Mereka berhadapan dalam jarak empat meter dan kedua pihak terpesona! Kam Ki terpesona karena setelah wanita itu tidak bergerak, baru tampak jelas olehnya betapa cantiknya wajah itu, betapa putih mulusnya kulit yang tampak di leher itu. Putih mulus kemerahan, dengan bentuk tubuh menggairahkan, pinggang ramping, pinggul dan dada menonjol dan lekuk lengkung tubuhnya indah menggairahkan. Sepasang mata itu bersinar seperti bintang dan bibir yang merah basah itu sedikit terbuka, setengah tersenyum menantang, membuat jantung dalam dada Kam Ki berdebar tegang.
Namun kekejaman wanita itu yang membunuh pula dua orang lawan yang sudah roboh tertotok, membuat pemuda itu penasaran. Biarpun hatinya sudah mulai menyeleweng meninggalkan kebenaran setelah dia berguru kepada Hwa Hwa Cinjin, namun belum pernah Kam Ki melakukan pembunuhan, apalagi dengan cara kejam seperti itu. Bagaimanapun juga, sejak kecil dia menjadi murid Leng-hong Hoatsu yang mengajarkan kebenaran. Maka menyaksikan wanita itu membunuhi orang secara kejam, hatinya merasa penasaran dan agak menolak. Akan tetapi di lain pihak, rasanya tidak bisa dia kalau harus marah dan berkata-kata kasar terhadap seorang wanita yang demikian cantik jelitanya!
“Nona, kenapa engkau membunuh mereka? Kenapa?”
Wanita itu juga memandang kepada pemuda tampan itu dengan mata penuh kagum dan bibirnya kini merekah, senyumnya melebar. Wanita itu menggunakan tangan kiri untuk menyentuh setangkai bunga berwarna putih yang menghias rambut kepalanya sebelah kiri seolah hendak melihat apakah hiasan rambut itu masih berada di tempatnya. Pakaiannya yang terbuat dari sutera berwarna putih itu indah sekali, melekat ketat pada tubuhnya karena pakaian dari sutera itu potongannya memang ketat mencetak bentuk tubuhnya.
Ia adalah seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw, berjuluk Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih) karena ia selalu memakai hiasan rambut kembang putih. Biarpun dia dijuluki Sian-li atau Bidadari, agaknya itu hanya untuk menyatakan kekaguman orang akan wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari, juga bentuk tubuhnya yang aduhai! Akan tetapi sesungguhnya wanita yang sudah berusia tigapuluh tahun lebih namun masih tampak seperti baru berusia duapuluh tahun ini terkenal sebagai datuk wanita yang amat kejam dan jahat. Ia adalah seorang iblis betina yang cabul.
Tiga orang itu adalah Siang-to Sam-hengte (Tiga Bersaudara Sepasang Golok), tiga orang pendekar yang suka menentang kejahatan mengandalkan ilmu sepasang golok mereka. Ketika mereka mendengar bahwa Pek-hwa Sianli mengganggu sebuah dusun, menculik pemuda dan kalau sudah bosan lalu membunuh pemuda itu, tiga orang pendekar itu ialu mencari dan menyerangnya. Kalau saja Kam Ki tidak kebetulan lewat dan membantu wanita itu, tentu Pek-hwa Sianli akan tewas oleh pengeroyokan mereka bertiga. Mendengar pertanyaan Kam Ki, Pek-hwa Sianli tersenyum dan matanya memandang penuh daya tarik. “Aih, taihiap (pendekar besar), apakah engkau lebih senang melihat aku yang mereka bunuh?”
Tentu saja Kam Ki gelagapan mendengar jawaban yang berbalik menjadi pertanyaan itu. Dia menggeleng kepalanya. “Tentu saja tidak, nona. Akan tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan mereka dan apakah kesalahan mereka maka engkau membunuh mereka?”
“Jawabannya adalah pertanyaan itu tadi, taihiap yang gagah perkasa. Mereka menyerangku dan hendak membunuhku, karena itulah maka aku harus membunuh mereka karena aku tidak ingin mereka yang membunuhku. Dalam perkelahian mati-matian hanya ada dua pilihan, bukan? Dibunuh atau membunuh, dan kalau engkau yang menjadi aku, engkau pilih dibunuh atau membunuh?”
Mau tidak mau Kam Ki tersenyum. Cara wanita itu bicara, sungguh menarik hati sekali. Bibirnya yang indah manis itu bergerak-gerak menantang! Suaranya juga merdu dan kata-katanya seolah tidak dapat dibantah kebenarannya.
