Pedang Ular Mas Chapter 41

NIC

"Pernah apa kau dengan Kim Coa Long-kun Hee Soat Gie?" tanya Beng Gie, dengan suara menyatakan kemurkaannya. "Dia ada dimana sekarang? Apakah dia yang perintah kau datang kemari?"

"Seumurku, belum pernah aku lihat mukanya Kim Coa Long-kun," jawab Sin Cie, dengan tetap tenang, "maka cara bagaimana dia bisa perintah-perintah aku?"

"Apakah katamu ini?" Beng San, sam-yaya , tegaskan. "Apa gunanya aku dustakan kamu?" sahut anak muda

itu. "Secara kebetulan saja aku bertemu sama ini saudara

Un Ceng diatas sebuah perahu, berterima kasih atas kebaikannya, kita berdua lantas ikat tali persahabatan. Ada hubungan apa kamu dengan Kim Coa Long-kun?"

Ngo Cou nampaknya jadi lebih tenang, akan tetapi kecurigaannya masih belum lenyap.

"Apabila kau tidak sebutkan tempat sembunyinya Kim Coa Long-kun, hari ini jangan kau harap bisa keluar dari Cio-liang!" Beng Tat mengancam. Ia tidak jawab pertanyaan orang.

"Dengan andali kepandaian kamu ini kamu hendak menahan aku?" si anak muda tegasi. "Aku kuatir kau tak nanti mampu berbuat demikian..." Masih Sin Cie berlaku sabar sekali, sikapnya menghormat. Lalu ia menambahkan : "Dengan Kim Coa Long-kun itu, aku tidak bersanak tidak berkadang, sama sekali kita berdua belum pernah bertemu muka. Cuma, untuk bicara terus-terang, dimana adanya dia sekarang, aku tahu, melainkan aku kuatir disini tak ada seorangpun yang berani pergi menemukan dia...?" Dengan mendadak, kumat pula kemurkaan Ngo Cou dari Cio Liang Pay itu.

"Siapa bilang kami tidak berani?" seru Beng Tat, si Toa- yaya. "Selama sepuluh tahun ini, tidak ada satu hari yang kami tidak cari dia! Kami berlima saudara, satu persatu jiwa kami, suka kami antarkan ketangannya dia itu! Biar dia ada diujung langit, pasti kami akan cari padanya! Dimana dia ada?"

Sin Cie tertawa dengan tawar.

"Apa benar-benar kamu hendak pergi ketemui dia?" ia tanya.

Beng Tat maju setindak. "Tidak salah!" jawabnya.

"Ada apa faedahnya akan bertemu dengannya?" tanyanya.

"He, sahabat kecil, siapa hendak main-main denganmu?" Beng Tat menegur. "Lekas kau omong!"

Anak muda itu bersemu.

"Locianpwee semua ada bertubuh sehat wal'afiat," katanya, "masih mesti ditunggu lagi banyak tahun untuk locianpwee menemui dia itu. Dia telah menutup mata!"

Mendengar jawaban ini, semua orang tercengang, hingga mereka pada berdiri menjublak, hanya adalah Un Ceng yang terdengar menjerit dan terus memanggil-manggil : "Ibu! Ibu! Ibu, bangun!"

Sin Cie heran, ia segan menoleh, maka terlihatlah olehnya, si nyonya usia pertengahan sudah rubuh pingsan, tubuhnya berada dalam pangkuan si anak muda Un Ceng. Nyonya itu tutup rapat mulutnya, mukanya pucat sekali. Ngo Cou pun terkejut.

"Dosa!" kata Un Beng San ber-ulang-ulang.

Beng Gie segera kata pada Un Ceng : "Ceng Ceng, lekas pondong ibumu kedalam! Jangan kau mendatangkan malu, hingga orang nanti menertawainya!"

Un Ceng menangis dengan tiba-tiba, tapi ia menjawab dengan sengit. "Malu apa? Ibu dengar ayah menutup mata, tentu saja ia kaget dan jadi bersusah hati karenanya!..."

"Nyonya eilok itu jadi ada isterinya Kim Coa Long- kun?" tanyanya dalam hatinya. "Dan Un Ceng ini puteranya..."

Beng Gie gusar bukan main mendengar perkataan Un Ceng hingga ia kertak giginya berulang-ulang.

