Dendam Si Anak Haram Chapter 50

NIC

“Awas dan siap...!” Bisiknya melepaskan pelukan. Beberapa bayangan orang berkelebatan datang, gerakan mereka gesit dan ringan, sehingga Kwan Bu bersikap hati-hati sekali.

Banyak anak buah perampok datang pula membawa obor di tangan sehingga sebentar tempat itu mejadi terang sekali. Ketika Kwan Bu memandang ke arah beberapa orang yang datang itu, ia tercengang. Kiranya mereka ini adalah Koai Kiam Tojin Ya Keng Cu, Sin-jiu Kim-wan, Ban-eng-kiam Yo Ciat, dan di sebelah kiri berdiri Bu Taihiap, Bu Keng Liang dan Bu Siang Hwi! Sejenak Kwan Bu terpesona memandang Siang Hwi yang seperti biasa berpakaian merah jambon, sepasang siang-kiam siap di tangan, cantik jelita sepert bidadari. apalagi saat itu gadis ini memandang dengan mata terbelalak dan alis berdiri. Juga tokoh-tokoh perjuangan yang berada di situ terbelalak memandang Kwan Bu dan pemuda tampan yang berada di samping pemuda ini, sejenak tak dapat berkata-kata karena sungguh tak mereka duga bahwa “penjahat” yang datang mengintai adalah Bhe Kwan Bu.

“Kau…... Kwan Bu.....? Mengapa kau di sini ?” Bu Keng Liong bertanya terkejut dan heran.

“Benar, hamba Bhe Kwan Bu, Thai-ya. Tentu Thai-ya maklum sendiri apa yang menyebabkan hamba datang, yaitu mencari Sin-to Hek-kwi untuk membalas dendam.”

“Apa...?” Bu Keng Liong berseru kaget. Dia sendiri tidak tahu siapa gerangan perampok yang membasmi keluarga Bhe Ciok Kim, ibu Kwan Bu ini dan kini mendengar bahwa musuh besar Kwan Bu adalah Sin-to Hek-kwi dia terkejut sekali. Reaksi Siang Hwi lain lagi ketika ia melihat munculnya Kwan Bu. Gadis ini sejak tadi memandang Siok Lam penuh perhatian, kemudian tak dapat dicegahnya lagi dan di luar kesadarannya ia membentak.

“Kwan Bu...! Siapa......siapa gadis ini...?? apakah engkau telah terperosok rendah menjadi kaki tangan anjing kaisar? Tentu gadis inipun seekor anjing betina..?” Kwan Bu mengangkat muka, memandang dengan marah. Betapapun cantik jelitanya Siang Hwi, yang membuat jantungnya berdebar dan rindunya mendalam, namun ternyata gadis itu tidak berubah. Masih galak dan angkuh!

“Bu-siicia, dia ini adalah sahabatku dan kami ini tidak ada sangkut-pautnya dengan kaki tangan kaisar.” Terasa oleh Kwan Bu tangan yang lunak dan hangat menyentuh tangannya. Ia tahu bahwa itu adalah tanan Giok Lam, akan tetapi ia menarik tangannya karena tidak ingin tampak oleh mereka dia berpegang tangan dengan Giok Lam, apalagi setelah Siang Hwi yang bermata tajam itu menyebut-nyebutnya sebagai seorang gadis.

“Bhe-taihiap, sungguh kami heran sekali melihat taihiap muncul seperti ini,” kata Ya Keng Gu dengan sikap hormat.

“Benarkah ucapan taihiap bahwa taihiap dan sahabat ini datang bukan sebagai mata-mata pengawal kaisar?”

“Koai Kiam Tatiang, tidak perlu saya membohong. Kedatanganku ini tidak ada hubungannya dengan pengawal kaisar, juga tidak ada hubungannya dengan totiang sekalian. Saya datang mencari Sin-to Hek-kwi karena urusan pribadi. Di mana adanya Sin-to Hek-kwi? Harap suka keluar!” teriaknya tak sabar lagi. “Orang muda sombong, aku disini! Mau apa mencari Sin-to Hek-kwi?” Kwan Bu mengangkat memandang muka laki-laki itu sudah berusia enam puluh tahun, pakaiannya mewah, sikapnya garang dan tubuhnya tinggi besar. Kulit muka yang galak itu berwarna kehitaman dan sebatang golok besar berada d tangan kanannya. Di pinggang tampak sebuah kantung senjata rahasia dan Kwan Bu sudah menduga bahwa itulah kantong senjata rahasia jarum yang membutakan mata ibunya, amarahnya meluap dan ia hanya dapat mengendalikan diri dengan menekan perasaanya,

“Engkau yang bernama Sin-to Hek-kwi? Ketahuilah namaku Bhe Kwan Bu dan seperti sudah kukatakan tadi, kedatanganku adalah urusan pribadi. Kalau engkau seorang jantan, mari hadapi aku sebagai laki-laki dan jangan menciba untuk menyangkal atau bersembunyi di balik bantuan orang- orang gagah entah mengapa hadir di tempat terkutuk ini.”

“Ha ha, anak muda yang bermulut besar! aku Sin-to Hek-kwi bukan pengecut. apakah katamu? Katakan!”

“Sin-to Hek-kwi, engkau seorang kepala rampak, dan akupun mencari seorang kepala rampok yang pernah merampok dusun Kwi-cun, yang telah membunuh keluargaku dan membutakan sebelah mata ibuku dengan jarumnya. Mengakulah bahwa engkau kepala rampik itu agar kita dapat membuat perhitungan di sini sekarang juga.”

