“Wuuuuttt…… blarrrrr……!” Tubuh tiga orang ketua Pek-lian-kauw itu terdorong ke belakang, terjengkang roboh bergulingan!
Masih untung bagi mereka bahwa Kam Ki tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena kalau demikian halnya, mereka tentu tewas. Kini mereka hanya merasa dada mereka sesak karena tenaga sendiri yang dipaksa membalik.
Setelah terengah-engah sejenak, mereka merangkak bangkit dan menghampiri Kam Ki. Mereka bertiga takluk karena yakin benar bahwa pemuda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkat mereka. Mereka bertiga lalu memberi hormat dengan membungkuk dalam dan Ang-bin Moko sebagai pemimpin pertama, lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua aggauta.
“Kami bertiga setuju mengangkat engkau menjadi ketua cabang Pek-lian-kauw di sini!”
Mendengar ini Kam Ki tersenyum. “Terima kasih, aku akan memimpin kalian dan menjadikan perkumpulan ini menjadi besar dan jaya!” Kemudian dia menghadapi para anggauta yang sekitar limapuluh orang itu dan berkata kepada mereka. “Apakah kalian semua setuju kalau aku, Thio Kam Ki, menjadi pangcu (ketua) kalian?”
Karena melihat tiga orang pimpinan mereka kalah dalam pertandingan dan tadi Ang-bin Moko mengakui pemuda itu sebagai ketua, semua anak buah itu berseru riuh rendah.
“Setujuuuu……!”
Ang-bin Moko berseru kepada mereka. “Mari beri hormat kepada Thio Kam Ki, ketua kita yang baru!” Mendengar ini, semua anggauta menjatuhkan diri berlutut menghadap Kam Ki. Pemuda ini bertolak pinggang dan tersenyum gembira. Tiba-tiba saja dia mendapatkan kedudukan sebagai ketua dan dihormati banyak orang! Dia merasa bangga sekali. Sekarang dia mempunyai tempat tinggal dan banyak anak buah.
Demikianlah, sejak hari itu Kam Ki menjadi ketua cabang Pek-lian-kauw. Setelah dia menjadi pemimpin, Pek-lian-kauw semakin berani melakukan kejahatan, bahkan pernah Kam Ki memimpin tiga orang pembantunya untuk mencuri dan menguras habis harta dari gedung seorang hartawan dan seorang pembesar di kota Kong-koan. Dia memberi tugas pula kepada Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko untuk merampok patung emas Kwan-im Pouwsat yang berada di kuil Ban-hok-si di dekat kota Ki-lok setelah dia mendengar bahwa patung itu selain terbuat dari emas, juga merupakan benda bersejarah yang amat berharga.
Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko lalu mengajak Ban Kit, Li Hoat, dan Souw Ban Lip, tiga orang tokoh jahat yang masuk menjadi anggauta cabang Pek-lian-kauw. Lima orang ini pergi ke Kuil Ban-hok-si dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, di kuil itu mereka dihalangi oleh Hartawan Ui, yaitu Ui Cun Lee dan dua orang puteranya, Ui Kiang dan Ui Kong yang dibantu oleh Ong Siong Li dan Lim Bwe Hwa. Seperti telah kita Ketahui, ketika melindungi Ui Kiang, Hartawan Ui tewas oleh pedang Pek-bin Moko yang tadinya ditujukan kepada Ui Kiang. Terjadilah perkelahian seru antara Ui Kong, Ong Siong Li, dan Lim Bwe Hwa melawan lima orang Pek-lian-kauw itu. Akhirnya empat orang penjahat, yaitu Hek-bin Moko, Li Hoat, Souw Ban Lip, dan Ban Kit tewas. Akan tetapi Pek-bin Moko yang membunuh Hartawan Ui dapat melarikan diri sambil menggondol patung emas Dewi Kwan Im.
Setelah Pek-bin Moko kembali ke sarang Pek-lian-kauw, Kam Ki memarahinya! “Sungguh tolol!” dia memaki marah kepada Pek-bin Moko yang hanya menundukkan mukanya. “Biarpun patung emas ini dapat kaubawa pulang, akan tetapi kita kehilangan Hek-bin Moko ditambah tiga orang lagi. Empat orang pembantuku ditukar sebuah patung emas. Ini rugi besar namanya!”
“Harap pangcu (ketua) suka memaafkan sute Pek-bin Moko,” kata Ang-bin Moko membela adik seperguruannya. “Menurut ceritanya tadi, dia dan sute Hek-bin Moko dan tiga orang pembantu bertemu dengan tiga orang pendekar yang lihai. Tentu saja hal ini tidak disangka-sangka sebelumnya.”
Kam Ki menganguk-angguk, melihat kebenaran dalam pembelaan Ang-bin Moko. “Hemm, siapakah tiga orang muda itu? Kalau engkau tahu siapa mereka dan di mana tempat tinggalnya, aku akan membunuh mereka!” Dia berkata penasaran karena dia kehilangan empat orang pembantunya yang dapat diandalkan.
