Dendam Si Anak Haram Chapter 42

NIC

“Biar kubekuk dia !” Giok Lam meronta, akan tetapi Kwan Bu merangkulnya erat dan berbisik di

telinganya, dengan bibir menyentuh pipi dekat telinga.

“Jangan, Lam-te. aku yang punya musuh di sini, ingat? kau bantu saja, lihat kalau-kalau aku terjebak, kau menolong aku?” Giok Lam yang tadinya bersemangat hendak meloncat dan menerjang si hwesio muda, kini tampak lemas dan hanya mengangguk-anguk. Kwan Bu melepaskan rangkulannya, lalu bangkit berdiri. Setelah hwesio muda itu berjalan dekat dan tepat di bawah wuwungan itu, tubuh Kwan Bu menyambar ke bawah gerakannya bagaikan seekor burung garuda menyambar seekor domba. Giok Lam yang melihatnya memandang penuh kekaguman dan cepat pemuda itu menjenguk dari pinggir genteng untuk menonton dan siap membantu kawannya jika perlu.

Akan tetapi tentu saja Kwan Bu sama sekali tidak membutuhkan bantuan. Hwesio muda itu tidak sempat berteriak sama sekali, bahkan tidak sempat bergerak. Tahu-tahu bayangan berkelebat dan dua kali totokan membuat dia kaku tubuhnya dan tidak mampu dan tidak dapat mengeluarkan suara, hanya bengong memandang dengan tangan kiri masih mencengkeram teng dan tangan kanan memegang golok. Dia seperti berubah menjadi sebuah di antara arca-arca yang banyak terdapat di situ. Melihat ini, bagaikan gerakan seekor walet menyambar, tubuh Giok Lam melayang turun dan ia sudah berada di dekat Kwan Bu, lalu tanpa diperintah ia merampas golok dan teng. Kwan Bu kagum. Pemuda ini biarpun masih muda namun tangkas dan agaknya sudah banyak pengalamannya sehingga dapat mengatasi keadaan tanpa diperintah.

“Hayo, bawa kami ke tempat si baju hijau tadi terjebak!” bisik Kwan Bu dekat telinga hwesio muda itu. Si hwesio membelalakan mata seperti orang ketakutan, dan berusaha menggeleng kepala. Kwan Bu lalu menekankan rasa nyeri yang tak mungkin dapat ditahan oleh seorang manusia. Seluruh tubuh hwesio itu seperti dimasuki jarum, isi perut seperti dibetot-betot dan mukanya menjadi pucat, peluh sebesar kacang kedele memenuhi mukanya, mulutnya menyeringai, lidahnya menjulur keluar dan berdarah karena tergigit sendiri. Saking tidak tahannya. ia mengangguk-angguk. Kwan Bu segera membebaskan tekanannya, bahkan membebaskan totokan tubuh hwesio itu sehingga kini hwesio itu dapat bergerak sungguh pun belum dapat mengeluarkan suara.

Giok Lam tersenyum kagum bertiga ia membawa golok dan teng, mengikuti hwesio itu yang digandeng oleh Kwan Bu, menuju ke ruangan dalam kuil yang amat gelap dan menyeramkan karena sinar suram api ujung dupa-dupa yang tinggal pendek. Api itu seolah-olah hidup karena apa bila ada angin bertiup dari luar, api itu membesar dan bersinar, menimbulkan bayang-bayang pada dinding. Arca-arca yang berdiri di situ menciptakan bayang-bayang yang seperti setan raksasa. Teng ditangan Giok Lam bergoyang dan ketika Kwan Bu melirik, kiranya kawannya itu menggigil saking merasa ngeri. Ia tersenyum. Betapapun gagahnya. kawannya ini agaknya merasa seram berada di dalam kuil itu agaknya percaya akan tahyul dan setan! Merekapun kini memasuki ruang dalam dan tubuh si hwesib muda mulai gemetaran, jelas tampak ia amat ketakutan.

