Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 50

NIC

" "Tambah sedikit juga tetap kukerjakan, tidak tambah gaji juga kukerjakan, satu peserpun aku tidak minta, cukup memberi makan tiga kali dan menghargai kepribadian Jilengcu, maka cara kerjaku pasti lebih giat." "Apa katamu?" Soat Koh menegas, hampir2 ia menyangsikan telinganya sendiri.

"Kubilang, jika kau menghargai diriku, upah menjadi kusir ini tidak perlu bayar sepeserpun, aku hanya kerja bakti bagimu, cukup kau beri makan tiga kali, memberi kesempan tidur yang cukup,kukerja dengan gratis." Soat Koh benar2 tidak percaya kepada telinganya sendiri, ia melenggong sejenak.

tanyanya kemudian: "Jika begitu, tidakkah kau gagalkan rencanamu sendiri?" Seketika Peng say tidak paham arti ucapan si nona.

tanyanya dengan suara keras: "Rencana apa maksudmu?" "Bukankah sudah kau rencanakan, setelah bekerja setengah tahun, upah yang kau tabung itu akan kau gunakan untuk kawin?" Baru sekarang Peng-say ingat kepada bualannya tempo hari, ia ter-bahak2.

Katanya kemudian: "Ah, ucapanku itu hanya untuk main2 saja.

Sekarang setelah kutahu nona bukan maling sembarang maling, asalkan tenaga Jilengcu dapat nona pakai, masa perlu kubicara tentang upah segala" Yang nona laksanakan ini adalah tugas suci, usaha sosial.

bila Jilengcu dapat ikut mengabdi bagi kebaikan sesamanya, jangankan soal upah, seumpama ketemu sasaran besar dan nona mendadak memerlukan tenaga sambilan, dengan suka hati juga akan kubantu." Mau-tak-mau Soat Koh meng-angguk2 akan keluhuran budi orang, katanya: "Jilengcu, sungguh tidak pantas pernah kumaki kau mata duitan." "Ah.

tidak apa2, sama2," jawab Peng-say.

"Semula aku tidak tahu duduknya perkara, aku menyesal karena gadis cantik macam kau sudi menjadi maling.

maka ku-olok2 kau sehingga nona menangis, sungguh akupun menyesal." "Sayang aku bukan lelaki, kalau tidak, sungguh kita layak menjadi sahabat karib." "Lelaki dan perempuan kan juga boleh bersahabat karib?" "Boleh sih boleh., cuma .

..cuma agak kurang leluasa," kata Soat Koh.

"Eh, lain kali, jika operasi lagi, kau masuk, aku jaga di luar, kupercaya kita pasti dapat bekerja sama dengan baik." "Huh, justeru kukuatir kau bicara lain di mulut lain di hati.

Kebanyakan lelaki tidak mempunyai Liangsim (hati nurani yang baik)." "Ah, berdasarkan apa kau omong begini?" "Sembilan di antara sepuluh lelaki kalau melihat untung lantas lupa budi, betapapun si perempuan baik padanya, bila melihat sesuatu yang menguntungkan, dia tidak segan2 untuk mencaploknya sendiri, sampai membunuh teman perempuannya juga tidak sayang2 lagi" "Aku tidak percaya didunia ada lelaki sekejam ini.

Kukira cara bicara nona agak terlalu berlebihan," demikian Peng-say berusaha membela kaum lelaki.

"Kau tidak percaya?" tanya Soat Koh dengan gemas.

"Di dunia ini justera ada lelaki yang demikian.

Akan kuberi suatu contoh, pernah ada seorang she ...

" mendadak ia ingat Peng-say mengaku she Tio, maka ia lantas bertanya: "Eh, gurumu she apa?" "She Tio," jawab Peng-say dengan jujur.

Air muka Soat Koh seketika berubah hebat, tanyanya pula: 'She Tio" Dan siapa namanya?" Peng-say merasakan sikap si nona yang rada aneh itu, ia tidak berani lagi mengaku terus terang bahwa gurunya bernama Tio Tay-peng, maka dengan tertawa ia menjawab: "Guruku bernama Tio lotoa!" "Huh, setiap orang she Tio pasti bukan manusia baik2," dengus Soat Koh.

"He.

apakah termasuk aku Tio-jilengcu?" tanya Peng-say.

"Kukira tidak semua orang she Tio sebusuk apa yang kau bayangkan.

Setidaknya aku pasti bukan orang busuk yang kau sangka itu." "Hm, memang enak didengar ucapanmu," jengek Soat Koh.

"Kau tahu, ada seorang she Tio yang keji, demi mengangkangi satu jilid kitab pusaka, dia tega membuntungi sebelah lengan seorang perempuan yang mencintai dia." "Hah, masa betul?" tanya Peng-say dengan suara agak gemetar.

"Masa aku omong kosong?" seru Soat Koh dengan gemas.

"Biar kukatakan terus terang, perempuan yang malang itu bukan lain ialah guruku." "Kemudian bagaimana dengan orang she Tio itu?" tanya Peng say.

"Dia juga tidak menarik keuntungan dari perbuatannya itu, kamudian lengan kanannya juga dibuntungi oleh guruku." "Dan kitab pusaka itu?" "Dia mengira kitab pusaka ilmu pedang itu akan dapat dikangkanginya, dia tidak tahu bahwa kitab itu terdiri dari dua jilid, yang diperolehnya tidak lebih hanya setengah bagian saja." "O, jadi yang setengah bagian tetap diperoleh gurumu, bukan?" "Untung sebelumnya Suhu menyimpan setengah bagian kitab itu di dalam baju dan asyik membaca setengah bagian yang lain.

