Terakhir dia membuka laci meja, dari sebuah pojok yang sangat rahasia, dia mengeluarkan dompet.
Di dalam dompet itu terdapat sejumlah uang kertas asing.
"Marilah kita berangkat" Wie Kie-hong melihat semua ini, sepertinya Bu Tiat-cui merasa ketakutan sekali, mereka berdua segera pergi meninggalkan ruang pinggir Ketika keluar dari aula rumah dan memasuki pekarangan, tiba-tiba mereka melihat pintu besar terbuka lebar dengan cepat.
Wie Kie-hong menarik Bu Tiat-cui dengan tangan kanannya.
Bu Tiat-cui dengan cepat terlempar ke pinggir untuk menghindari serangan.
Namun diluar pintu tidak terlihat siapapun.
"Apa yang terjadi?" tanya Bu Tiat-cui pelan.
"Ada seseorang diluar pintu besar itu" "Kalau begitu, apakah kita berdua sudah terlambat?" "Jangan takut, kau sembunyi dulu di belakang pintu.
Apapun yang terjadi nanti, kau jangan sampai keluar.
Apa mengerti?" Kedua kaki Bu Tiat-cui gemetar hebat.
Tampak dia langsung mengerjakan apa yang dikatakannya, segera bersembunyi di belakang pintu.
Wie Kie-hong terus berdiri dengan gagah didepan pintu masuk.
Sunyi senyap selama beberapa lama.
Dari luar pintu masuk terlihat seseorang.
Dia datang seorang diri.
Wie Kiehong mengenali orang ini, orang yang tempo hari sudah memberinya surat peringatan dari Thiat-yan.
Orang itu terus berjalan kedalam pekarangan.
Setelah melihat Wie Kie-hong, dia berhenti, berkata dengan nada dingin: "Kau datang lagi?" "Aku sudah melupakan sebuah barang" Wie Kie-hong menggenggam pegangan pintu, "oleh karena itu aku kembali kesini untuk mengambilnya, tapi disini aku menemukan sebuah kejadian aneh." "Pesanmu sudah kusampaikan." Orang itu sama sekali tidak memperhatikan pernyataan Wie Kie-hong.
Sepertinya dia tidak perduli kejadian aneh yang dikatakan Kie-hong.
"Thiat-yan?" "Betul." "Kau sengaja datang kemari memberitahu?" "Majikanku ingin menemuimu" "Sekarang?" "Betul" "Dimana?" "Ikutlah denganku" "Seharusnya kau tahu, aku tidak sembarangan ikut orang lain" "Kau pasti pergi" orang itu terdengar sangat yakin.
Tangan kanannya segera terjulur ke arah Wie Kie-hong berusaha memegang bahunya.
Secara reflek tangan kiri Wie Kie-hong menangkis tangannya.
Dan pertarungan pun terjadi.
Dengan pakaian yang rapi, orang itu berkali-kali menjulurkan tangan terus berusaha memegang Wie Kie-hong.
Tapi setiap uluran tangan yang ditangkis selalu terdengar bentakan mereka..
"Hait!Hah!Shah...." Sambil mengelak, Wie Kie-hong terus bergerak mundur.
Ilmu silat orang itu lumayan juga.
Dia terus mendesak maju.
"Hait!Hah!Shah...." Pertarungan ini tampak unik, karena kedua pihak tidak tampak seperti ingin melukai lawannya.
Yang satu berusaha memegang, yang satu lain berusaha mencegah.
Tangan orang yang berpakaian rapi terus melesat kesana kemari.
Pertama-tama tangan kanannya berusaha memegang bahu kanan Wie Kie-hong, setelah ditangkis, tangan kirinya bergerak berusaha memegang tangan kiri...
...
demikian seterusnya bersilang-silang.
"Hait!Hah!Shah...." Jarak Wie Kie-hong menuju tembok semakin lama semakin dekat.
Dari belakang pintu tiba-tiba Bu Tiat-cui berteriak memperingatkan...
"Had hati! tembok!" Wie Kie-hong segera sadar...
ketika ada kesempatan, dia mencuri pandang berapa jauh lagi dirinya dari tembok melalui sudut matanya.
Ternyata dia sudah kehabisan jarak.
Tembok hanya tinggal dua langkah lagi.
Karena itu ketika orang yang berpakaian rapi berusaha meraih agak tinggi, Wie Kie-hong segera merunduk, melepaskan diri kesamping.
