Si Teratai Emas Chapter 54

NIC

“Kemarin Tuan Muda Mantu mengunjungi saya dan mengeluh betapa kerasnya Nyonya Pertama memegang peraturan di dalam keluarga ini. Dia minta kepada saya untuk menyerahkan surat ini kepadamu, agar nyonya ketahui bahwa dia bersungguh-sungguh dalam hatinya. Dia mengharapkan agar nyonya tidak berputus asa.” Kim Lian membaca surat pendek itu di mana Ceng Ki menyatakan perasaan hatinya yang penuh rindu, dan mengharapkan agar kelak mereka akan dapat memperoleh jalan sehingga mereka dapat hidup sebagai suami isteri. Setelah membacanya, senyum kegembiraan kembali muncul di bibir Kim Lian yang mungil, dan isi surat itu ternyata telah melegakan hatinya. “Cheng-Kongcu minta agar nyonya suka membalas atau memberi tanda bahwa suratnya telah nyonya terima,” kata Bibi Pi yang pandai sekali dalam urusan semacam itu. Kim Lian masuk ke dalam kamarnya, mengambil sehelai saputangan sutera putih dan sebuah cincin emas. Di atas saputangan putih itu ia tuliskan kata-kata tentang pernyataan dan setianya, juga kerinduannya kepada Ceng Ki. Bibi Pi cepat menyimpan surat saputangan itu dan cincinnya, berikut pula upahnya sebanyak lima potong uang, dan cepat ia keluar dari rumah keluarga itu dan menjumpai Ceng Ki yang telah menantinya di kedai arak.

Setelah menyerahkan saputangan dan cincin yang diterima dengan girang oleh Ceng Ki, ia memberitahukan bahwa sebelum pergi tadi ia dipanggil oleh Goat Toanio dan diberitahu bahwa ia harus kembali malam hari itu untuk membawa pergi Cun Bwe karena dianggap bahwa Cun Bwe bekerja sama dengan Kim Lian dalam hubungannya dengan Ceng Ki, bahkan pelayan itu sendiripun mempunyai hubungan dengan Ceng Ki. Karena itu, menurut Goat Toanio, ia harus dikeluarkan dan dijual kepada keluarga lain. Mendengar ini, Ceng Ki menarik napas panjang. Goat Toanio yang berkuasa dalam keluarga itu, dan dia tidak dapat berbuat sesuatu dan tidak berani menentang keputusan yang di- ambilnya. Malam itu, Bibi Pi kembali menghadap Goat Toanio.

“Dahulu aku membelinya darimu untuk enam belas ons,” kata Goat Toanio kepada perantara ini, “Sekarang aku hanya minta harga yang sama.” Kemudian Goat Toanio dengan sikap tenang berwibawa berkata kepada Siauw Giok, pelayannya sendiri, “Bawa Bibi Pi kepada Cun Bwe. Ia harus membawa semua miliknya sendiri dan siap untuk berangkat sekarang juga bersama Bibi Pi. Akan tetapi semua pakaian dan perhiasannya tidak boleh dibawa.” Kim Lian terkejut sekali melihat Bibi Pi datang lagi dan memberitahukan bahwa ia diperintahkan oleh Goat Toanio untuk membawa pergi Cun Bwe malam itu juga. Ia merasa berduka karena harus kehilangan satu-satunya orang di dalam rumah itu yang dipercayanya.

“Aih, kami telah menjadi sahabat baik,” katanya dengan mata basah.

“Sejak kematian suamiku, kami telah mengalami banyak kesulitan bersama, dan sekarang ia diambil dariku, ini sungguh kejam, sungguh jahat Goat Toanio terhadap diriku! Hanya karena dapat mempunyai seorang anak yang buruk itu ia mengira bahwa ia dapat menginjak-injak kami!” Betapapun juga, Kim Lian tidak mungkin dapat membantah atau menentang keputusan yang diambil oleh Goat Toanio yang kini menjadi orarng yang paling berkuasa di dalam rumah tangga itu. la dan Cun Bwe hanya dapat saling rangkul, dan bertangisan ketika pembantunya itu berpamit. Pada keesokan harinya, Chen Ceng Ki mengunjungi rumah Bibi Pi dan minta bertemu dengan Cun Bwe.