“Perkelahian itu terjadi tiba-tiba di antara banyak orang yang mengunjungi kuil sehingga kami tidak mempunyai kesempatan untuk saling bertanya nama, pangcu,” kata Pek-bin Moko. “Mereka adalah seorang gadis cantik yang pandai menggunakan senjata rahasia jarum dan permainan pedangnya mengeluarkan suara seperti suara kumbang terbang. Yang dua lagi adalah dua orang pemuda tampan, yang seorang bertubuh pendek dan seorang lagi tinggi tegap.”
“Hemm, kalau tidak mengetahui namanya, bagaimana aku dapat menemukan mereka?” kata Kam Ki penasaran. “Harap pangcu tidak khawatir,” kata Ang-bin Moko.” Saya dapat memastikan bahwa tanpa mencari merekapun, pangcu akan dapat berhadapan dengan mereka. Menurut cerita sute Pek-bin Moko tadi, dia telah membunuh ayah pemuda itu. Maka, besar sekali kemungkinan mereka bertiga akan datang ke sini untuk mencari sute Pek-bin Moko. Sute Hek-bin Moko tewas dan tentu mereka akan dapat melihat baju dalam Hek-bin Moko yang bergambar bunga teratai sehingga mereka akan dapat mengetahui bahwa sute Pek-bin Moko adalah seorang dari Pek-lian-kauw. Maka, tentu mereka akan mengejar ke sini!”
“Bagus!” seru Kam Ki. “Biarkan mereka datang, akan kubinasakan mereka bertiga!”
“Akan tetapi, pangcu,” kata Pek-bin Moko, “gadis pendekar itu, ia cantik jelita seperti bidadari!”
Si muka putih ini sudah tahu akan kesukaan ketua baru itu karena setelah menjadi ketua di situ, tiada hentinya Kam Ki mengumbar nafsunya dengan wanita-wanita cantik. Dia mendapatkan mereka dengan bujukan maupun dengan paksaan, dan setelah satu dua bulan dia menjadi bosan lalu wanita itu diusirnya dan dia mencari penggantinya! Maka, mengetahui akan kesukaan ketuanya ini, Pek-bin Moko menceritakan tentang kecantikan Lim Bwe Hwa.
Wajah Kam Ki berseri. “Begitukah? Bagus, kalau begitu, setelah mereka bertiga muncul, biarlah aku sendiri yang akan menghadapi gadis itu dan menangkapnya, ha-ha-ha!”
Mulai hari itu, Kam Ki memerintahkan para anggautanya untuk siap siaga dan penjagaan dilakukan secara ketat siang malam agar segera dapat diKetahui kalau tiga orang musuh itu datang. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko yang me-mimpin para anggauta itu. Kam Ki sendiri santai saja karena kesombongannya membuat dia meremehkan siapa saja dan memandang rendah tiga orang yang berani memusuhi Pek-lian-kauw dan telah membunuh seorang pembantunya, yaitu Hek-bin Moko.
Pek-hwa Sianli merasa sakit hati sekali terhadap Thio Kam Ki. Sekali ini baru Pek-hwa Sianli merasakan bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Thio Kam Ki. Bukan sekadar melampiaskan berahi seperti selama ini ia lakukan terhadap para pemuda lain. Ia merasa kehilangan, kesepian dan dunia kehilangan keindahannya setelah hatinya menjadi sakit karena ulah Kam Ki. Ia tahu benar bahwa Kam Ki adalah seorang perjaka yang masih hijau ketika pertama kali bertemu dengannya. Akan tetapi, baru tiga bulan saja mereka bermesraan, tiba-tiba ia memergoki pemuda itu bermain gila dengan dua orang pembantunya!
Biarpun ia telah membunuh A-kui dan A-hui, namun hatinya menjadi semakin sakit melihat Kam Ki minggat meninggalkannya. Ini berarti bahwa pemuda itu tidak cinta padanya. Dan inilah yang menyakitkan. Timbul rasa bencinya terhadap pemuda itu. Ia ingin membunuhnya, akan tetapi iapun tahu benar bahwa tidak mungkin ia dapat melakukan ini karena tingkat kepandaiannya kalah jauh dibandingkan kepandaian Kam Ki.
Kini ia tinggal seorang diri dalam pondoknya di lereng Bukit Ayam Emas itu. Kam Ki telah minggat. Dua orang pembantunya telah tewas dan dikuburkan di kebun belakang pondok. Selama belasan hari Pek- hwa Sianli duduk melamun, makan tidak enak dan tidur tidak nyenyak. Kalau ia mengenang kehadiran Kam Ki di pondok itu, hatinya dipenuhi rasa rindu dan sekaligus dendam! Nafsunya untuk mencari pemuda-pemuda kini juga hilang bersama hilangnya Kam Ki.