“Tentu saja aku tidak memilih dibunuh!” jawabnya sejujurnya. “Akan tetapi kenapa mereka itu mengeroyokmu dan hendak membunuhmu? Apakah kesalahanmu, nona?”
“Kesalahanku? Aihh, aku tidak melakukan sesuatu yang salah terhadap mereka. Kalau mau dicari kesalahanku, mungkin kesalahanku terletak pada wajah dan tubuhku!”
Setelah berkata begitu, Pek-hwa Sianli mengerlingkan matanya dengan gaya yang menarik sekali. Akan tetapi, pada waktu itu Kam Ki adalah seorang perjaka yang belum pernah bergaul dekat dengan wanita, maka dia belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam gerak dan gaya memikat itu.
“Wajah dan tubuhmu? Kenapa? Aku tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhmu, nona. Apa maksud kata-katamu itu?”
“Aihh, benarkah itu, taihiap? Kau tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhku? Kalau menurut penilaianmu, bagaimana dengan wajah dan tubuhku, taihiap?” Pertanyaan itu disertai gaya menggoda yang memikat dengan gerakan pundak dan dadanya, disertai bibir bawah yang mencebil dan kedipan mata kiri yang penuh arti.
Kam Ki yang sama sekali belum berpengalaman itu hanya tertegun karena terpesona oleh semua kecantikan yang memiliki daya tarik amat kuat itu dan dia menjawab gagap. “Wajah dan tubuhmu……? Ahh....... aku....... aku tidak tahu, wajahmu cantik jelita dan tubuhmu indah. ”
Pek-hwa Sianli tertawa geli sambil menutupi mulutnya. Dari sikap pemuda itu tahulah ia bahwa pemuda yang berilmu tinggi ini sama sekali belum berpengalaman, tentu masih perjaka tulen dan hal ini membuat hatinya seperti terbakar oleh gairah berahi. Pemuda-pemuda perjaka yang pernah ia dapatkan hanyalah orang-orang lemah. Belum pernah ia mendapatkan seorang pemuda perjaka yang memiliki kepandaian tinggi seperti pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya ini.
“Terima kasih atas pujianmu, taihiap. Engkau sendiri, menurut penglihatanku, engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan ganteng, tampan bukan main.” Wajah Kam Ki berubah merah. “Eh…… aku…… aku masih ingin mengetahui apa kesalahanmu terhadap mereka bertiga itu sehingga mereka mengeroyok dan hendak membunuhmu, nona.”
“Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang hendak mereka lakukan setelah mereka melihat kecantikan wajahku dan keindahan tubuhku? Aih, engkau seperti bukan laki-laki saja, taihiap. Mereka bertiga itu tergila-gila kepadaku dan mereka menginginkan tubuhku, mereka ingin memiliki aku. Akan tetapi, huh, tubuhku yang indah ini tidak akan mudah begitu saja kuserahkan kepada sembarang laki-laki yang tidak kucinta! Karena aku menolak mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuh aku. Aku melawan mereka. Bagiku, daripada menyerahkan tubuhku ini kepada mereka, lebih baik aku melawan sampai mati. Untung engkau muncul dan engkau merobohkan dua orang dari mereka dengan sambitan kerikil. Taihiap, engkau yang masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang begini tinggi, engkau telah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Engkau adalah dewa penolongku. Taihiap, bolehkah aku mengetahui siapa nama besarmu?”
Keterangan panjang lebar dari wanita itu tidak sepenuhnya dapat dia mengerti, walaupun dapat dia rasakan. Biarpun dia belum mengalami, namun dia mengerti apa maksud wanita itu ketika mengatakan bahwa tiga orang laki-laki itu ingin memiliki wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah itu. Timbul rasa cemburu dan bencinya ketika dia mengetahui bahwa tiga orang itu hendak memaksakan kehendak mereka, yaitu memiliki tubuh wanita yang menggairahkan ini.
“Hemm, kalau begitu pantas mereka dibunuh!” katanya penuh geram.
Mendengar ini, Pek-hwa Sianli lalu maju menghampiri Kam Ki dan memegang kedua tangan pemuda itu, menggenggamnya erat-erat.
“Ah, taihiap, engkau benar-benar memihakku? Syukurlah, taihiap, aku senang sekali, aku berterima kasih sekali padamu, untuk pertolonganmu dan untuk pengertianmu! Akan tetapi engkau belum memperkenalkan namamu.”