Orang yang berpakaian rapi tampaknya hanya tersenyum melihatnya.
Dengan gesit dia membalikkan tubuh dan terus memburu ke arah Wie Kie-hong.
Wie Kie-hong sekarang sudah lebih siap.
Dia tidak ingin dirinya didesak seperti sebelumnya, karena itu dia memaksa menerjang ke arahnya juga.
Tangan kanan Wie Kie-hong terjulur dengan cepat, dia berhasil menggenggam baju sutra orang yang berpakaian rapi.
Secepat kilat tangan kanan orang yang berbaju rapi mengkait pergelangan tangan Wie Kie-hong yang terjulur Genggaman tangannya sangat keras Mendadak tangan kiri orang yang berbaju rapi melesat hendak menampar pipi Wie Kie-hong.
Terpaksa Wie Kie-hong melepaskan genggam-an tangannya dari baju orang itu dan segera mencondongkan kepalanya kebelakang untuk meng-hindari sabetan.
Walaupun tidak mengenai pipinya, namun kerasnya sabetan tangan, menimbulkan angin yang cukup kuat.
Angin ini terasa dingin pada hidung Wie Kie-hong.
Tangan Wie Kie-hong masih belum terlepas dari genggaman keras orang yang berpakaian rapi.
Pergelangan tangannya mulai terasa sakit.
Wie Kie-hong sadar ini adalah kesempatan baik baginya untuk balas menyerang.
Posisi tangan orang yang berbaju rapi sangat tidak menguntungkan, tangan kiri yang tidak berhasil menampar sudah menyilang didepan dadanya.
Segera Wie Kie-hong memutar tubuhnya, dan menjulurkan tangan kiri yang masih bebas untuk menekan tangan kiri orang yang berbaju rapi.
Sekarang posisi mereka berdua agak kikuk, tangan kedua orang ini tampak berbelit.
Wie Kie-hong segera berteriak keras.
"CIAAATTT!!!" sekuat tenaga dia mendorong orang yang berpakaian rapi, dia berusaha memojokkan orang itu pada dinding, seperti dirinya tadi.
Kaki Wie Kie-hong berputar cepat diatas tanah.
Orang itu hanya menjejakkan kedua kakinya dengan mantap di lantai untuk menahan laju dorongan.
Pelan tapi pasti, orang itu terdorong mendekati dinding.
"BAGUS!" pikir Wie Kie-hong.
Sekarang dia sudah berada diatas angin.
Namun diluar dugaan, orang yang berbaju rapi tidak kehabisan akal saat terdesak ini.
Ketika sudah benar-benar dekat, kaki kiri orang yang berbaju rapi ditendangkan kebelakang.
"BRAAKK!!!" Kaki itu menjejak dinding dengan kuat.
Orang yang berbaju rapi tidak membuang waktu lagi, serta merta kaki kanannya dilecutkan kebelakang tinggi melewati kepalanya.
Masih dengan tangan yang saling berkait, orang yang berbaju rapi sudah bersalto meloncat keatas Wie Kie-hong.
Wie Kie-hong tersentak kaget, dia benar benar tidak menyangka akan terjadi seperti ini.
"HAAAAHHH !!!!" mereka berdua menjerit bersamaan, masing-masing melepaskan cengkraman tangan lawannya.
Orang yang berbaju rapi terus melayang menjauh karena lompatan salto nya yang keras.
Dia mendarat agak jauh dari Wie Kie-hong dengan sangat anggun...
Wie Kie-hong terpana, dia membungkuk mengatur nafas.
"Ilmu silatmu tidak jelek" "Tentu saja" Wie Kie-hong terengah-engah.
"Sekarang silahkan ikut denganku" Wie Kie-hong mengatur napas, lalu berkata: "Kenapa aku harus ikut denganmu?" "Karena tuanku memiliki sebuah kabar yang ingin diberitahukan padamu, kabar itu adalah kabar yang sedang kau cari selama ini" Wie Kie-hong mulai menyadari bahwa orang yang dihadapinya bukanlah orang yang gampang di atasi.
Majikannya sudah jelas bukan orang yang lemah.
Dia berusaha mengingatkan dirinya sendiri, jangan sampai terpengaruh oleh lawannya.
"Bolehkah memberi sedikit bocoran kabar apa yang akan dikatakannya padaku?" "Mengenai bagaimana kematian ayahmu" Kalimat ini menggelegar bagaikan suara petir membelah langit.
