See Lo Toa heran melihat si pemuda tak rubuh karena pakunya itu, ia pun lihat si anak muda lawannya tercengang; menggunai waktu yang baik itu, ia menimpuk pula dengan lagi tiga batang pakunya.
Un Ceng menjerit bahna kaget karena bokongan tiga batang paku itu, dengan hati terkesiap, ia mendak, untuk menyingkir dari paku yang arah kepalanya akan tetapi dua yang menyambar kebawah, membuat ia bingung. Tak
195 sempat dia berkelit, tak keburu dia menangkis. Justru itu terdengarlah suara nyaring dua kali, seperti barang keras bentrok barang keras, lalu kedua batang paku itu jatuh sendirinya ke lantai perahu sebelum mengenai sasarannya.
Anak muda ini bermata celi, ia dapat tahu, orang yang runtuhkan dua batang paku itu adalah si pemuda yang ia sangka satu anak sekolah belaka. Sebab Sin Cie tak puas See Lo Toa berlaku curang, dengan diam-diam tetapi dengan cepat sekali, dia telah jumput dua batang paku yang jatuh didepannya dan gunai itu untuk punahkan dua serangan yang terakhir dari orang tua itu.
Un Ceng manggut, untuk haturkan terima kasihnya kepada pemuda ini, setelah mana, ia berlompat untuk menyerang lawannya. Ia menjadi sengit karena si orang tua bokong padanya.
Walaupun dia heran atas gagalnya serangannya, See Lo Toa toh tidak alpa, maka itu, begitu diserang, dia sudah siap, malah dengan satu bacokan yang hebat, ia mendahului.
Si anak muda jadi sangat mendelu karena melihat lawan demikian telengas, ia batal menyerang, ia berkelit, Baru ia menyerang pula, dengan dahsyat sekali. Begitulah satu tikamannya mengenai iga kanan See Lo Toa, hingga, bahna sakitnya, orang tua ini tak dapat cekal lebih lama goloknya yang besar. Golok itu terlepas jatuh kelantai perahu.
Masih Un Ceng tidak puas dengan serangan yang kedua yang berhasil ini, justru senjata lawan jatuh, dia lompat mendesak, untuk membacok kaki kanan orang.
"Aduh!" menjerit See Lo Toa, yang segera rubuh dengan pingsan. Orang-orangnya orang she See itu menjadi kaget berbareng gusar, mereka lompat maju untuk menolongi ketua itu, sekalian serang si anak muda.
Dalam sengitnya, anak muda itu tangkis semua penyerang, ia balas menikam dan membabat, hingga lagi tujuh atau delapan orang rubuh karenanya.
Sin Cie jadi tidak tega hati.
"Sudahlah, Un Toako!" ia berseru. "Kasihlah mereka ampun."
Tapi Un Ceng lagi sengit, ia masih melukai dua orang lagi, hingga sisanya yang lain-lain lompat keperahu mereka masing-masing, untuk tolong diri. Tak sanggup mereka melayani si anak muda, yang seperti sudah kalap.
Oleh karena sudah tak ada musuh lagi, tiba-tiba Un Ceng tabaskan pedangnya kebatang leher See Lo Toa, hingga kepala dan tubuh menjadi terpisah, menyusul mana kaki kirinya mendupak, membikin tubuhnya Lo Toa terpental kedalam sungai! Kepala dia ini pun dilempar bersama keair! Tak puas hati Sin Cie akan tampak ketelengasan itu. Dia anggap si anak muda keterlaluan, sebab setelah peroleh kemenangan, tak perlu ia ini berlaku menuruti panasnya hati.
Sementara itu, ketika ia menoleh kepada Liong Tek Lin, Sin Cie dapati saudagar besar ini sedang mendelepok dilantai perahu saking kaget dan takut. Itu ada pemandangan hebat dan mengerikan yang belum pernah ia tampak.
Sisa-sisa orang Liong Yu Pang, yang kabur keperahu mereka, kabur terus bersama masing-masing kendaraannya dengan tinggalkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban pedangnya si anak muda. "Mereka hendak rampas uangmu, mereka gagal, sudah saja," kata Sin Cie kepada si anak muda. "Kenapa kau mesti kurbankan demikian banyak jiwa?"