Kwan Bu yang tahu akan keadaan segera menekan lagi punggung hwesio itu yang cepat-cepat mengangkat tangan dan menghampiri dinding dekat pintu yang tertutup. Tangannya meraba dan menekan tombol hijau yang tersembunyi di dekat pintu cat hijau. Terdengar bunyi berderit dan pintu terbuka, akan tetapi lantai di balik pintu itu secara otomatis terbuka pula, memperlihatkan sebuah anak tangga ke bawah. Hwesio itu menudingkan telunjuknya ke anak tangga dan membuat gerakan dengan tangan menyuruh Kwan Bu dan Giok Lam menuruni anak tangga karena dia sendiri takut untuk turun. Kwan Bu tidak perduli dan mendorongnya sambil menekan punggung. Dari kerongkongan hwesio itu terdengar isak seperti menangis, namun kakinya terpaksa menuruni anak tangga, diikuti dengan Kwan Bu dan Giok Lam yang membawa teng merah.

Anak tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan di bawah tanah yang amat mewah keadaannya, jauh lebih mewah dari pada keadaan di dalam kuil yang berada di sebelah atas ruangan rahasia ini. Di sini terdapat penerangan yang cukup sehingga tampak hiasan-hiasan dinding dan perabot-perabot yang lengkap dan serba indah. Di tengah ruangan itu terdapat permadani merah berbentuk bundar dan di kanan kiri terdapat pintu-pintu yang tertutup. Kwan Bu yang memperhatikan seluruh ruangan itu. itdak pernah melepaskan sebagian perhatiannya kepada hwesio yang dipaksanya menjadi penunjuk jala, maka ia dapat melihat ketika hwesio itu tiba-tiba menginjak bagian lantai tertentu dengan gerakan yang jelas disengaja. Maka ketika terdengar bunyi angin aneh, dia sudah merobohkan hwesio itu dengan totokan sambil berbisik kepada temannya.

“Awas !” Tiba-tiba terdengar desis dari kanan kiri dan atas. dan tampaklah sinar berkelebatan

menyerang mereka.

“Jarum-jarum beracun ?” bisik Giok Lam yang sudah memutar goloknya sehingga jarum-jarum yang

menyambar ke arahnya runtuh semua. Adapun Kwan Bu rdengan cepat menggerakkan kedua tangan,

Mendorong dan menangkap sehingga semua jarum yang menyambar ke arahnya, sebagian besar dapat ia runtuhkan dengan hawa pukulan, dan ada beberapa batang ia tangkap dengan tangan. Setelah memeriksa sejenak, ia membuang jarum-jarum itu. Berbeda dengan jarum yang berada di saku bajunya, dan jarum-jarum ini berwarna serta beracun pula! Hetika ia menoleh ke arah hwesio muda, kiranya hwesio itu sudah tewas dengan mata mendelik, terkena beberapa jarum beracun pada leher dan dadanya. Ketika tadi menangkis jarum-jarum rahasia, Giok Lam sudah melepaskan teng dan kini ia berdiri dengan tegak, siap menghadapi lawan, golok rampasan di tangan kanan, matanya melirik ke kanan kiri, Kwan Bu kagum melihatnya. Tadi sebelum jarum-jarum tiba, pemuda ini sudah tahu bahwa akan datang jarum-jarum beracun, Hal ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini adalah seorang ahli dalam senjata rahasia jarum sehingga dapat membedakan suara menyambarnya jarum-jarum dan dari baunya dapat mengetahui bahwa yang menyambar adalah jarum beracun. Dan cara pemuda ini menggerakkan golok menangkis juga merupakan permainan golok yang hebat! Tiba-tiba dari pintu kiri terdengar tangisan wanita. Tanpa dikomando lagi Kwan Bu dan Giok Lam bergerak hampir berbareng, menendang dan mendorong pintu itu yang terbuka dan roboh. Kiranya di balik pintu itu ada sebuah kamar besar sekali yang amat mewah dengan empat buah ranjang yang besar di situ terdapat dua orang hwesib tua yang siang tadi melayani tamu. Akan tetapi keadaan mereka benar-benar tak dapat disebut sebagai pendeta yang suci, bahkan sebaliknya!