““Hemm........ bagaimana aku bisa mengaku? Terlampau banyak dusun yang telah kurampok, aku tidak ingat lagi namanya satu demi satu. Memang itu sudah pekerjaanku. Membunuh keluarga? Sudah banyak amat orang kubunuh. Mereka yang melawan tentu kubunuh karena kalau tidak, aku sendiri yang mereka bunuh. apa anehnya ini? Entah keluargamu atau bukan, aku mana tahu?”

“Engkau membutakan mata ibuku dengan jarum ini!” Kwan Bu telah mengeluarkan jarum yang selama ini ia simpan, jarum yang dahulu ia terima dari ibunya, Sin-to Hek-kwi tidak perduli dan membuat gerakan tangan tidak sabar.

“Orang muda, jarum itu mungkin punyaku mungkin juga bukan, Sudah banyak perempuan rewel kubutakan matanya dengan jarum. andaikata benar ibumu termasuk seorang di antara mereka, habis engkau mau apa?” Sin-to Hek-kwi marah sekali karena ia merasa dibikin malu di depan semua tamunya sehingga ia menjadi nekad untuk menunjukan keberanian dan kegagahannya karena ia merasa yakin akan dapat mengalahkan lawan yang masih muda ini.

“Hemm, tidak salah dugaanku. Tak perduli apakah benar-benar engkau si jahanam yang membasmi keluargaku atau bukan, manusia jahat macam engkau ini sudah sepatutnya dilenyapkan dari muka bumi!” kata Kwan Bu yang merasa muak dan marah sekali endengar pengakuan dengan suara dingin dari mulut kepala perampok itu Tentu saja Sin-to Hek-kwi menjadi marah sekali,

“Bacah sombong, kematianmu sudah berada di depan mata dan engkau masih berani membuka mulut besar? Mampuslah!” bentakan ini disusul dengan terjangan goloknya yang menyambar dahsyat sampai mengeluarkan bunyi berdesing. Ternyata kepala perampok ini memiliki tenaga yang amat besar. akan tetapi bagi Kwan Bu, gerakan lawannya ini lambat sekali maka ia memandang rendah. Kalau ia mengehendaki, sekali mencabut Toat-beng-kiam dan menggunakan pedang pusaka itu, pasti dalam beberapa gebrakan saja ia akan berhasil membunuh orang yang diduganya musuh besarnya ini. akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk tidak membunuh Iawannya, menangkapnya hidup-hidup untuk diseret ke depan kaki ibunya agar ibunya menyaksikan sendiri dengan matanya yang tinggal sebelah itu betapa balas dendam telah terpenuhi. Karena ini, dia hanya mengelak dan membalas dengan cengkeraman ke arah lengan kanan yang memegang golok. Akan tetapi biarpun bagi Kwan Bu yang lihai luar biasa itu gerakan Sin-to Hek-kwi masih terlalu lambat, namun sesungguhnya kepala rampok ini termasuk orang yang sudah tinggi ilmu silatnya dan tidaklah mudah untuk mengalahkannya begitu saja. Pergelangan tangannya melakukan gerakan mencongkel dan goloknya sudah membalik, kini menyambar ke arah tangan kwan Bu yang mencengkeram. Kwan Bu tidak mengelak. seolah-olah membiarkan tangannya terbacok golok, namun pada detik terakhir setelah angin yang mendahului mata golok sudah menyentuh tangannya, lengannya bergerak miring dan dari sebelah jari tengahnya menyentil ke arah tubuh golok.

“Criinggg !” Hebat bukan main sentilan ini. yang dilakukan dengan tenaga ginkang. Lengan tangan

Sin-ti Hek-kwi tergetar hebat, namun tidak percuma ia berjuluk Sin-to (Golok Sakti) karena ia sudah berhasil membalikkan goloknya ke bawah lengan dan mematahkan getaran karena sentilan itu.

Kemudian dari bawah lengan, goloknya meluncur maju dengan tiba-tiba mengarah perut Kwan Bu. Lihai juga ilmu gelek dari Sin-toHek-kwi ini. namun sekarang ia berhadapan dengan seorang yang tingkat ilmu silatnya jauh melampauinya. Tikaman goloknya ke arah perut bukan saja dapat dielakkan oleh Kwan Bu, bahkan pemuda ini mengelak sambil melangkah maju mendekatinya dan sekali tangan kiri Kwan Bu menampar. terdengar bunyi “krakk!” dan terhuyunglah Sin-toHek-kwi ke belakang dengan tulang pundak retak! Namun, kepala rampok ini masih tidak melepaskan goloknya. Kwan Bu sudah mengejar tubuh lawan yang terhuyung itu sampai beberapa langkah, hendak menawannya, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara halus,

“Bhe-taihiap tunggu dulu. ” Ucapan ini disusul dengan berkelebatnya tiga bayangan yang ringan

sekali dan ternyata di depan kwan Bu telah berdiri Koai Kiam Tojin Ya Keng Cu, Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu, dan Ban-eng-kiam Yo Ciat! Melihat betapa Ya Keng Cu dan kawan-kawannya mengahadangnya dan mencegahnya menawan Sin-to Hek-kwi, Kwan Bu mengerutkan alisnya dan menjura kepada mereka bertiga akan tetapi ucapannya ia tujukan kepada Ya Keng Cu yang selalu menjadi wakil pembicara para enghiong yang berjuang melawan pihak kaisar.

Posting Komentar