Tiba tiba Cu Siau-thian datang padanya.
"Tu Liong, kulihat kau sangat sibuk seharian ini." "Mmm.." "Apakah ada kemajuan?" "Aku sudah menemukan Thiat-yan" "Oh! Tindakanmu sangat cepat" "Walaupun aku sudah menemukan dirinya, apakah yang bisa aku lakukan" Aku tidak bisa mewakili orang-orang yang sudah dilukainya membalas dendam.
Walaupun aku bisa membalaskan dendam, juga mungkin tidak bisa langsung turun tangan mengadilinya.
Cu Taiya, walau aku katakan, kau mungkin tidak akan percaya.
Kekuasaan Thiat-yan terhadap anak buahnya sangat besar, dia datang kemari membawa persiapan." "Aku tahu." suara Cu Siau-thian terdengar berat," seumur hidup aku sudah bertemu dengan banyak musuh-musuh.
Aku mengakui nona muda yang dipanggil Thiat-yan ini adalah musuh yang paling lihai yang pernah aku temui.
Aku mempunyai sebuah firasat buruk." "Oh...?" "Aku merasa bahwa pedang yang dia bawa sudah menempel di leherku" "Tuan tidak perlu khawatir.
Aku sudah mengatur pendekar yang sangat tangguh untuk berjaga dalam kediaman ini.
semuanya sudah kuatur dengan baik" "Aku tidak takut.
Hanya saja..." "Cu Taiya, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Thiatyan." "Ah..." kenapa begitu cepat kau bisa beradu kemahiran dengannya?" "Pertemuan kali ini untuk berdiskusi, bukan untuk mengadu ilmu silat.
Jika ada urusan yang tersimpan di hatinya, dia bisa membicarakannya denganku." "Aku tahu dia ingin membicarakan apa dengan mu" "Ah" Tuan sudah tahu?" "Dia ingin memberitahu, kau jangan ikut campur urusan ini, hingga dia bisa leluasa bertindak" "Bagaimanapun aku tidak akan setuju dengan permintaannya." "Kau harus bisa beralasan.
Saat terpaksa kau harus menyetujuinya...." "Apa tuan menyuruhku untuk pasrah saja?" "Aku mengerti sifatmu, lagi pula kau selalu terus terang, namun menghadapi lawan ini, kau tidak bisa menggunakan siasat ini.
Dalam siasat berperang.
Prajurit tidak takut dibohongi.
Membohongi musuh pun sebuah siasat perang.
Tu Liong terdiam tidak berkata apa-apa.
Walaupun dia tidak setuju usul yang diajukan Cu Siau-thian, namun dia pun tidak terang-terangan menentang nya.
Setelah beberapa saat, dia lalu membuka mulutnya membicarakan tentang suatu hal yang lain: "Cu Taiya, aku sudah pergi melihat Tan Taiya.
Berdasarkan kata katanya, pada waktu itu kalian melukai Tiat Liong-san, tuan sama sekali tidak keluar menampakkan diri.
Orang luar tidak mungkin akan mengetahui rahasia ini, oleh karena itu Thiat-yan tidak turun tangan mencarimu".
"itu hanyalah siasatnya saja.
sebenarnya semua sudah tahu.
Surat yang sudah ditinggalkan untukku, surat itu sudah menjelaskannya?" Tu Liong tidak berkata apa apa lagi.
Cu Siau-thian melihat Tu Long seperti ingin beristirahat, maka tidak lama kemudian dia pergi meninggalkannya.
Dia datang kesana hanya untuk melihat emosi Tu Liong saja.
Tu Liong berbaring di atas ranjangnya.
Dia benar-benar berusaha memulihkan tenaganya.
Seperti-nya dia memiliki sebuah firasat, bahwa pertemuannya dengan Thiat-yan sore ini bukanlah sebuah hal yang mudah dihadapi.
Dia merasa Thiat-yan bukan orang yang mudah dihadapi.
Setelah berpikir kesana kemari, pada akhirnya dia tertidur.
Namun tiba-tiba saja dia terbangun dari tidurnya, dia tahu bahwa dia tersadarkan bukan tanpa alasan, betul saja disamping bantalnya sudah tergeletak sebuah surat, diatas surat ini sudah ditaruh sebuah hiasan yang terbuat dari besi yang berbentuk seekor burung walet...
Thiat-yan! Tu Liong segera meloncat turun dari ranjang, emosinya mendadak meluap.