Un Ceng mendelik kepada pemuda kita.
"Apakah kau tidak lihat bagaimana hinanya sikap mereka barusan?" anak muda ini menjawab. "Mereka bokong aku, mereka mengepung, jikalau aku terjatuh dalam tangan mereka, entah kekejaman bagaimana yang berlebih- lebihan mereka bakal limpahkan atas diriku? Jangan kau anggap, karena kau telah tolongi aku, kau dapat sembarang memberi nasihat kepadaku!"
Sin Cie ketemu batunya, dia bungkam. Melainkan dalam hatinya, dia kata : "Ini anak tidak kenal cenglie dan budi..."
Un Ceng sendiri lantas susut bersih pedangnya, untuk dimasuki dalam sarungnya, setelah mana ia menjura kepada si pemuda. Tiba-tiba dia tertawa manis sekali dan kata : "Wan Toako, kau telah tolong aku, aku berterima kasih kepadamu!"
Sin Cie jengah, toh dia balas hormat itu. Ia manggut dengan tak dapat buka mulutnya. Ia heran orang demikian muda dan lemah lembut sikapnya tapi demikian telengas hatinya, bagaikan serigala atau harimau; tetapi sekarang dia jadi begini manis budi, sejenak saja lenyap kebengisannya itu.
Un Ceng panggil tukang-tukang perahu, jang ia perintah cuci bersih lantai perahu, untuk singkirkan tanda-tanda darah. Semua tubuh musuh telah terjatuh kedalam air, hanyut atau tenggelam.
"Tolong sediakan aku barang makanan," Un Ceng menitah lebih jauh kepada anak-buah perahu, sesudah mana, dia undang Sin Cie dahar dan minum bersama diatas perahu itu sambil gadangi si Puteri Malam jang permai. Sembari bersantap, dia tidak omong tentang pertempuran barusan, dia tidak timbulkan juga soal ilmu silat.
Beberapa cawan air kata-kata telah turun lewat di tenggorokan mereka.
"Besok hari entah jam berapa saja, menghadapi arak menanyakan langit baru, aku kuatir langit biru tak akan memperdulikannya!" kata anak muda ini selagi minum.
Sin Cie heran mendengar orang mendadakan menggunakan kata-kata bentuk sajak, ia menyahuti tetapi dengan "ya, ya" saja dan manggut-manggut.
Dimasa kecil, pemuda ini ikuti Eng Siong belajar surat beberapa tahun, lalu setelah terdidik lebih jauh oleh Bok Jin Ceng, walaupun ia masih gemar membaca, ia tak berkesempatan belajar lebih jauh dengan mendalam, dari itu, ada sangat berbatas pengetahuannya tentang ilmu surat.
"Saudara Wan," berkata pula si anak muda, "rembulan indah, angin sejuk, malam ada begini permai, apakah tak baik kita bersyair saling sambut?"
"Aku tidak mengerti ilmu sajak," sahut Sin Cie dengan cepat.
Un Ceng bersenyum, dia berdiam.
"Mari minum!" demikian undangnya kemudian.
Kendaraan air jalan terus, kedua anak muda itu belum berhenti minum dan makan.
Tiba-tiba terlihat mendatangi sebuah perahu kecil, yang melawan air, akan tetapi pesat lajunya. Un Ceng lihat perahu itu, tiba-tiba wajahnya berubah, lalu ia perdengarkan tertawa dingin beberapa kali, kemudian ia keringi pula cawannya. Perahunya Liong Tek Lin besar dan memakai layar, jalannya menuruti aliran, lajunya sangat pesat, maka itu, selagi perahu kecil pun mendatangi cepat, sebentar kemudian, keduanya sudah saling mendekati.
Sekonyong-konyong Un Ceng lemparkan cawan araknya, tubuhnya turut mencelat, hingga dilain saat, ia sudah sampai dibelakang pada jurumudi. Tanpa kata apa- apa, ia rampas pengayuh kemudi, ia uwit itu, hingga kepala perahu lantas bergeser kearah kiri, menghadapi tepat perahu kecil yang lagi mendatangi itu. Sia-sia saja anak buah perahu kecil egos diri, perahunya sudah ketabrak, hingga terdengarlah satu suara berisik, kepala perahu dongak keatas.
