa emas itu!" jawab Un Beng Tat. "Jikalau kau tidak berhasil, nah, tak usah omong banyak lagi!"
Sin Cie mengerti, jikalau dia yang kalah, jiwanya tidak bakal tertolong lagi, akan tetapi apabila dia yang menang, orang masih bisa menyangkal. Maka ia kata pula :
"Kalau begitu, keluarkanlah emas itu! Begitu aku menang, aku hendak segera bawa pergi!"
Lima saudara Un itu kagum. Sudah terkepung, lagi menghadapi bahaya maut, anak muda ini masih berkeras kepala. Tetntu sekali, mereka tidak kuatir. Mereka tahu, Kim Coa Long-kun yang liehay masih tak mampu dobrak ngo-heng-tin, apapula bocah ini.
Setelah asah pikiran belasan tahun, Ngo Cou berhasil menciptakan Ngo-heng-tin, setelah itu, mereka melatih diri dengan sempurna. Ngo-heng-tin ada pusaka bagi Cio Liang Pay. Buat layani tiga sampai empat-puluh musuh masih leluasa, apapula akan hadapi satu orang. Biasanya tak sembarangan Ngo Cou gunai barisannya ini, ia kuatir orang lihat dan menirunya, sekarang terpaksa mereka pakai karena Sin Cie terlalu tangguh untuk mereka, sehingga mereka tak kuatir nanti ditertawai orang banyak berkelahi dirumah sendiri secara mengeroyok.
"Kau keluarkan emas itu!" akhirnya Beng Tat titahkan Ceng Ceng.
Nona ini sangat menyesal, Jikalau ia tahu bakal jadi begini rupa, pasti dari siang-siang ia sudah kembalikan emas itu. Ia tidak berani bantah yaya itu, terpaksa ia pergi ambil bungkusan emas itu, diletaki diatas meja dalam ruang itu.
"Jangan letaki secara demikian," kata Un Beng San. "Cheng, kau atur berdiri semua emas itu, bikin menjadi peta!"
Un Cheng menyahuti, ia ambil bungkusan emas itu, akan sepotong demi sepotong dia letaki di lantai, diatur semacam gambar Thay-kek (dunia bundar), hingga diluar itu, seputarnya, merupakan pat-kwa.
"Mari!" berseru lima saudara One begitu lekas sepuluh potong emas itu selesai diatur, mereka lantas bergerak, senjata mereka pun lalu dihunus.
Sin Cie sambut tantangan itu, akan tetapi disaat ia hendak mulai lompat maju, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa ber-gelak-gelak diatas rumah, disusul dengan kata : "Orang-orang tua dari keluarga Un! Aku Eng Cay datang berkunjung untuk menanggung dosa!"
Lima saudara Un terkejut.
"Silakan turun!" mereka mengundang.
Menyusul undangan itu, belasan orang lompat turun dengan saling susul dari atas genteng ruangan latihan silat itu, sesuatu orangnya tak rata tubuhnya, ada yang tinggi, ada yang kate, tetapi yang bertindak dimuka adalah Eng Cay, pang-cu atau ketua dari partai Liong Yu Pang.
Justru itu Sin Cie berpaling kepada Ceng Ceng. Ia tampak, biarpun si nona mencoba mentenangkan diri, pada wajahnya ada ketegangan.
Un Beng Tat sudah lantas tanya tetamunya yang tak diundang itu.
"Lao Eng, sahabatku, tengah malam buta-rata kau berkunjung kegubukku ini, apakah maksudmu? Lu Jie Sianseng dari Hong-gam juga turut datang bersama!"
Sembari mengucap, Toa-yaya ini rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat kepada satu orang yang berada dibelakang Eng Cay. Orang itu dandan sebagai seorang mahasiswa, usianya pertengahan.
Eng Cay tidak jawab pertanyaan, atau teguran itu, hanya dia kata : "Un Lo-ya-cu, kau berbahagia sekali! Kau telah dapatkan seorang cucu perempuan yang ilmu silatnya sempurna, yang otaknya cerdas sekali, tidak saja See Lo-toa kami serta belasan saudara lainnya rubuh ditangannya, malah aku sendiri si tua-bangka turut mendapat malu juga!. "
Beng Tat heran. Memang dia dan saudara-saudaranya belum tahu hal bentrokan diantara Ceng Ceng dan rombongan dari Liong Yu Pang itu. Yang pasti adalah, diantara Cio Liang Pay dan Liong Yu Pang, ada pergaulan. Dimana sekarang mereka lagi menghadapi lawan tangguh, Ngo Cou tidak inginkan keruwetan baru.
"Lao Eng, apakah yang diperbuat cucu kami terhadapmu?" Beng Tat tanya dengan sabar. "Tidak nanti kami melindungi pihak yang bersalah. Siapa bunuh orang, dia berhutang jiwa, siapa berhutang uang, dia mesti membayar dengan uang juga! Tidakkah demikian?"
Ketua dari Liong Yu Pang itu melengak.
"Heran!" pikirnya. "Kenapa tua bangka ini yang biasa tekebur sekali hari ini jadi begini pandai omong? Mustahil dia jeri terhadap Lu Jie sianseng sampai begini macam jerinya?"
Tapi segera juga ia tampak Sin Cie diantara rombongan tuan rumah itu, ia jadi bertambah-tambah heran. Maka ia kembali berpikir.
"Tua bangka ini mempunyai pembantu yang liehay sekali, mungkin Lu Jie sianseng juga tak nanti sanggup lawan dia. Baiklah aku lihat selatan untuk menyimpan lajar. "
Maka ia lantas menyahut dengan tenang: "Kami dari Liong Yu Pang belum pernah bentrok dengan pihakmu, maka itu dengan memandang kepada kamu lima saudara, sukalah aku bikin habis kematian See Lo Toa, anggap saja dia mesti sesalkan kepandaiannya sendiri yang cetek, melainkan mengenai emas itu...." Dia menyapu dengan matanya kepada sepuluh potong emas dilantai, lalu dia melanjuti: "Kami telah mengikuti jalanan jauhnya beberapa ratus lie, kami telah bercape-lelah dan bercape-hati, buang ongkos juga, malah ada orang kami yang sampai mengantari jiwanya, semua itu adalah usaha kami untuk hidup dalam dunia kangouw. "
Eng Cay berhenti sampai disitu.
Un Beng Tat heran, ia mengawasi. Segera hatinya menjadi lebih tenteram. Teranglah sudah, Eng Cay datang bukan untuk pembalasan hanya guna emas itu. "Semua emas itu ada disini, jikalau kau menginginkannya, pergilah ambil, tidak ada halangannya," berkata dia.
Eng Cay heran hingga ia menatap wajah tuan rumahnya. Kenapa ketua Cio Liang Pay itu jadi demikian baik budi? Ia tadinya mau menyangka orang hendak mengejek padanya, tetapi ia dapati air muka tenang dan biasa, tidak ada bajangan kepalsuan. Maka ia kata:
"Un Toaya, jikalau kau sudi memberikannya separuh saja dari jumlah itu, untuk kami pakai menunjang korban- korban yang terbinasa dan terluka, bukan main berterima kasihnya aku. "