Di siang bolong seperti ini Thiat-yan bisa menerobos masuk kedalam kediaman tuan besar yang sudah dijaga ketat, dia bahkan bisa datang ke sisi tempat tidurnya dan meninggalkan surat peringatan, ini hal yang benar benar tidak disangka.
Tu Liong sama sekali tidak meluangkan waktu untuk melihat isi surat tersebut.
Dia segera berlari keluar kamar dan melihat ke empat penjuru, tapi dia sama sekali tidak menemui kejanggalan apapun.
Di teras rumah terlihat para penjaga berlalu lalang, begitu pula di pekarangan rumah, jadi bagaimana cara Thiat-yan menembus penjagaan yang sedemikian ketat sampai masuk ke dalam kamarnya" Untuk apa dia datang kemari" Lagipula tidak lama lagi mereka berdua pasti akan bertemu....Ugh! Nona Thiat-yan benar-benar sedang unjuk gigi, beraksi untuk menakuti orang, supaya nanti kalau dia ingin membicarakan tentang sesuatu syarat, posisinya pasti akan lebih unggul...
'Jangan berharap terlalu banyak.' Tu Liong diam-diam tertawa dalam hati.
Dia lalu kembali ke dalam kamarnya dan membuka surat.
Isinya hanya selembar kertas putih bertuliskan enam huruf yang berarti "hormat pada dewa dan setan, tapi tetap menjaga jarak" Apa artinya ini" Tu Liong menimbang-nimbang, tiba-tiba saja dia mendapat pencerahan.
Thiat-yan ingin agar dirinya menjauhi Cu Taiya....pada saat ini Tu Liong kembali mendapat sebuah firasat.
Didalam mata Thiat-yan, dirinya adalah sebuah rintangan, tentu saja dia harus merasa bangga.
Lalu dia berbaring lagi diatas ranjang, namun dia tidak bisa kembali tidur.
Oleh karena itu dia berpikir., tanggung tidak bisa tidur lagi, lebih baik datang lebih pagi ke tempat pertemuan.
Sebelum berangkat dia masih memeriksa dan memperketat penjagaan.
Tim penjaga yang sudah dipilihnya sendiri, yang menurutnya tidak mungkin akan diterobos dengan mudah malah sudah dilewati Thiat-yan dengan sedemikian mudahnya.
Baginya hal ini sebuah penghinaan yang besar.
0-0-0
Kedai teh Tong-ceng sudah sering dikunjunginya.
Pemilik kedai otomatis mengenal dirinya.
Dia segera menyambut kedatangannya, bahkan dia sengaja melayaninya sendiri.
Tu Liong berkata bahwa dia datang menunggu beberapa temannya, ini untuk menghindari kecurigaan pemilik kedai.
Saatnya masih lama.
Tu Liong duduk di bangku dan menutup matanya.
Secangkir teh panas tampak masih mengepulkan asap.
Menunggu sampai waktu yang ditentukan bukanlah suatu hal yang mudah dikerjakan.
Namun yang ditunggu-tunggu akhirnya datang sesuai janjinya.
Ternyata yang datang bukan beberapa orang, tapi hanya seorang diri.
Dan orang ini pun bukan Thiat-yan, orang itu adalah Boh Tanping.
"Siapa kau?" "Namaku Boh Tan-ping" "Boh Tan-ping?" Tu Liong tidak pernah mendengar nama ini sebelumnya.
"Apakah anda datang kemari mewakili seseorang bertemu denganku?" "Betul" Boh Tan-ping menjawab dengan nada dingin, "siapa yang aku wakilkan, kau pasti sudah tahu...
....marilah kita mulai bicara." "Mohon maaf, kalau ingin bicara, aku ingin berbicara langsung dengan orangnya.
Aku tidak akan berbicara padamu." "Tuan muda Tu!" sikap yang ditunjukkan oleh Boh Tan-ping sangat dingin, namun tetap ramah, "sebenarnya kami sudah bermaksud mengundangmu datang ke rumah dan bicara baik baik, namun kau berkeras tidak mau pergi.
Kau malah mengundang kami datang kemari, dan sekarang kami sudah datang kesini.
Apa lagi yang kau inginkan?" "Mohon maaf Tuan Boh, aku tidak ingin mengatakan tentang apapun denganmu" "Berkata ataupun tidak, tidak menjadi masalah.
Nona Thiatyan majikan kami hanya ingin memberitahu sepatah kata.
