Pedang Ular Mas Chapter 44

NIC

"Dalam satu bulan ini, aku akan datang berkunjung kerumahmu," dia berkata pula. "Kasih tahu pada semua tertua dirumahmu supaya mereka sambut aku secara baik- baik!"

"Itulah kata-kata tidak keruan juntrungannya, akan tetapi aku toh terima juga. Setelah memesan dan aku menerimanya, se-konyong-konyong dia sambar jangkar rantai dari atas perahu, hingga rantainya berbunyi berisik. Segera ia lemparkan itu, malah beruntun semua empat- empatnya jangkar."

"Bagus!" berseru Ceng Ceng tanpa ia merasa.

"Cis!" meludah Lam Yang, hingga ludahnya itu menodai lantai paseban,yang sangat bersih.

Sekitar paseban ditanami pohon kembang mawar, Ceng Ceng tanam itu dengan tangannya sendiri. Paseban itu, terutama lantainya, sangat bersih karena si nona sangat resik. Sekarang ia lihat paseban diludahi, ia jadi berduka.

Sin Cie tampak roman menyesal sahabatnya, ia ulur sebelah kakinya, akan gusak-gusak ludah itu.

Melihat kelakuan itu, si nona menoleh pada pemuda ini, agaknya ia sangat berterima kasih.

Un Gie lihat kelakuan dua anak muda itu, ia manggut dengan pelahan. Nyata ia puas dengan tingkah-laku pemuda itu.

"Terang dia telah perlihatkan tenaga besarnya padaku, tetapi aku tidak dapat terka apa artinya itu," Un Lam Yang melanjutkan untuk kesekian kalinya. "Dengan kekuatannya itu, dia telah bikin putus rantai-rantai jangkar. Kemudian Baru dia kata padaku: "Jikalau kau tidak lakukan pesanku ini, contohnya adalah ini jangkar!"

"Setelah itu, dia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong goan-po kelantai perahu sambil berkata : "Inilah ongkos jalanmu!" Tanpa tunggu jawabanku, dia sambar dua potong gala, sepotong ditiap tangan. Ketika dengan tangan kiri ia tancapkan gala kedalam sungai, tubuhnya segera turut terangkat naik dan melayang ketengah air. Menyusul itu ia tancapkan gala yang kanan, tubuhnya turut melayang juga, sedang gala kiri, ia cabut, ia angkat, untuk ditancapkan pula kearah depan. Secara demikian, dalam beberapa gerakan saja, ia sudah sampai ditepian dimana ia letaki kaki seraya memutar tubuh. "Kau sambut ini!" ia berseru, menyusul mana dua batang gala ditimpuki kearah perahu. Aku tidak berani sambuti kedua gala itu, yang jadi nancap digubuk perahu. Selagi aku kaget dan kagum, dari tepian aku dengar seruannya yang panjang, lantas tubuhnya lenyap ditempat gelap."

"Sungguh gagah Kim Coa Long-kun," pikir Sin Cie.

Pemuda ini cuma memikir didalam hati, tidak demikian dengan si pemudi.

"Dia ada satu enghiong, satu hoo-kiat!" Ceng Ceng berseru dengan pujiannya. Enghiong atau hookiat adalah satu pahlawan atau orang gagah.

"Satu Enghiong ? Cis!" Un Lam Yang mengejek. Ketika itu aku pandang dia sebagai tuan penolong. Melihat sinar matanya, yang tajam dan bengis, dia rupanya sangat benci aku, akan tetapi aku mau percaya itulah tabeatnya yang kukoay, maka aku tidak memperdulikannya lebih jauh. Setelah itu aku lanjuti perjalanan pulang. Semua kuli, yang aku suruh gotong peti bilang, peti itu berat sekali. Aku duga, tentunya liok-siokhu peroleh untung besar, bahwa peti itu terisi emas dan perak dan mustika lainnya. Aku pun percaya, setelah dengan susah payah aku bawa pulang itu, semua paman dan mamak akan hadiahkan aku sedikitnya satu bagian dari harta itu. Maka juga, aku sangat bergembira. Ketika akhirnya aku sampai dirumah, yah,

302 mamak dan paman, semua puji aku, mereka katakan, Baru pertama kali aku pergi bekerja, aku telah peroleh hasil yang tidak dapat dicela..."

