"Ya, mempunyai teman pria yang kau sukai, dengan siapa engkau bersendau-gurau, bersenang-senang, bermain-main bersama dan sebagainya."
Ceng Ceng menggeleng kepala dan memandang dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri,
"Betapa anehnya! Dan kukira dara yang hidup bebas di luar, tidak seperti aku yang dikurung di istana, dapat lebih menikmati hidup, dapat memilih pacar dan calon jodoh sendiri...."
"Enci Syanti, apa yang kau bicarakan ini? Aku tidak mengerti."
"Sudahlah, adik Ceng, memang hanya orang yang tidak mengerti itulah yang beruntung, tidak dilanda suka-dukanya. Aku mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi mencubit pahamu?"
"Karena aku masih tidak percaya bahwa aku, seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan Puteri Syanti Dewi, bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku mengira bahwa aku sedang mimpi, maka kucubit pahaku."
"Hi-hik, kau memang lucu! Aku suka sekali padamu, adik Ceng."
"Dan aku.... aku tidak pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku suka sekali padamu."
"Kalau begitu....!"
Puteri itu meloncat.
"Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka lagi. Kau tahu, adik Ceng, aku selalu menangis dan bersusah hati setelah sri baginda memutuskan perjodohanku dengan pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku merasa seolah-olah masa depanku gelap, seolah-olah aku akan dikirim ke neraka. Sekarang ada engkau! Engkau harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus menemani aku, barulah aku sanggup menghadapi kepergian ini!"
"Apa....? Aku....? Ikut bersamamu ke kota raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?"
Jantung di dada Ceng Ceng berdegup keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!
"Maukah engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan kehadiran seorang sahabat, seorang saudara yang kucinta dalam perjalananku yang jauh dan amat menggelisahkan hatiku ini"
Dan puteri itu memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang! Ceng Ceng tersenyum lalu mengangguk kuat-kuat.
"Aku mau! Dengan senang hati, enci Syanti!"
"Adikku....!"
Saking girangnya puteri itu lalu menubruk, memeluk Ceng Ceng dan mencium pipinya. Ceng Ceng membalas pelukan itu dan mereka seperti enci-adik yang mencurahkan perasaan masing-masing yang penuh keharuan, seperti kakak-beradik yang telah lama sekali tidak berjumpa, dan baru sekarang bertemu.
"Akan tetapi bagaimana kalau kong-kong melarangku?"
Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan keadaannya, bertanya ragu.
"Jangan khawatir. Aku akan minta kepada sri baginda agar engkau menjadi pengawal pribadiku, dan perintah ayahku sri baginda tentu akan ditaati oleh kong-kongmu."
Ceng Ceng mengangguk-angguk dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan, kemudian tidur bersama dalam pernbaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali dipakai. Benar saja apa yang dikatakan oleh Puteri Syanti Dewi. Setelah puteri ini menyatakan kehendaknya mengangkat Ceng Ceng sebagai pengawal pribadinya,
Pangeran tua sendiripun tidak berani melarang sehingga Perwira Jayin yang tadinya mendengar akan perbuatan Ceng Ceng dan hendak membawa pulang sumoinya itu, jadi "mundur teratur"
Dan terpaksa dia mengirim laporan kepada suhunya di dusun tentang keadaan Ceng Ceng yang kini diangkat oleh sang puteri menjadi pengawal pribadi, bahkan sudah ditentukan oleh puteri itu bahwa Ceng Ceng akan mengawalnya kalau tiba saatnya dia diboyong oleh rombongan utusan kaisar! Sementara itu, pada malam hari itu juga ketika merundingkan persoalan raja yang terancam bahaya dengan para panglima dan pembantunya, pangeran tua mengambil keputusan untuk mengirim pasukan yang terdiri dari seribu orang perajurit, dipimpin oleh Panglima Jayin sendiri untuk mencari raja dan menyela-matkannya dari ancaman bahaya.
Berangkatlah Panglima Jayin menunggang kuda memimpin seribu orang perajurit itu pada malam hari itu juga. Bhutan bukanlah sebuah negara besar dan karena negara itu selalu berada dalam keadaan aman, jarang sekali dilanda perang, maka tentaranya juga tidak terlatih dan tidak banyak jumlahnya. Kalau sekarang dikerahkan seribu orang pasukan adalah karena mereka hendak menolong dan melindungi raja mereka. Obor-obor dipasang mengiringi keberangkatan barisan itu keluar dari benteng kota raja. Akan tetapi ketika barisan itu tiba di pintu gerbang kota raja, terdengar teriakan penjaga dan Panglima Jayin cepat menengok. Kiranya di antara sinar obor tampak berkelebat bayangan orang yang melompati dinding benteng yang sangat tinggi itu dengan gerakan seperti seorang burung terbang saja.
"Kejar dia! Tangkap! Panah dia!"
Panglima Jayin yang merasa curiga sekali memerintah dengan suara nyaring. Beberapa orang perajurit ahli anak panah sudah menyerang bayangan itu, akan tetapi karena gerakan bayangan itu cepat laksana burung terbang, serangan anak-anak panah itu sia-sia belaka dan dalam sekejap mata saja bayangan itu telah lenyap ke dalam kota raja.