"Celaka!" Sin Cie berseru, bahna kaget.
Tiga bajangan mencelat dari perahu kecil itu, naik keperahu saudagar yang besar. Gerakan tubuh mereka menandakan mereka mengerti ilmu silat baik sekali.
Didalam perahu kecil ada lima orang, kecuali ini tiga, yang berhasil tolong diri, masih ada si jurumudi dan satu anak buahnya, yang mengayuh perahu. Mereka ini tak dapat loncat seperti itu tiga orang, mereka kecebur air sambil menjerit: "Tolong!"
Air dibahagian sungai itu deras sekali, karena kecebur, dua tukang perahu itu lebih banyak menghadapi bencana daripada keselamatan.
"Anak muda ini kejam," pikir Sin Cie, yang terus bekerja. Ia masih sempat lihat kedua tukang perahu timbul pula, mendadak ia putuskan dadung lajar, ia gigit ujungnya, lantas ia menjejak keras, tubuhnya melayang kedalam sungai, tergantung oleh dadung layar itu. Ia gunai kedua tangannya, akan sambar masing-masing satu orang. Sang dadung bawa ia terayun kembali keperahu, bersama dua tukang perahu itu.
"Bagus!" berseru empat orang dengan pujiannya. Mereka ini ada Un Ceng si anak muda dan itu tiga orang yang Baru loncat naik dari perahu kecil, yang menjadi sangat kagum.
Sin Cie letaki kedua orang diatas perahu, lantas ia hampirkan kursinya, akan duduk pula dengan tenang, hingga dengan demikian, ia dapat ketika akan awasi tiga orang asing itu. Yang pertama ada seorang tua diatas usia lima-puluh tahun, tubuhnya kurus kering, kumisnya jarang. Yang kedua, umur empat-puluh lebih, bertubuh besar dan kasar. Yang ketiga ada seorang perempuan umur kurang lebih tiga-puluh tahun.
Sambil tertawa suram, si orang tua kata pada pemuda kita: "Tuan, kau liehay sekali, bolehkah aku tanya she dan namamu yang mulia dan siapa gurumu?"
Sin Cie berbangkit, ia manggut dengan halus.
"Boanseng adalah she Wan," ia menyahut dengan manis. "Kedua tuan ini terancam bahaya, tak tega aku melihatnya, maka itu boanseng telah angkat mereka dari permukaan air. Sama sekali tak berani boanseng sengaja banggakan kepandaian dihadapan locianpwee, maka mohon locianpwee maafkan."
Orang tua ini heran menampak pemuda ini demikian halus gerak-geriknya, lalu ia hadapi Un Ceng dan tertawa dingin.
"Tak heran kau, bocah cilik, makin menjadi-jadi nyali besarmu, kiranya kau punyakan pembantu yang begini liehay!" berkata dia, suaranya tajam. "Adakah dia ini sahabatmu yang baik?"
Wajahnya Un Ceng menjadi merah. "Aku pandang kau sebagai orang tertua jang dihormati, aku minta sukalah kau hargai sedikit dirimu!" ia menegur.
Hatinya Sin Cie tak enak.
"Nampaknya mereka bukan orang-orang baik-baik, tak dapat aku antap diriku terseret kedalam arus mereka," ia berpikir. Karena ini, ia lantas kata pada si orang tua: "Aku dan saudara she Un ini tak kenal satu dengan lain, secara kebetulan saja kami bertemu disini, jadi tak ada bicara hal persahabatan diantara kami berdua. Ingin aku mengucapkan sepatah dua patah kata, jikalau ada urusan diantara kamu berdua pihak, baiklah itu didamaikan agar kerukunan tak sampai terusak..."
Belum sempat si orang tua menyahuti, atau Un Ceng, dengan matanya mendelik, berkata pada pemuda kita : "Jikalau kau takut, pergilah kau naik kedarat!"
Sin Cie berdiam, tetapi didalam hatinya, dia kata : "Belum pernah aku menemui orang kasar semacam dia ini!"