"Memang tidak dapat dicela!" Ceng Ceng menyelak dengan ejekannya.

"Sudah kau bunuh satu nona remaja, kau juga pulang dengan gondola sebuah peti besar!"

"Ceng Ceng, diam!" Un Gie melarang. "Kau dengarkan cerita pehhu."

Un Lam Yang tidak ladeni keponakannya itu.

"Malam itu kami berkumpul," demikian lanjutan penuturannya. "Lilin dinyalakan terang-terang di seluruh thia. Empat bujang gotong peti besar. Ayah beserta keempat mamak duduk ditengah ruangan. Aku sendiri adalah yang loloskan semua dadung, kemudian aku cabut setiap pakunya.

Aku masih ingat benar ketika toapehhu sambil tertawa berkata : "Entah lauliok kepincuk oleh si cantik siapa, ia sampai lupa daratan dan tak mau pulang, dia cuma suruh ini bocah bawa pulang petinya ini! Mari! Mari kita lihat mustika apa yang dia antar pulang!" Aku lantas buka tutup peti, diatas mana ada sepotong sampul surat yang ada tulisannya, yang berbunyi : 'Lima saudara Un harus buka bersama' Itulah huruf-huruf yang indah, yang bukan buah- kalam liok-siokhu. Aku serahkan surat itu pada toa pehhu.

"Toa pehhu sambuti surat tetapi ia tidak lantas buka untuk dibaca. "Coba lihat dulu, apa isinya bungkusan!" kata dia. Peti besar itu memang berisikan sebuah bungkusan besar sekali, yang atasnya diampar kertas. Bungkusan itu dijahit rapat. "Liok-teehu, coba ambil gunting, guntingi benang itu," toa pehhu kata pada encim yang keenam. "Aku heran, liok- tee boleh menjadi begini terliti..."

"Encim lantas ambil gunting, akan putuskan semua benang, sesudah mana, ia buka bungkusan itu. Dengan tiba- tiba dari dalam bungkusa menyambar tujuh atau delapan batang anak panah beracun..."

Ceng Ceng menjerit sendiri saking kaget.

"Itulah kepandaian yang umum dari Kim Coa Long- kun," kata Sin Cie dalam hatinya. Ia tidak jadi heran dan kagum seperti si nona.

"Mengingat kejadian itu, aku bersuku kepada Thian," Un Lam Yang kata dengan pujiannya. "Coba aku keburu napsu, aku yang buka bungkusan itu, mana jiwaku masih dapat hidup sampai sekarang ini? Semua gandewa itu mengenai dengan telak kepada tubuh encim keenam. Semua ada gandewa beracun yang liehay sekali, yang mengenai darah lantas menutup tenggorokan. Hampir tidak berseru lagi, encim keenam rubuh, anggauta tubuhnya semua berubah menjadi hitam. Dan ia mati tak berampun lagi!..."

Berkata demikian, Lam Yang menoleh pada Ceng Ceng. "Itulah perbuatan bagus dari ayahmu!" kata dia dengan

ejekannya. "Karena kejadian itu, seluruh thia menjadi

gempar. Ngo-siok lantas menyangka jelek padaku, dia suruh aku yang buka bungkusan besar itu. Dengan terpaksa, aku menurut. Aku berdiri jauh-jauh, aku buka bungkusan dengan pakai gala untuk menggaet dan menggower. Sukur tidak ada gandewa lainnya yang menyambar. Kau tahu, apa isinya bungkusan itu?" ia tanya si nona.

"Apakah itu?" Ceng Ceng balik tanya. Un Lam Yang kasi dengar suara nyaring ketika ia menjawab : "Itulah mayat encek keenam!"

Ceng Ceng kaget hingga parasnya menjadi pucat.

Un Gie rangkul puterinya itu, untuk dipeluki, untuk tetapkan hatinya.

Untuk sesaat, keempat orang berdiam semua.

Posting Komentar