Panglima Jayin mengangkat tangan menahan gerakan barisannya, kemudian mengumpulkan para perwira pembantunya dan menyuruh mereka menahan barisan untuk berhenti di luar tembok kota raja karena dia ada urusan penting. Seorang diri panglima ini lalu membalapkan kudanya kembali ke kota raja, menuju ke istana. Hati Panglima Jayin mulai merasa curiga terhadap para tamu agung, yaitu para rombongan utusan kaisar. Bukankah malapetaka terjadi ketika rombongan itu di Bhutan? Kebetulan sajakah ini, atau ada apa-apa di balik kedatangan rombongan itu? Mereka datang pada saat raja berburu dan rombongan raja dihadang oleh pasukan musuh yang kini dia tahu adalah orang-orang Mongol dan Tibet yang telah lama sering mengadakan gangguan kepada Pemerintah Bhutan.
Orang-orang campuran antara Bangsa Mongol dan Tibet yang sesungguhnya merupakan orang-orang pelarian di negara mereka sendiri ini telah membentuk sebuah perkumpulan besar atau dapat juga dikatakan sebuah "kerajaan"
Kecil, dipimpin oleh seorang tokoh hitam yang kabarnya berasal dari Tiongkok dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, selama ini, karena jumlah mereka tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah barisan Kerajaan Bhutan, gangguan mereka selalu dapat dihadapi dengan kekerasan dan sudah lama mereka tidak pernah terdengar beritanya lagi. Mengapa kini tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu raja yang sedang berburu, tepat ketika rombongan utusan kaisar tiba?
Bayangan yang dilihatnya meloncat seperti terbang tadi memakai kucir, tanda bahwa bayangan itu adalah seorang dari Tiongkok! Kecurigaan hati Panglima Jayin terhadap rombongan utusan kaisar makin besar, maka dia menahan barisannya dan kini dia kembali ke istana untuk menemui mereka, untuk melihat keadaan dan kalau perlu bertindak. Ketika panglima memasuki pintu gerbang istana, menitipkan kuda kepada para penjaga dan dia berlari-lari masuk ke tempat di mana para tamu itu bermalam, ternyata di situ juga sedang dalam keadaan ribut-ribut. Semua tamu itu telah terbangun dan banyak pula para pengawal istana yang berkumpul di situ. Ketika mereka melihat Panglima Jayin, maka segera menyambutnya dan kepala pengawal kaisar yang memimpin rombongan utusan kaisar itu dengan langkah lebar menghampiri Jayin dengan muka merah dan alis berkerut.
"Apa yang telah terjadi?"
Tanya Jayin dengan pandang mata penuh selidik kepada pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu. Pengawal ini ini bernama Tan Siong Khi, ketika mendengar pertanyaan Jayin dia memandang tajam dan berkata,
"Seharusnya kami yang mengajukan perta-nyaan ini, panglima!"
Jayin mengerutkan alisnya, terheran akan tetapi juga tidak senang mendengar kata-kata itu,
"Hemm.... apakah sesungguhnya yang telah terjadi?"
"Ada orang menyelundup masuk ke tempat penginapan kami, sikapnya mencurigakan sekali. Aku sendiri sudah menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi gagal dan dia berhasil melarikan diri dan lenyap."
Tentu saja Jayin terkejut,
"Benarkah? Seperti apa orangnya?"
"Keadaan gelap, dan gerakannya gesit. Kami tidak dapat melihat jelas mukanya. Akan tetapi yang amat mengherankan, mengapa dia dapat memasuki istana yang terjaga kuat dan bagaimana mungkin dia melarikan diri dari istana dan dari dalam kota raja?"
Biarpun ucapan Tan Siong Khi diucapkan seperti orang yang merasa heran dan penasaran, namun di dalamnya terkandung kecurigaan yang agaknya dinyatakan untuk mengimbangi sikap Jayin yang datang-datang memperlihatkan kecurigaan pula. Jayin mengerutkan alisnya lagi. Memang sukarlah baginya keadaan seperti itu.
Kecurigaannya terhadap rombongan utusan ini memang makin besar. Siapa tahu keributan dengan alasan orang luar memasuki tempat penginapan mereka ini hanya sandiwara belaka! Akan tetapi untuk menuduh begitu saja, tidak mungkin jika tidak ada bukti nyata. Pula, mereka ini adalah utusan dari negara yang besar dan kuat, bahkan rajanya sendiri sampai mengorbankan puterinya untuk menjadi isteri seorang Pangeran Mancu hanya karena mengharapkan ikatan keluarga agar Bhutan terlindung sebagai keluarga Kerajaan Mancu yang menguasai seluruh Tiongkok. Akan tetapi Jayin adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman, tidak saja berpengalaman dalam medan perang, akan tetapi juga berpengalaman dalam hal diplomasi. Dengan cerdik dia lalu berkata dengan muka sungguh-sungguh,
"Tan-ciangkun, kami sedang menghadapi urusan besar yang juga menyangkut kepentingan rombongon utusan kaisar. Raja kami sedang terancam bahaya."
Dia lalu menuturkan bagaimana rajanya yang sedang berburu itu diserbu oleh musuh dan kini tidak tahu berada di mana dan bagaimana pula keadaannya.