Gemetar kedua tangan Kam Ki ketika dipegang oleh sepasang tangan yang berkulit lunak, halus dan hangat itu. Juga hidungnya mencium keharuman bunga yang semerbak keluar dari rambut dan tubuh wanita itu.
“Aku…… namaku…… Thio Kam Ki. Dan engkau siapakah, nona?” suara Kam Ki juga agak gemetar karena jantungnya berdebar keras. Belum pernah dia berdekatan dengan wanita yang begini cantiknya, apalagi dipegang kedua tangannya.
“Thio Kam Ki? Thio Kam Ki alangkah gagah namamu, Thio-taihiap!” Pek-hwa Sianli memuji. “Dan engkau masih begini muda…… ah, begini muda, seorang perjaka murni……”
Kam Ki kini sudah dapat menenangkan hatinya dan dia menganggap wanita cantik ini lucu sekali. “Ah, nona, usiaku sudah duapuluh dua tahun bukan muda lagi.”
“Duapuluh dua tahun, aih muda belia yang gagah perkasa!” wanita itu berkata lembut, suaranya seperti membelai perasaan hati Kam Ki.
Kam Ki merasa senang, akan tetapi juga geli. “Nona, engkau bicara seolah engkau sudah nenek-nenek, padahal engkau masih remaja, jauh lebih muda dibanding aku.” Wajah wanita itu berseri, matanya bersinar-sinar dan mulutnya terbuka dalam senyum, sehingga tampak deretan giginya yang putih berjejer rapi, rongga mulut yang kemerahan.
“Aihh, Thio-taihiap (pendekar besar Thio), kaukira berapa usiaku?”
“Hemm, paling banyak sembilan belas tahun. Engkau jauh lebih muda daripada aku, nona.”
Wanita itu memandang kepada Kam Ki dengan wajah terbelalak dan tampak girang bukan main. Wanita mana yang tidak akan senang kalau usianya disangka jauh lebih muda daripada yang sebenarnya? Dia sudah berusia tigapuluh tahun, dan disangka baru sembilan belas tahun!
“Aduh! Luar biasa……, luar biasa……, luar biasa sekali, engkau begitu pandai menebak usiaku, twako. Aku boleh menyebutmu Thio-twako (kakak Thio), bu-kan?”
“Tentu saja boleh,” kata Kam Ki yang mulai dapat menguasai debaran jantung-nya dan kini merasa gembira sekali mendapatkan seorang teman yang begini cantik dan menarik, juga ramah sekali. “Akan tetapi, aku belum mengetahui namamu.”
“Namaku, twako? Orang-orang menyebut aku Pek-hwa Sianli.”
“Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih)? Ah, tentu saja karena engkau memakai hiasan rambut setangkai bunga putih dan engkau juga cantik jelita seperti seorang dewi!” Kata Kam Ki, “akan tetapi kalau engkau menyebut aku Thio-twako, lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”
“Sebut saja aku Pek-hwa.”
“Pek Hwa-moi (adik Hwa), ya, aku akan menyebut engkau Hwa-moi.”
“Aku, senang sekali, twako. Akan tetapi bicara di sini tidak enak,” kata Pek-hwa Sianli sambil menuding ke arah mayat tiga orang tadi. “Mari, twako, kuundang engkau singgah di rumahku.”
Kam Ki merasa gembira sekali. Memang dia ingin mengenal gadis jelita ini lebih baik. “Akan tetapi, orang tuamu ” katanya agak ragu.
“Heh-heh, aku tidak mempunyai orang tua lagi, twako. Aku tinggal seorang diri saja, bersama dua orang adik perempuanku, akan tetapi saat ini kedua orang adikku itu sedang melakukan perjalanan jauh. Hanya ada dua orang pelayan yang menemaniku di rumah. Marilah, Thio-twako.”
“Baik, Hwa-moi, akan tetapi aku tadi menunggang kuda.” Dia menengok dan melihat kudanya masih makan rumput. “Di manakah rumahmu?”
“Itu di sana, di lereng bukit.” Pek-hwa Sianli menuding ke arah sebuah bukit kecil di selatan. “Wah, cukup jauh kalau jalan kaki, Hwa-moi.”
“Bukankah engkau mempunyai kuda? Kita dapat berboncengan naik kuda. Ku-lihat kudamu itu cukup besar dan kuat,” kata Pek-hwa Sianli dan suaranya sama sekali tidak mengandung keraguan. Kam Ki yang menjadi merah mukanya. Tak dapat dia membayangkan naik kuda berboncengan dengan seorang wanita!