Dua hawa pukulan sin-kang bertemu dan akibatnya wanita baju hijau itu terhuyung ke belakang! Wanita baju hijau itu terkejut bukan main! Dia tadi merasa betapa tenaganya bertemu dengan tenaga yang amat kuatnya, yang membuat dadanya tergetar dan cepat dia menarik kembali tenaganya dan akibatnya dia terhuyung seperti disambar angin taufan. Wajahnya menjadi pucat dan dia memandang kepada sasterawan itu dengan mata terbelalak. Wanita di dalam tandu terdepan, yang berusia tiga puluh tahunan, mempunyai tahi lalat di dagu, berbaju kuning dan yang memiliki wajah paling manis di antara mereka berempat, juga melihat gerakan tadi dan dia memandang tajam kepada Kam Hong. Melihat sastrawan yang nampak lemah dan yang kini menunduk dengan sikap menyembunyikan diri itu, Si Baju Kuning menarik napas panjang.
"A-ciu, jangan membikin ribut!"
Tegurnya kepada Si Baju Hijau, dan dengan isyarat tangan, dia memasuki tandu, diikuti oleh Si Baju Hijau A-ciu dan dua orang temannya. Empat buah tandu lalu digotong oleh para penggotong yang bertubuh kuat itu dan mereka pun pergi dari depan warung yang mulai dipenuhi penonton itu.
"Siluman dia! Hemm, lain kali akan kuhajar dia!"
Siauw Goat berkata penasaran sambil bangun dan mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor. Para penonton diam-diam merasa geli akan tetapi juga kagum kepada anak perempuan yang bandel dan tidak mengenal takut ini. Agaknya Siauw Goat juga tahu bahwa orang-orang diam-diam mentertawakannya, maka setelah mengerling satu kali kepada Kam Hong dia lalu pergi dengan langkah lebar untuk kembali ke tempat pemondokan Lauw-piauwsu. Kam Hong sendiri lalu pergi dari situ tanpa menarik perhatian orang karena perbuatannya ketika menangkis pukulan wanita baju hijau itu dilakukan dengan tenaga sin-kang jarak jauh sehingga orang tidak melihat dia bergerak untuk bertanding.
Tidak ada yang tahu betapa pemuda ini diam-diam membayangi empat buah tandu yang digotong keluar dusun itu lagi setelah wanita-wanita itu di sepanjang jalan bertanya-tanya tentang "dua orang anak laki-laki kembar". Ketika terdengar berita bahwa badai salju sudah mereda, mulailah dusun Lhagat mengalami kesibukan-kesibukan. Mereka yang menamakan dirinya pelancong-pelancong dan pedagang-pedagang mulai berkemas karena mereka sudah harus menanti sampai beberapa hari lamanya, tertunda perjalanan mereka karena adanya badai salju itu. Kini, badai salju telah berlalu atau setidaknya mereda. Hal ini ditandai dengan mereda dan kecilnya angin dingin yang bertiup keras dalam beberapa hari ini melalui Lhagat, dari arah selatan dan barat.
Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali. Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap, membekali setiap anggauta rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan di liputi salju, berangkatlah rombongan ini. Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang tuanya,
Maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini. Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekalipun! Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia pun tadinya hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras,
"Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!"
Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat,
Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka. Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali dan dia kadang-kadang mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu. Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap,
Sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat seolah-olah mereka berlumba dalam mengejar sesuatu. Sering kali ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombo-ngan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biarpun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu. Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas.
Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang mengamuk selama berhari-hari itu. Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya! Orang itu mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-itung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.
"Jembel lagi! Menjemukan!"
Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.
"Ssttt, Siauw Goat....!"
Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut. Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja. Pengemis itu menggeliat lalu terbangun agaknya, menoleh.
Rombongan itu melihat bahwa wajah pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang mencorong amat tajamnya. Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar matahari dan sepasang mata yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh. Semua ini membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa pengemis muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan suara tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik mendaki lereng itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.
"Ihh, dia seperti iblis saja!"
Kata Siauw Goat.
"Siauw Goat, lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di sini banyak terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita kesalahan bicara dapat menimbulkan hal-hal yang hebat,"
Kata Lauw Sek menegur Siauw Goat.
"Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel lagi, tidak urung dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek tidak melihat mukanya yang menyeram-kan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh...."
Terpaksa Lauw-piauwsu tidak membantah lagi. Dia tahu bahwa watak anak perempuan ini keras dan pemberani bukan main, dan kalau dia mempergunakan sikap keras, mungkin akan menjadi makin berabe keadaannya.
"Mari kita melanjutkan cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak itu, kita harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana ada daerah berbatu di mana terdapat banyak guha untuk tempat bermalam dan berlindung dari salju."
Mereka melanjutkan pendakian dan kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain, bahkan juga menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak nampak lagi. Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap mereka tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Akan tetapi ternyata banyak juga orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan piauwsu ini untuk menemukan sebuah guha kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.
"Ihh, engkau lagi di sini!"
Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah. Kiranya ketika mereka memasuki guha, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada sesosok tubuh manusia rebah di sudut guha dan ketika dia mendekati untuk melihat lebih jelas karena cuaca sudah remang-remang, ternyata yang tidur di situ adalah Si Pengemis muda tadi! Pengemis itu menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan diam-diam Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah, bahkan tidak memakai pakaian tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!
"Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!"
Lauw Sek memperingatkan gadis cilik itu. Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang dipejamkan yang kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu seperti mentertawakan, maka dia menjadi semakin gemas.
"Eh, jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya, akan kuhajar! Kalau bukan, lekas kau keluar dari guha ini karena engkau menjemukan dan menjijikkan!"
Semua piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah keterlaluan menghina orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi pucat mukanya.
Akan tetapi pengemis itu seolah-olah tidak mendengar maki-makian Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum. Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang rendah. Dia duduk sambil menggaruk-garuk lehernya. Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu. Kemudian para piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan dengan diam saja, kadang-kadang mata mereka mengerling ke arah pengemis muda yang duduk membelakangi mereka di sudut guha. Tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di dalam guha itu, amat menyeramkan seolah-olah di sebelah dalam dari guha itu terdapat iblis-iblis yang ikut tertawa bersamanya. Kemudian pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar, kata-katanya tidak karuan! :
"Cinta itu gila, gagah itu lemah, pintar itu tolol! Mulut semanis-manisnya membohong sebesar-besarnya tapi sampai mati aku tidak bisa lupa....!"
Suara nyanyian itu pun bergema di dalam guha seperti para iblis ikut pula bernyanyi, lalu pengemis itu tertawa-tawa lagi. Akan tetapi suara ketawanya yang bergelak itu mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak dan suasana menjadi hening sekali, hening menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan. Pengemis itu menangis! Para piauwsu saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!
"Celaka, bermalam dengan orang gila!"