Orang she Tio itu cuma memikirkan kitab yang dipegang guruku, pada saat guruku lengah.

sekali tabas dia menguntungi lengan kiri guruku.

Tak disangkanya bahwa kitab itu masih ada setengah bagian lagi.

Jika tahu, mungkin dia takkan mengampuni jiwa guruku." "Kitab pusaka macam apakah sehingga menimbulkan angkara-murka orang she Tio itu"' tanya Perg-say.

Soat Koh bermaksud menerangkan, tapi mendadak teringat olehnya peringatan sang guru yang mengatakan: "Jangan mempunyai pikiran mencelakai orang lain, tapi harus punya pikiran menjaga kemungkinan dicelakai orang lain." Karena itulah ia menjadi urung bicara.

Pikirnya: "Tahu orangnya, tahu mukanya, tapi sukar mengetahui hatinya.

Meski Jilengcu ini kelihatan orang baik, tapi siapa berani menjamin hatinya takkan berubah dan mencelakaiku bila dia mendengar tentang Siang-liu kiam-hoat?" Padahal Peng-say tentu saja tahu kitab yang dimaksudkannya adalah Siang-hu-kiam-boh, kalau si nona tidak mau bicara terus terang, maka iapun tidak perlu tanya, hanya bila teringat sang guru ternyata seorang berhati sekeji itu, tanpa terasa timbul rasa sedihnya.

Karena sama2 menanggung pikiran, kedua orang tidak bicara lagi.

Siangnya mereka istirahat di suatu kota Kecil dan makan sekadarnya, lalu melanjutkan perjalanan, Soat Koh tidak menjelaskan hendak pergi kemana, menurut pikiran Peng-say, "sudah tentu semakin jauh meninggalkan Pakkhia semakin baik bagi si nona.

Jika nona itu tidak minta diantar kesesuatu tempat, biarlah kuhalau kereta ini menurut pikiranku sendiri." Dengan sendirinya tempat yang dituju Peng-say adalah lautan di timur sana, untuk ke sana harus melalui pantai Soatang.

Maka Peng-say terus membedal kudanya ke perbatasan Hopak dan Soa-tang, menjelang magrib keretanya sudah masuk di wilayah Soatang.

Mendadak Soat Koh membuka jendela depan dan berkata kepadanya: "Celam adalah kota besar di propinsi Soatang, bolehlah kita bermalam disana, esok kita dapat menjual ketujuh benda pusaka ini." Pada waktu hari mulai gelap, kereta merekapun memasuki kota Celam.

Esoknya Soat Koh menjual ketujuh benda pusaka itu kepada seorang saudagar besar dengan nilai sepuluh laksa tahil.

Selama tiga malam ber-turut2, Soat Koh dan Peng-say mem-bagi2kan kesepuluh laksa tahil perak itu kepada kaum miskin di dalam maupun di luar kota Celam.

Kaum jembel yang menerima berkah itu tidak tahu akan kedatangan tamu yang tak diundang itu.

tahu2 paginya mereka melihat di rumahnya telah bertambah sebungkus uang perak.

Keruan mereka kegirangan.

Mereka tidak tahu siapakah yang memberi sedekah, hanya dari bungkusannya terlihat gambar seekor burung berwarna seputih salju.

Ada diantara penerima berkat itu mengenali burung itu adalah Soat-koh yang suka pada salju, hanya di musim dingin dan turun salju saja burung itu terlihat.

Karena itulah mereka lantas menyebut si pemberi berkat sebagai "Soat Hiap" atau pendekar salju.

Tiga hari kemudian, selesailah Soat Koh dan Peng-say membagikan harta karun itu.

Nama "Soat Hiap" segera menggemparkan seluruh kota Celam, di-mana2 orang membicarakan tokoh "Soat Hiap" yang misterius itu, semuanva bilang "Soat Hiap" adalah Koan-im Hudco yang turun dari langit untuk menolong kaum penderita.

Tentu saja Soat Koh sangat senang mendengar berita yang ramai tersiar itu Dilihatnya masih ada sebagian kaum miskin yang belum mendapatkan bagian sedekah ia lantas berunding dengan Peng-say untuk beroperasi di Celam agar segenap kaum Miskin itu dapat menerima berkatnya secara merata.

Akan tetapi Peng-say tidak setuju.

katanya: "Tujuan kita adalah menolong kaum miskin untuk itu jangan kita berbalik membikin susah kepada mereka.

Coba kau pikir, kita beroperasi kota ini, lalu hasil curian kita itu dibagikan kepada orang miskin di kota ini pula, apabila diselidiki diusut oleh pihak yang berwajib, bukankah si miskin yang menerima sedekah itu berbalik masuk penjara" Jika terjadi demikian, orang miskin itu tidak lagi berterima kasih padamu, sebaliknya akan menganggap kau ini maling sialan yang suka bikin susah orang." Soat Koh pikir pendapat Peng-say itu memang beralasan.

dengan tertawa ia lantas berkata: "Jika demikian, biarlah kita beroperasi di kota lain.

lalu kita angkut hasil curian kita ke sini untuk disebarkan kepada kaum miskin yang memerlukannya." "Maling juga mesti pegang etiket, perbuatan merampas milik orang kaya untuk diberikan kepada kaum miskin ini juga harus mencari sasaran yang tepat, harus kita selidiki dulu orang kaya yang pelit dan kejam, apakah sudah kau selidiki hal ini?" "Untuk apa main selidik segala" Asalkan orang kaya pasti pelit dan tidak berbudi, kita datang saja ke kota lain dan mencari sasaran yang kaya, kan beres?" "Salah jalan pikiranmu ini," kata Peng-say, "Hendaklah maklum, tidak semua orang kaya itu jahat.

Ada sementara orang itu berusaha secara jujur.

Posting Komentar