Pakaian mereka setengah telanjang, di meja penuh dengan hidangan dan arak, dan di atas dua pembaringan rebah dua orang wanita muda yang keadaannya melebihi dua orang hwesio itu, karena tidak berpakaian sama sekali! seorang diantara dua orang wanita inilah yang menangis dan wanita kedua menghiburnya dengan kata-kata halus. Adapun dua orang hwesib itu ketika mendengar pintu roboh, cepat membalikkan tubuh dan begitu melihat Kwan Bu dan Giok Lam mereka mengeluarkan seruan marah dan mereka sudah menerjang maju dengan pedang yang tadi telah mereka sambar dari atas meja dalam kamar. Pada saat itu dari arah kanan terdengar jerit wanita seperti yang tadi terdengar ketika si baju hijau melompat turun. Giok Lam yang melihat betapa gerakan dua orang hwesio yang menyerang mereka itu tidaklah seberapa hebat, lalu berkata.

“Kau hajar dua ekor kerbau ini, Bu-Twako!” Kwan Bu maklum bahwa Giok Lam tentu akan menolong si baju hijau. maka ia mengangguk dan membiarkan kawannya itu menerjang keluar kamar. Ia sendiri menyambut serangan dua orang hwesio itu dengan tenang saja. Dengan sedikit menggerakkan tubuh, dua batang pedang itu menyambar lewat dan dua kali tangannya memukul dengan jari terbuka maka robohlah dua orang hwesio itu dengan tubuh lemas. pedang mereka terlempar ke atas lantai.

Kwan Bu meneliti kamar dengan pandang matanya, lalu cepat-cepat ia keluar karena tidak tahan ia berdiam lebih lama lagi dalam kamar itu, apalagi melihat dua orang wanita yang telanjang bulat itu saling peluk dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Ia harus menyusul Giok Lam yang mungkin menghadapi bahaya. Memang benar sekali kekhawatirannya ini. Begitu tubuhnya berkelebat keluar kamar, ia mendengar suara senjata beradu di kamar sebelah kanan. Pintu kamar itu sudah roboh agaknya dirobohkan Giok Lam dan pada saat itu hwesio berusia enam puluhan tahun bertubuh tinggi besar dan beralis tebal yang memainkan sebatang golok dengan kuat dan cepat sekali. Jelas bahwa Giok Lam kalah tenaga dan terdesak hebat, bahkan hwesio tinggi besar itu kini tertawa-tawa mengejek.

Kwan Bu cepat berkelebat maju memasuki kamar, akan tetapi tiba-tiba tangan kiri hwesio tinggi besar itu bergerak dan menyambarlah jarum-jarum ke arah Kwan Bu. Pemuda sakti ini yang telah bertahun-tahun melatih diri dengan ilmu menyambit jarum, dengan mudah mengelak dan menyambar beberapa batang jarum dengan tangannya. Sekali pendang saja maklumlah ia bahwa jarum-jarum ini berbeda dengan jarum yang membutakan mata ibunya. Dengan hati kecewa ia lalu menggerakkan tangannya, mengirim kembali jarum-jarum itu ke arah si hwesio tinggi besar. Seorang yang belum mahir menggunakan senjata rahasia jarum, tentu akan merasa ragu-ragu untuk menyerang lawan yang sedang bertanding dengan seorang kawan, karena ada bahayanya jarum itu mengenai kawan sendiri. Namun jarum-jarum yang dikirim pulang oleh Kwan Bu itu dengan cepat sekali menyambar, tiga batang jumlahnya, ke arah mata, leher, dan dada si hwesio tinggi besar.

“Hayaaaaa......!” hwesio yang tadinya tertawa-tawa mengejek Giok Lam, kini berteriak keras sakin kagetnya dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri bergulingan di atas lantai kamar untuk menghindarkan tubuhnya di “makan” sendiri oleh jarum-jarumnya! “Monyet gundul ini lihai, Twako. Mari bantu...!” Giok Lam berseru dan Kwan Bu sudah meloncat maju. Dilihatnya betapa di dalam kamar yang lebih besar dan lebih mewah daripada kamar kedua orang hwesio tadi, di sini terdapat pula seorang wanitanya. Namun bedanya, wanita ini adalah seorang wanita muda cantik berpakaian serba hijau yang kini telah dibelenggu kaki tangannya yang terpentang dan masing-masing diikat pada tiang pembaringan. Pakaian wanita baju hijau inipun sudah robek-robek agaknya kalau Giok Lam kurang cepat sebentar menyerbu, akan terlambatlah. Bukan main marahnya hati Kwan Bu. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang. Hwesio tua itu sesungguhnya adalah seorang penjahat yang cabul dan suka memperkosa wanita mempergunakan kehliannya. Yang semacam ini harus dibasmi, baik dia ini musuh besar ataupun bukan!

