Mutiara Hitam Chapter 46

NIC

Berkali-kali Kwi Lan menghibur.

"Aihhh.., bukan main.."

Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi cukup jelas. Kwi Lan cepat menoleh keluar, akan tetapi tidak tampak ada orang di luar. Suara tadi datang dari luar, ataukah.. dari pengemis yang tertidur tadi? Akan tetapi bukan, karena telinganya yang tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis itu yang halus dan panjang, napas orang sedang tidur. Ia menoleh ke arah dalam di mana kakek yang mengurus warung itu sibuk membersihkan dapur. Tidak ada orang lain kecuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan lagi. Mungkin suara orang di luar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya dengan dia. Siangkoan Li menghela napas panjang.

"Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi, mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi insyaf akan kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi sudi menyerah dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku akan berusaha mengangkat kembali nama baik Thian-liong-pang seperti yang telah kuusulkan. Akan tetapi.."

Ia menundukkan muka dengan sedih.

"Mengapa lagi? Apa yang menjadi halangan?"

"Selama dua tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng. Dengan sendirinya aku telah menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh jahat. Lebih dari itu, kedua orang Guruku pun ternyata bukan orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku? Kurasa usahaku untuk menghimpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil."

Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biarpun ia kurang pengalaman, namun ia seorang gadis yang cerdik. Ia dapat mengerti keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran pendapat itu. Selagi ia hendak menjawab dan menghibur, tiba-tiba terdengar suara halus namun keren dan penuh teguran.

"Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan menggunakan kekerasan"

Kwi Lan cepat menoleh dan tampaklah lima orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima orang hwesio yang kelihatannya bersikap agung, alim, akan tetapi juga berwibawa. Apalagi yang memimpinnya. Dia seorang hwesio tua yang berjenggot panjang dan putih, matanya bersinar halus namun amat tajam. Empat orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya dan sikap mereka hormat, menanti perintah. Mereka berlima semua membawa pedang.

"Celaka, mereka adalah hwesio-hwesio Lu-liang-pai.."

Bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan melangkah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri paling depan.

"Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh dua orang suhu dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi memaafkan karena hal itu teecu lakukan secara terpaksa ketika teecu ingin berjumpa dengan kedua orang Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Lu-liang-pai."

Siangkoan Li yang mengenal kesalahannya dan kini sedang dalam usaha "memperbaiki jalan hidup"

Mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga diam-diam Kwi Lan mendongkol.

"Omitohud.. baik sekali kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu. Sayang, bukan hanya itu saja kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada kami. Beberapa tahun yang lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah larangan, lebih dari itu, malah tanpa ada yang mengetahui kau telah menjadi murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang menjadi perkumpulan jahat semenjak Ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang paling besar dan untuk itu pinceng dan para anggauta Lu-liang-pai sudah cukup untuk menghukummu. Sekarang, semua dosa ini ditambah dengan pelanggaran ke dalam kuil dan merobohkan dua orang murid kami. Siangkoan Li, hayo lekas berlutut dan menerima hukuman di kuil kami."

Siangkoan Li menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut pedang Siang-bhokkiam. Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah hwesio-hwesio itu.

"Hwesio-hwesio gundul sombong. Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian berhak apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa-dosanya? Apakah kalian ini hakim? Ataukah dewa-dewa yang menentukan dosa tidaknya manusia?"

Para hwesio itu nampak kaget, bahkan ada di antara mereka mencabut pedang siap menanti komando. Akan tetapi hwesio tua itu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata.

"Omitohud.. Nona muda siapakah? Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok Hwesio Ketua Lu-liang-pai sama sekali belum pernah bertemu dengan Nona. Nona murid siapakah?"

"Hwesio tua, tak perlu aku memperkenalkan diri. Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li yang tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak mengadili dia. Kau tidak berhak"

"Ah, mengapa semuda ini Nona juga tersesat ke dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya (Buddha) membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini adalah karena kami mengingat akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami menganggap Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak membawanya ke kuil dan memberi hukuman yang layak. Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm.. agaknya pinceng tidak akan berlaku selunak ini."

Siangkoan Li membuang muka dan mengerutkan keningnya. Ia menjadi makin berduka, diingatkan betapa ayahnya seorang yang dihormati dan dijunjung tinggi dunia kang-ouw, sebaliknya dia, putera tunggalnya, hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.

"Tua bangka gundul. Kau bicara seolah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di dunia ini. Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong membunuh ketua kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri paling suci, paling bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang kalian pandang orang-orang berdosa. Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa untuk menentukan nasib manusia lain, menghukum dan menganggap mereka berdosa. Pantas kalian hendak dibasmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang benar-benar suci dan mulia, tentu kalian sudah mampus semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah akan mati dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci anggapan sendiri, mau masuk neraka tak diterima pula karena pada lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu"

"Kwi Lan, jangan.."

Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan meloncat ke depan gadis itu, mencegah gadis itu menggerakkan pedang. Kemudian Siangkoan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio dan berkata.

"Thaisu, dan para Suhu semua, dengarlah. Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama Ayahku yang sudah tidak ada. Semua perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri. Aku tidak merasa berdosa terhadap Lu-liang-pai, setelah kini kupikir baik-baik. Pelanggaran itu bukanlah dosa. Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan perlu dihukum, boleh. Aku bersedia melayani kalian, akan tetapi aku tidak mau dihukum. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh. Biarlah aku melakukan apa yang dahulu kedua orang Suhuku Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu memberi hajaran kepada kalian orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci. Nah, silakan"

Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan berani melawan dan mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang hebat itu, ia meragu. Apalagi di situ terdapat nona muda yang galak ini, yang tentu bukan orang sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu. Andaikata dia mampu mengalahkan dan menangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar oleh dua orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka akan bangkit dan jangan-jangan mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi Lu-liang-pai? Bantuan Bu Kek Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena di mana adanya kakek itu tak seorang pun manusia mengetahuinya.

"Omitohud.., Maksud pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti kami menolong jiwa Siangkoan-kongcu dam berarti pula kami tidak melupakan persahabatan kami dengan Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan sesat terus, kami pun tidak bisa berbuat sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu sebagai musuh, bukan sebagai putera sahabat lagi."

Ia menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus.

Posting Komentar