"Hemm, aku mendengar tadi keraguan melakukan perbuatan itu. Siapa yang memaksamu melakukannya?"
"Panglima Muda Bayisan..."
"Mengapa? Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan dibunuh?"
"Hamba... hamba tidak tahu... mungkin karena cemburu setelah ... Sribaginda menerima Salinga menjadi calon mantu..."
"Hemmm..."
Kwee Seng mengangguk-angguk, kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang Khitan itu telah roboh tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Setelah berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari kearah kuda mereka, meloncat kepunggung kuda setelah melepaskan kendali dari pohon, lalu membalapkan kuda kembali ke kota raja.
"Aku merasa kuatir sekali akan terjadi sesuatu di kota raja."
Kata Salinga. Akan tetapi ketika mereka tiba di kota raja, keadaan sunyi saja dan biasa, tidak ada tanda-tanda terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena pakaian mereka masih basah dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa tadi, mereka langsung melarikan kuda sampai depan istana.
"Kau pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak perlu kau ceritakan siapapun juga. Biar besok kita bertemu lagi dan kita bicarakan peristiwa itu!"
Salinga mengangguk. Tentu saja ia tidak mau bicara dengan siapa juga tentang peristiwa itu sebelum ia dapat membuka rahasianya. Peristiwa yang penuh keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar kudanya pergi, ia berkata.
"Adinda, sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai isi bungkusan sebagai bedak. Lebih baik suruh selidiki dulu oleh ahli obat."
Tayami mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami menyerahkan kuda kepada pelayan lalu berlari-lari memasuki istana, langsung ke kamarnya untuk bertukar pakaian. Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju ke rumahnya. Setelah para pelayan sibuk membuka pakaian basah sang puteri cantik ini, menyusuti tubuhnya sampai kering kemudian menggantikan pakaian bersih, lalu hendak menyanggul rambut yang belum kering benar itu, Tayami mengusir mereka,
"Keluarlah kalian semua, aku ingin mengaso seorang diri."
Sambil tersenyum-senyum maklum para pelayan itu berlari-lari keluar dan Tayami duduk diatas pembaringan dengan rambut terurai, seluruh tubuh terasa segar karena habis digosoki. Bungkusan yang dijatuhkan burung hantu tadi ia buka perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah sejenis obat bubuk yang halus sekali berwarna kuning. Begitu dibuka tercium bau yang amat harum oleh Tayami. Ganda harum ini dan tulisan yang menganjurkan agar ia memakainya sebagai bedak untuk mencegah malapetaka, membuat tangannya gatal-gatal untuk memakainya. Akan tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema ditelinganya. Salinga benar juga, pikirnya. Aku tidak tahu siapa yang memberi bedak ini, dan mencegah malapetaka apakah?
Di sini aman saja. Puteri Tayami bimbang antara kepercayaannya akan tahyul dan pesan kekasihnya. Bungkusannya yang sudah terbuka itu ia taruh diatas meja dekat pembaringan. Gadis puteri raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada dua pasang mata mengintai, penuh kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau dua orang yang mengintainya itu datang seperti setan, tanpa menimbulkan suara sedikitpun ketika kaki mereka menginjak genteng? Dan dua pasang mata itu memandang kagum kedalam kamar pun tak dapat dipersalahkan. Siapa orangnya, apalagi kalau ia laki-laki, takkan terpesona dan kagum melihat gadis puteri mahkota yang cantik jelita itu? Melihat ditukar pakaiannya oleh para dayang keraton, kemudian kini dengan pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk termenung seorang diri didalam kamar yang indah.
Kwee Seng yang datang terlebih dulu karena sejak tadi ia dari jauh mengikuti puteri ini, bersembunyi disudut atas, maka ia pun tahu akan kedatangan sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang membuka genting dan mengintai kedalam pula, seperti dia! Berdebar hatinya ketika mengenal orang itu, yang bukan lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk dibalas kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi karena ia pun terpesona oleh keindahan didalam kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun tangan, ingin melihat dulu apa yang dikehendaki Bayisan. Pula, melihat kecantikan Puteri Khitan, teringatlah ia kepada Liu Lu Sian dan Ang-siauw-hwa, membuatnya termenung dan penyakitnya hampir kumat! Tayami yang sedang termenung didalam kamarnya, mengenang peristiwa di sungai tadi. Teringat akan kekasihnya, ia tersenyum. Akan tetapi ketika ia teringat akan peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia memandang bubukan obat.
Apakah maksudnya pengirim obat ini? Benarkah burung itu bukan burung biasa? Ataukah disuruh oleh orang sakti? Sungguh harum baunya bedak ini. Dan kalau memang bedak ini dipakai untuk menolak malapetaka, apa salahnya? Tentu pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau aku pakai sedikit untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus runcing itu bergerak mendekati kertas, hendak menjumput bedak. Akan tetapi tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin bergoyang-goyang. Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang terbuka lebar sambil membalikkan tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget melihat bahwa didalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki yang tersenyum-senyum, Bayisan!
"Kanda Panglima Bayisan...! Apa artinya ini? Mengapa kau masuk kesini secara begini?"
Tayami bertanya gagap. Bayisan memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis didepannya, mulutnya menyeringai lalu terdengar ia berkata, suaranya gemetar penuh perasaan,
"Alangkah indahnya rambutmu, Tayami... alangkah cantik engkau...., bisa gila aku karena berahi melihatmu...."
Tiba-tiba Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar kemerahan.
"Kanda Panglima! Apakah kau sudah gila? Berani kau bersikap kurang ajar seperti ini didepanku? Pergi kau keluar! Kau tahu apa yang akan kau hadapi kalau kuadukan kekurangajaranmu ini kepada ayah!"
Bayisan tertawa mengejek.
"Huh! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal malam ini kau sudah menjadi milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja Khitan, kau lebih patut menjadi isteriku daripada menjadi isteri seorang berdarah seorang berdarah pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah... aku sudah terlalu lama menahan rindu berahiku...!"
Bayisan melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan seperti akan memeluk, mataya yang agak kemerahan karena nafsu itu disipitkan, mulutnya menyeringai.
"Bayisan, berhenti! Kalau tidak, sekali aku menjerit kamar ini akan penuh pelayan dan penjaga. Kemana hendak kau taruh mukamu?"
"Heh-heh-heh, menjeritlah manis. Para pelayan dan penjaga sudah kutidurkan pulas dengan totokan-totokanku yang lihai. Lebih baik kau menurut saja kepadaku, kau layani cinta kasihku dengan suka rela karena... karena terhadapmu aku tidak suka menggunakan kekerasan."