Pagi hari itu kembali Pek-hwa Sianli melamun. Ia duduk di atas bangku yang berada di serambi depan. Tiba-tiba ia melihat dua sosok bayangan orang berkelebat memasuki pekarangan pondok itu. Ketika ia memperhatikan, ternyata ada dua orang gadis telah berada di pekarangan dan kini berjalan menghampirinya sambil tersenyum manis. Wajah Pek-hwa Sianli yang tadinya muram, kini berubah dan bagaikan kilat sebuah gagasan memasuki pikirannya. Mereka inilah yang akan mampu membunuh Kam Ki!
Dua orang gadis itu pasti akan membuat siapa saja yang melihat mereka menjadi kagum dan heran. Kagum karena mereka berdua memang cantik manis, berusia kurang lebih sembilanbelas tahun, berpakaian ringkas dan di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Kulit mereka putih mulus, rambut yang hitam panjang itu digelung dengan model gadis kota, pakaian mereka juga rapi walaupun tidak mewah.
Wajah bulat telur itu manis sekali, dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan mulut menggairahkan. Yang mengherankan orang adalah karena keduanya itu persis sama. Wajah manis yang sama, bentuk tubuh ramping dengan lekuk lengkung sempurna juga sama, bahkan pakaian juga serupa. Akan sulit bagi orang untuk dapat membedakan antara mereka!
Dua orang gadis itu memang merupakan gadis kembar. Nama mereka adalah Can Kim Siang dan Can Gin Siang dan mereka berdua adalah piauw-moi (adik misan) Pek-hwa Sianli. Sejak mereka berusia sembilan tahun, ayah ibu mereka tewas ketika terjadi perang saudara antara Kaisar Hui Ti dan Pangeran Yung Lo, paman kaisar itu sendiri, yang akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Yung Lo yang kemudian menjadi kaisar (1403-1424). Anak kembar yang yatim piatu itu lalu diajak pergi oleh Pek-hwa Sianli yang menjadi piauw-ci (kakak misan) mereka.
Pek-hwa Sianli mendidik kedua orang adik misannya itu selama tujuh tahun dan karena kedua orang gadis kembar ini memang berbakat baik sekali, maka dalam waktu tujuh tahun boleh dibilang semua ilmu yang dikuasai Pek-hwa Sianli telah ia turunkan kepada dua orang gadis kembar itu. Kemudian, karena dua orang adik misannya itu telah menjadi gadis-gadis berusia enambelas tahun, Pek-hwa Sianli merasa tidak leluasa mempermainkan pemuda. Maka, ia lalu mengirim kedua orang adik kembarnya itu ke Hoa-san untuk berguru kepada Hoa-san Kui-bo (Biang Setan Gunung Hoa-san) yang menjadi bibi gurunya.
Nah, kini tiga tahun telah lewat dan tiba-tiba dua orang gadis kembar itu muncul di pekarangan rumahnya. Dari gerakan mereka yang demikian cepat ketika berkelebat datang, Pek-hwa Sianli menduga bahwa kini tingkat kepandaian kedua orang adik misannya itu tentu telah lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri dan mereka berdualah yang akan mampu membalaskan sakit hatinya!
“Sian-li……” Dua orang gadis itu berseru hampir berbareng. Memang Pek-hwa Sianli sejak dulu minta kepada kedua orang adik misannya itu agar memanggil Sian-li kepadanya.
“A-kim dan A-gin……!” Pek-hwa Sianli berseru gembira dan melompat dari bangkunya menyambut mereka. Ketiganya lalu berangkulan sambil tertawa gembira. Memang ada hubungan karib di antara mereka. Kedua orang gadis kembar itu merasa berhutang budi kepada Pek-hwa Sianli.
“Aduh, kalian semakin cantik saja dan…… dan semakin mirip satu sama lain. Aku sendiri sampai tidak dapat membedakan mana A-kim dan mana A-gin. Coba kalian tersenyum lebar!”
Dua orang gadis itu tersenyum geli dan Pek-hwa Sianli juga tertawa lalu merangkul seorang di antara mereka. “Nah, sekarang aku tahu. Engkau yang A-kim dan ia itu A-gin. Betul, kan?” “Wah, pandanganmu tajam sekali, Sian-li. Bagaimana engkau dapat begitu cepat mengenal kami?” tanya A-kim.
“Mudah saja. Sejak dulu kuKetahui bahwa rahasia perbedaan di antara kalian ada pada gigi. Gigi A-kim agak gingsul (bertumpuk), akan tetapi justeru itu menambah manis!”
Memang benar. Kalau dua orang gadis kembar itu menutup mulut mereka, bahkan Pek-hwa Sianli sendiri yang mengenal mereka sejak kecil dan tinggal serumah dengan mereka selama tujuh tahun, tidak akan mampu melihat perbedaan antara mereka.