Kau sudah tahu apa yang ingin dikatakannya" "Hormat pada dewa dan setan, tapi tetap menjaga jarak?" "Tidak salah" "Siapa dewa dan setannya?" "Kau pikirlah sendiri...." Boh Tan-ping segera berdiri.
"Tunggu!" "Dia hanya menyampaikan sepatah kata itu.
Kau pikirkanlah sendiri" Bagaimana pun Tu Liong tidak ingin semudah itu diperdaya.
Baru saja Boh Tan-ping membalikkan tubuh berjalan menjauh, Tu Liong segera menjulurkan tangan dan mencengkram pergelangan tangan kiri Boh Tan-ping dengan sangat erat Seharusnya Boh Tan-ping merasa terkejut, namun dia sama sekali tidak tampak kaget, seharusnya merasa sangat marah, namun emosi nya tampak masih sangat stabil.
Dia terus mempertahankan sikapnya yang ramah seperti semula.
Dia berkata dengan nada dingin: "Tuan muda Tu! disini bukan tempat yang cocok bertarung" "Kalau memang ingin bertarung, untuk apa harus memilih tempat?" Tiba-tiba Boh Tan-ping menyentakkan pergelangan tangannya.
Dengan sangat mudah dia sudah melepaskan diri dari genggaman Tu Liong yang kuat.
Tu Liong terkejut, hal ini benar benar tidak diduga oleh nya.
Umurnya masih muda, sifatnya masih sangat bergejolak.
Kalau tiba-tiba emosinya keluar, akibatnya sulit dihindari.
Tu Liong segera mengulurkan lagi tangannya.
Dia tahu disini bukan tempat yang cocok, juga saatnya tidak tepat.
Namun bagaimanapun dia tidak mau peduli.
Kali ini Boh Tan-ping mengelak dengan mudah, tidak hanya mengelak, dia pun sempat menepis tangan Tu Liong dengan keras.
Lalu dia meneruskan langkahnya menuju pintu keluar.
Tu Liong semakin emosi, dia tahu kalau dia bertarung disini, pasti akan membuat keributan yang menarik perhatian orang.
Dia lalu melihat ke sekeliling, tatapan matanya jatuh pada cangkir teh panas yang masih mengepulkan asap Tanpa berpikir panjang, tangannya segera terjulur mengangkat cangkir teh, karena gerakan yang cepat, dia tidak sempat merasakan betapa panasnya cangkir itu.
Dengan satu gerakan tangan, dia melemparkan cangkir teh panas ke arah Boh Tan-ping.
Sebelum terlepas, dia masih sempat memutar cangkir teh panas itu.
Cangkir itu sekarang berputar-putar cepat seperti gasing, tapi air teh yang terdapat di cangkir tidak tumpah keluar barang setetespun.
Cangkir teh melayang dengan cepat ke arah kepala Boh Tan-ping.
Walaupun Boh Tan-ping sedang membela-kangi Tu Liong, dia tetap waspada.
Entah bagaimana caranya, dia tahu persis dimana arahnya cangkir.
Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah kiri.
Cangkir segera terbang melewati kepalanya.
Sebelum menabrak pintu keluar, Boh Tan-ping menjulurkan tangannya dengan cepat Dengan dua jarinya, dia sudah berhasil menangkap cangkir teh panas.
Dia segera membalikkan tubuh dan kembali melemparkan cangkir yang sama balik ke arah Tu Liong.
Tu Liong benar-benar terkejut.
Boh Tan-ping ternyata memiliki kepandaian yang tinggi.
Cangkir teh melayang semakin dekat.
Tu Liong tidak dapat berbuat apa apa.
Kalau dia mengelak, cangkir itu akan hancur menabrak dinding, orangpasti akanberdatangan juga.
Akhirnya dia menggunakan tangan menepis cangkir dari arah bawah.
Cangkir ini terlempar ke arah langit-langit ruangan.
Cangkir berputar tidak menentu, air tehnya tumpah kemana-mana.
Dengan gesit Tu Liong menghindari siraman air.
Tapi beberapa tetes air masih mengenainya.
Selagi gelas masih melayang di udara, Tu Liong menatap Boh Tan-ping dengan geram.
Cangkir teh kembali jatuh kebawah.
Setelah melewati wajahnya, Tu Liong sedikit bergeser kebelakang.
Ketika cangkir nyaris menyentuh tanah, Tu Liong segera menendangnya.