"Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?"
Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali.
"Pendekar? Aihh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak mudah menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali."
"Ada orang yang lebih pandai dari ibu?"
Tanya anak berusia empat belas tahun itu. Ang Siok Bi tertawa.
"Baru di Bu-tong-pai saja, tingkat ibu paling banyak hanya menduduki ke empat!"
Tiba-tiba wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai?
"Bu-tong-pai?"
Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu. Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menaruh curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata,
"Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin."
Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini.
"Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?"
"Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi."
"Siapa ketuanya, ibu?"
"Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari kong-kongmu sendiri."
"Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?"
"Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja."
Tek Hoat membelalakkan matanya.
"Benarkah, ibu?"
Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini.
"Siapakah mereka yang memiliki kepandaian melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?"
"Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman."
"Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?"
Ibunya tersenyum.
"Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman."
"Pendekar Siluman...."
Tek Hoat berkata perlahan.
"Juga Pendekar.... Super Sakti."
"Pendekar Super Sakti...."
Kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.
"Dia Majikan Pulau Es!"
"Pulau Es.... di manakah Pulau Es itu, ibu?"
"Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di mana letaknya."
"Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di dunia ini?"
"Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?"
"Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!"
"Eh, mau apa kau?"
"Aku mau menantangnya."
"Kau gila?"
"Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Kalau benar demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai."
Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es."
"Akan tetapi aku ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu."
Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.
"Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka yang dapat memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh di sana...."
Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh kekhawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tong-pai? Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!
"Ibu, aku akan pergi sekarang juga."
"Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak."
"Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau menerimaku."
"Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana....?"
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis.
"Ibu, mengapa ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa tanding?"
Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biarpun dengan air mata bercucuran, ibunya membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang menengok ibunya. Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa. Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang kang-ouw yang ditanyanya membelalakkan matanya dengan heran dan takut,
Akan tetapi juga tidak ada yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh seluruh tokoh kong-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai sungguhpun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan lamanya. Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggauta pimpinan Bu-tong-pai yang mewakili ketua menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.
"Hemm, kami tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,"
Seorang di antara mereka, yang berpakaian tosu berkata.
"Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa lagi keturunan dari Ang Siok Bi."
Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya sudah memperingatkannya, akan tetapi dia merasa penasaran dan berkata keras,
"Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua kalian?"
Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
"Tidak ada kakekmu yang menjadi ketua kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini."
Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak dihormati sama sekali, diusir dan dihina!
"Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusat orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!"
"Anak haram!"
Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani membentak, tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat. Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!
"Plak.... brukkk....!"
Tubuh Tek Hoat terbanting keras. Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai sejauh empat meter dimana dia terbanting keras membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!
Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan didorong. Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang, karena pandang matanya berputar, akan tetapi dia bangkit lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.
"Bocah hina, apakah kau ingin mampus?"
Kakek itu berteriak marah. Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.
"Bressss....!"
Kini tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.