Mutiara Hitam Chapter 44

NIC

"Terserah, tiga kali juga baik."

Kata Bu Kek Siansu tenang.

"Kau tidak boleh menangkis"

Kata pula Lam-kek Sian-ong.

"Dan tidak boleh mengelak"

Sambung Pek-kek Sian-ong.

"Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi."

Siangkoan Li dan Kwi Lan yang semenjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini, menjadi kaget sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan mereka saja tadi sudah menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek yang sudah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak maupun menangkis? Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li sudah duduk di dekatnya sambil memandang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus dan lemah itu.

Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu tadi, mulailah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan. Ia semenjak kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri membersihkan dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan? Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti yang dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya. Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dahsyat menyambar.

"Desss.."

Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-goyang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis maupun mengelak. Pukulan yang amat keras dan menggeledek.

"Ang-bin Siauwte, bergantian"

Teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju. Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengatur pernapasan. Ia tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam. Dengan bergantian, ia mendapat kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam ia kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti memukul sekarung kapas, tenaganya amblas kemudian membalik. Sungguh hebat.

Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan Lam-kek Sianong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang, kakek bermuka pucat ini memukul dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Imkang.

"Cesss.."

Kembali tubuh Bu Kek Siansu tergetar bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapapun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat. Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukan main. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasannya.

Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah bersepakat untuk melakukan pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng. Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam penggunaan tenaga panas, sedangkan sebaliknya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mempergunakan tenaga dingin.

Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat mengatur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pukulan itu? Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan pemukulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua renta itu tentu akan terpukul mati.

"Bresss.."

Hebat bukan main pukulan yang dilakukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sian-ong menampar lambung dalam saat berbareng.

Tubuh Bu Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang-khim di punggungnya ternyata telah remuk. Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan dinding batu di mana ia

terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu. Senyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang.

Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah mempergunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka sendiri. Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan.. mungkin juga menyeret mereka berdua ke lubang kuburan. Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak berlaku nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang berdiri dengan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.

Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.

"Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi.."

Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menudingkan telunjuknya dan berkata,

"Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali"

Mana ada aturan memukul seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan macam apa yang kalian perlihatkan ini?"

Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sianong terkejut. Mereka tidak mengira bahwa semua yang terjadi itu telah disaksikan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri urusan ini bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada tangan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan terakhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang telapak tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu mereka lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di jalan.

"Pergilah kalian"

Bentak Lam-kek Sian-ong. Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka dapat mengerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa.

Angin pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan keluar, bahkan ketika mereka mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka salurkan. Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok. Benar-benar, pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyentuh tubuh mereka, tentu maut akan datang merenggut nyawa. Akan tetapi, tiba-tiba mereka merasa ada tangan menyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan, sebelum tangan kedua orang kakek itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan kedua kakek itu berseru keras lalu roboh terjengkang.

"Minggirlah, anak-anak"

Terdengar bisikan dari belakang dan Kwi Lan berdua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan kelihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke depan.

Kedua orang kakek itu sudah meloncat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mulailah terbuka mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan dan mengandalkan kepandaian sendiri. Sinar mata mereka mulai melunak, tidak seliar biasanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.

"Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi."

Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguhpun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik keluar dari mulutnya. Kalau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas. Menyaksikan keraguan mereka, Bu kek Siansu berkata lagi,

"Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi merasa menyesal? Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biarpun kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua."

Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju dan Lamkek Sian-ong berkata,

"Masih sekali pukulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu"

"Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri"

Kata pula Pak-kek Sian-ong. Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.

"Dukkk.."

Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu dengan tubuhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali.

Posting Komentar