"Toako, jikalau masih kau sayangi bocah ini, nanti aku yang ajar padanya!" kata ia dengan keras pada Beng Tat, sang kanda.

"Siapa itu ayahmu?" Beng Tat bentak sang cucu. "Kau tidak mau lekas masuk?"

Un Ceng lantas pepayang si nyonya eilok, untuk diajak masuk kedalam. Nyonya itu sudah sadar tapi ia masih sangat lemah.

"Kau minta Wan Siangkong menemui aku besok malam," ibu ini kata dengan pelahan. "Aku hendak tanyakan dia."

Un Ceng manggut, terus ia menoleh pada Sin Cie. "Masih ada satu hari!" katanya. "Besok malam kau boleh

datang pula untuk curi emas, aku ingin lihat kau mampu

atau tidak!" Dengan roman sengit, ia lirik Siau Hui, habis itu ia pepayang ibunya dan bertindak masuk.

"Mari kita pergi!" Sin Cie ajak Siau Hui. Lantas keduanya bertindak keluar.

"Pelahan dulu!" tiba-tiba Ngo-yaya Un Beng Go mencegah sambil kedua tangannya dipakai menghalangi. "Aku masih ingin tanya kau."

Sin Cie rangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat.

"Sekarang sudah jauh malam, lain hari saja aku kunjungi locianpwee," katanya.

"Kim Coa Kan-cat itu dimana matinya? "Beng Go tanya. "Ketika dia mati, siapa yang lihat padanya?"

Ditanya begitu, berpetalah dimatanya Sin Cie kejadian itu malam didalam gua diatas puncak gunung Hoa San ketika Thio Cun Kiu serang si pendeta.

"Terang sudah, kamu sedang cari warisan Kim Coa Long-kun," pikir dia. "Tidak, aku tidak bisa kasi keterangan!"

Maka ia jawab: "Aku ketahui itu dari pendengaran satu sahabat. Jikalau tidak keliru, Kim Coa Long-kun meninggal dunia disebuah pulau diluar propinsi Kwietang."

Ngo Cou saling mengawasi, nampaknya mereka heran. "Maka itu pergilah kamu kepulau itu dilaut Kwietang!"

Sin Cie kata. Terus ia memberi hormat pula,dan tambahkan

: "Aku yang muda tak dapat menemani lebih lama pula. "

"Jangan kesusu!" Un Beng Go mencegah pula. Dia masih mau menanya melit-melit, kembali dia lintangi kedua tangannya. Sin Cie keluarkan tangannya, untuk tolak lengan orang, tapi Beng Go segera tekuk lengannya itu, untuk dipakai menggaet. Ia gunai tipu "Kim-na-hoat" akan cekal tangan si anak muda.

Sin Cie tidak niat bertempur pula, selagi kedua tangan mereka beradu, ia tarik Siau Hui dengan tangan kiri, ia ajak si nona loncat akan lewati jago tua ini yang kelima.

Si nona adalah yang loncat lebih dahulu, akan lewat disamping jago tua itu, baju siapa pun tidak sampai terlanggar.

Un Beng jadi panas, hingga selagi tarik pulang tangan kanannya, ia bawa itu kepinggangnya, maka dilain saat ia sudah tarik keluar sepotong cambuk lemas terbuat dari kulit kerbau, senjatanya yang istimewa. Dengan itu, ia lantas serang bebokong si anak muda dengan tipu pukulannya "Cun Ma toat kiang" atau "Kuda jempol meloloskan pelana".

Jikalau lain orang bergegaman cambuk dari baja atau lain logam, Beng Go gunai bahan kulit, yang lemas tapi ulet, yang ia biasa gunai sama hebatnya seperti logam.

Sin Cie dengar suara angin dibelakangnya, sambil masih tarik tangan si nona An, ia mendak seraya terus berlompat, dengan begitu, serangan cambuk jadi mengenai sasaran kosong. Habis itu ia berlompat kearah tembok.

Un Beng Go jadi sangat penasaran. Ia punyakan latihan dari beberapa puluh tahun dengan cambuknya itu, siapa tahu, dengan gampang saja si anak muda lolos dari serangannya. Maka tak mau ia berhenti dengan begitu saja. Meneruskan gerakan tangannya, yang ia tarik pulang, ia rabih kaki Siau Hui. Jago tua ini tahu, kepandaian si nona masih sangat berbatas, ia percaya ia akan berhasil merubuhkan nona itu. Ia tidak pikir bahwa si anak muda ada bersama si nona.