Kepala Wie Kie-hong serasa meledak menjadi seribu bagian.
Setelah bertahun-tahun, dia selalu menyelidik mencari jawaban ini kesana kemari.
Sekarang tiba-tiba jawabannya akan terwujud di diha-dapannya.
Hanya saja jawabannya terhalang oleh selembar 'kertas', asal saja dia menjulurkan tangannya, dia sudah bisa menyibakkan 'kertas'nya dan melihat jawabannya.
Mungkin juga dengan menyibakkan kertas ini dia akan menghadapi konsekuensi yang besar, mungkin juga 'kertas' ini adalah sebuah jebakan, namun dia tidak memperdulikan lagi.
"Apakah kau mau pergi?" "Baiklah!" Wie Kie-hong menjawab tanpa berpikir lebih banyak lagi, "harap anda menunggu sebentar diluar pintu masuk, aku akan segera keluar." Orang itu mengangguk, dia berjalan keluar pintu, lalu membalikkan tubuh, menutup pintu taman.
"Tuan Bu" Wie Kie-hong pelan berkata, "sekarang kita harus berbagi tugas.
Kita akan bertemu lagi disuatu tempat nanti.
Bagaimana menurutmu?" "Kalau begitu kau tentukanlah dahulu kapan dan dimana kita akan bertemu" "Bagaimana kalau kita bertemu disini lagi" "Tidak" Bu Tiat-cui menjawab dengan nada takut "untuk sementara waktu aku tidak ingin kembali ke tempat ini.
bagaimana kalau bertemu ditempatmu saja?" "Repot.
Tengah hari nanti apakah kau bisa mengambil koper tersebut?" "Waktunya lebih dari cukup" "Kalau begitu kita berdua akan bertemu di taman Bu Ling di kota Pek Hai.
Bagaimana?" "Jangan.
Kau menyuruhku membawa koper itu pergi ke tempat yang jauh, itu sangat berbahaya." Tiba-tiba Wie Kie-hong teringat pesan yang dititipkan oleh Leng Souw-hiang.
Oleh karena itu dia segera berkata: "Kalau begitu kita berdua bertemu di stasiun kereta saja tepat pukul dua belas siang.
Kita bertemu di pintu masuk, disana orang-orang yang membawa koper pasti sangat banyak" "Baiklah! Tepat jam 12 nanti kau harus datang." "Aku akan berusaha datang secepatnya.
Namun jika terjadi sesuatu diluar dugaan dan aku terlambat datang, kita tidak boleh berpisah sebelum kita bertemu .......Tuan Bu! Harap berhati-hati jangan sampai diikuti orang" "Aku tahu" Wie Kie-hong segera berjalan melalui pekarangan, dia membuka pintu dan terus berjalan keluar.
Di luar sebuah kereta kuda sudah menunggu-nya.
Pria berpakaian rapi yang tadi melawannya sudah duduk di tempat kusir menunggunya.
Sambil mempersiapkan cambuknya, dia turun kereta dan berdiri disamping pintu masuk kereta kuda.
Dia menyambut Wie Kie-hong seperti tamu terhormat naik kereta.
0-0-0
Perburuan Kereta kuda terus melaju.
Namun Wie Kie-hong tidak tahu kereta ini sedang melaju ke arah mana.
Sebelum naik kereta, orang itu meminta Wie Kie-hong dengan hormat mengikat sebuah kain berwarna hitam menutupi matanya.
Kie-hong sama sekali tidak bertanya.
Tampaknya Thiat-yan tidak ingin bertindak gegabah ....lagipula bisa terlihat bahwa ini adalah undangan yang diberikan padanya dengan cara yang sopan.
Wie Kie-hong menyetujui undangan ini.
dia berharap nona Thiat-yan akan mengatakan dimana ayahnya berada.
Setelah mulai berangkat, Wie Kie-hong terus mencoba berkonsentrasi mengingat kemana arah kereta kuda ini pergi.
Dia ingin mengetahui dimana kira kira tempat tinggal Thiatyan.
Namun akhirnya dia menyerah, karena sais kereta kuda rupanya sangat pintar.
Setelah berangkat, dia sengaja mengemudikan kereta kudanya berputar-putar.
Sebentar saja dia sudah membuat Wie Kie-hong kebingungan.