“Penjahat berkedok pendeta, bersiaplah memasuki neraka!” bentak Kwan Bu yang sudah menerjang maju dengan tangan kosong. Hwesio tinggi besar itu yang kini sudah meloncat berdiri, tadinya merasa gentar menyaksikan cara Kwan Bu melemparkan kembali jarum-jarumnya, akan tetapi karena pemuda itu kini maju dengan tangan kosong, timbul kembali keberaniannya sambil membentak marah lalu menyambut Kwan Bu dengan goloknya yang tebal dan berat. Hebat memang cara hwesio ini menggunakan goloknya.

“Singggg......!!” Golok itu berubah menjadi sinar terang menyambar ke arah leher Kwan Bu yang tepat mengelak. Pantas Giok Lam terdesak, pikir Kwan Bu. kiranya hwesio ini memang memiliki tenaga yang amat besar dan goloknya lihai sekali.

Ketika golok menyambar lewat, Kwan Bu yang mengelak dan tubuhnya menjadi rendah dengan kedua lutut ditekuk, tiba-tiba mengirim tendangan ke arah Iutut kiri dan pergelangan tangan kanan. Dua tendangan susul menyusul yang amat cepat dan kalau mengenai sasaran tentu akan melumpuhkan dan melucuti lawan. Namun, hwesio itu ternyata tidak selemah kedua Orang pembantunya tadi. Tendangan ke arah lutut dapat ia elakkan dan tendangan ke arah pergelangan tangannya ia sambut dengan bacokan golok yang ia balikkan ke bawah! Tentu saja Kwan Bu tidak membiarkan kakinya terbacok dan ia menarik kembali kakinya lalu melangkah ke kiri dua tindak. Melihat betapa Kwan Bu menghadapi hwesio itu dengan tangan kosong saja, Giok Lam menjadi khawatir dan ia cepat menerjang maju dengan goloknya. hwesib itu marah, membentak keras dan menangkis sambil mengarahkan goloknya.

“Trangggg......!!” “Aihhhhh......!!” Golok rampasan di tangan Giok Lam mencelat dan sudah patah menjadi dua dan pemuda itu memekik sambil melompat mundur. Kwan Bu marah, cepat menubruk maju dan dengan pukulan jarak jauh itu menghantam ke arah dada hwesio itu. Merasa betapa angin pukulan yang dahsyat menyambar, hwesio itu terkejut dan berusaha menangkis. Inilah salahnya. Kalau ia mengelak, mungkin ia terhindar. Akan tetapi ia menangkis dengan lengan kirinya.

“Krekkk...!l” Lengan kiri hwesio itu yang dua kali lebih besar dari tangan Kwan Bu, seketika patah tulangnya.

“Aduhhh...!” Hwesib itu kaget dan marah, mencelat mundur sambil menyambitkan goloknya ke arah Kwan Bu.

“Twako, awas...!” teriak Giok Lam. Akan tetapi tanpa diperingatkan sekalipun Kwan Bu sudah tahu akan datangnya bahaya. Ia tidak mengelak, melainkan miringkan tubuhnya dan tangan kanannya menyambar goloknya itu yang kini sudah berhasil pindah ke tangannya. Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak, dan sekarang ia benar-benar menjadi gentar. Terdengar ia memekik keras dan tubuhnya sudah melayang ke naik atas, maksudnya hendak melarikan diri melalui langit-langit kamar itu karena di situpun terdapat jalan rahasia. Kwan Bu dapat menduga akan hal ini, maka ia cepat menggerakkan tangannya itu dan golok besarnya itu sudah meluncur cepat sekali ke atas, mengejar tubuh sihwesio.

“Crattt !” golok itu menusuk punggung si Hwesio cabul, menembus ke dada dan terus menancap

Posting Komentar