Sin Cie dengar suara anginnya cambuk lemas itu, sambil menoleh ia ulur tangan kirinya, untuk menanggapi, guna lindungi Nona An. Ia berhasil dengan dayanya ini. Justru ia sudah injak tembok, ia segera kerahkan tenaganya, akan tarik cambuk itu.

Beng Go menyerang sambil berlompat maju, tentang gerakannya si anak muda, ia tidak pernah sangka, maka itu, ia kaget tidak terkira ketika cambuknya kena ditangkap dan terus ditarik, percuma ia mencoba akan pertahankan diri, tubuhnya kena tertarik hingga terangkat, hingga kedua kakinya tak menginjak tanah. Maka dengan tergantung sedemikian rupa, tak mampu lagi ia kerahkan tenaganya.

Ngo-yaya ini ingin bikin terang mukanya, ia pasti akan berhasil jika ia sanggup bikin Siau Hui rubuh, siapa nyana, ia justru jadi bertambah malu karena si anak muda pecundangi padanya. Malah dengan tergelantung demikian rupa, ia sekarang terancam bahaya.

Un Beng Sie kuatirkan saudaranya itu, ia ayun tangannya akan terbangkan dua buah goloknya, hingga dengan perdengarkan suara "Swing! Swing!" kedua huitoo menyambar kearah bebokongnya si anak muda. Sie-yaya ini hendak tolongi adiknya, tidak niat ia mencelakai orang.

Melihat ada serangan golok, Sin Cie lepaskan cekalannya kepada cambuk lemas, ia tarik Siau Hui, buat diajak terus lompat turun keluar tembok. Akan tetapi sebuah golok sudah mendekati kakinya, dengan gesit ia jejak itu, hingga golok jadi berbalik, membentur golok yang kedua, hingga dua-duanya lantas jatuh kebawah. Sementara itu Beng Go ada di kaki tembok, kemana ia jatuh tanpa bahaya ketika Sin Cie lepaskan cekalan cambuk. Kapan ia lihat turunnya golok, ia sambar dengan cambuknya, dengan niat dililit. Apamau, selagi ia menyabet, cambuknya itu putus sendirinya, hingga ia jadi kaget. Maka untuk luputkan diri dari sambaran golok, ia rubuhkan diri untuk bergulingan dengan gerakannya "Lay lou ta kun" atau "keledai malas bergulingan". Ia sudah berlaku cepat sekali tetapi tidak urung ujung golok mengenai ujung bajunya hingga baju itu robek. Maka itu, waktu ia bangkit bangun, ia keluarkan keringat dingin, mulutnya ternganga.

Tidak pernah ia sangka, dalam keadaaan seperti itu Sin Cie telah bisa bikin cambuknya tertekuk patah hingga jadi hilang kekuatannya.

Un Beng Tat saksikan itu semua, ia menggeleng-geleng kepala. Lain-lain saudaranya pun heran dan kagum.

"Bocah itu Baru berumur kurang-lebih dua-puluh tahun, umpama kata ia belajar silat sejak dalam kandungan, temponya toh tak lebih dari dua-puluh tahun, maka heran sekali, kenapa dia ada begini liehay?" kata Un Beng Gie si Jie-yaya.

Akan tetapi Un Beng San sangat penasaran.

"Si bangsat Kim Coa ada sangat liehay, dia toh rubuh ditangan kita!" katanya. "Besok malam bocah itu bakal datang pula, besok nanti kita layani dia pula!"

Sampai disitu, keluarga Un itu bubaran, sedang Sin Cie dan Siau Hui dengan tidak kurang suatu apa sudah kembali kepondok mereka dirumahnya si orang tani.

Nona An sangat kagumi ini sahabat sejak kecil, ia memuji tidak putusnya. "Cui Suko biasa puji tinggi gurunya," katanya "tapi aku percaya gurunya itu tak nanti sanggup tandingi kau!"

"Apa sih namanya Cui Sukomu itu?" Sin Cie tanya. "Dan siapakah gurunya?"

Posting Komentar