“Bagus sekali engkau ini!” Cun Bwe menyambutnya dengan celaan. “Engkau dan majikanku telah melempar aku ke dalam lembah kesengsaraan!”

“Adik manis,” kata Ceng Ki dengan ramah. “Setelah engkau pergi aku tidak tahan lagi tinggal di rumah itu. Aku telah mengambil keputusan untuk menceraikan isteriku dan menikah dengan majikanmu. Akan tetapi aku harus lebih dulu pergi ke Ibukota Timur untuk berunding dengan orang-tuaku. Dan untukmu sendiri, dengan bantuan Bibi Pi, kuharap dengan setulus hatiku agar engkau dapat memperoleh jodoh yang baik.” Dan Bibi Pi memang merupakan seorang perantara yang pandai sekali. Baru beberapa hari saja, ia telah dapat menarik hati Pembesar Chouw yang berani membeli gadis muda yang segar dan hangat, juga pandai dan cantik dengan harga lima puluh ons. Bibi Pi mengantungi keuntungan tiga puluh empat ons dalam jual beli ini, dan dengan wajah berseri ia menyerahkan enam belas ons kepada Goat Toanio. Di depan Goat Toanio, ia masih dapat mengeluh bahwa ia hanya menerima hadiah satu ons saja dari pembesar yang membeli Cun Bwe, dan tentu saja Goat Toanio tidak tinggal diam dan memberinya hadiah setengah ons lagi. Demikianlah nasib Cun Bwe, seorang gadis yang tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri yang dijadikan seperti barang dagangan, dapat diperjual-belikan sesuka hati yang “memilikinya” atau menguasainya. Pada suatu hari, Chen Ceng Ki dan Pengurus Toko Obat yang bernama Fu sedang sibuk melayani para langganan, ketika pengasuh Yu I masuk menggendong putera Goat Toanio. Melihat banyak orang yang tidak dikenalnya di tempat itu, anak itu mulai merengek dan menangis.

“Diamlah engkau, anak nakal!” Ceng Ki membentak dan seketika anak itu diam karena takut dibentak seperti itu. Melihat hasil ini, Ceng Ki berkata kepada para langganan yang berada di situ, “Lihat, dia mentaati perintah Ayahnya. Aku adalah Ayahnya, tentu saja.” Tentu saja ucapan ini dimaksudkan sebagai kelakar, akan tetapi Yu I menerimanya dengan hati panas karena marah.

“Bagus sekali apa yang kau katakan di depan semua orang ini. Tunggu saja. Akan kuberitahukan majikanku!”

“Kalau kau berani, akan kutendang pinggulmu!” Ceng Ki masih berkelakar dan membuat gerakan seolah- olah hendak menendang pinggul Yu I. Akan tetapi Yu I tidak melayani kelakar Ceng Ki, bahkan segera lari dengan marah menghadap Goat Toanio dan melaporkan kejadian itu.

“Coba nyonya bayangkan, tuan muda Ceng Ki mengatakan di depan semua orang bahwa dia adalah Ayah dari putera nyonya!” Mendengar ini, wajah Goat Toanio menjadi merah sekali.

Keterlaluan kelakar Ceng Ki itu yang dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya, seolah-olah mengatakan bahwa ia telah berbuat serong dengan mantu suaminya! Seketika ia jatuh pingsan. Tentu saja seluruh keluarga menjadi panik dan lari berdatangan mendengar jeritan Siauw Giok dan Yu I. Setelah Goat Toanio ditolong, diberi minum jahe hangat dan siuman kembali, ia tidak dapat berkata apa- apa saking marahnya. Para isteri yang lain, juga para pelayan, mengundurkan diri dan hanya Sun Siu Oh, nyonya ke empat saja yang masih tinggal. Sun Siu Oh memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada Kim Lian yang dianggap memonopoli suami mereka. Kini ia memperoleh kesempatan untuk menyatakan tidak sukanya kepada saingan itu di depan Goat Toanio.

“Ceng Ki tentu merasa jengkel karena engkau tidak membolehkan dia bermain gila dengan Kim Lian, dan juga karena engkau telah mengusir Cun Bwe. Karena itu dia menyatakan kejengkelannya dengan menghinamu. Kalau aku menjadi engkau, Taci, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan bertindak. Engkau tidak akan dapat tenteram sebelum menyingkirkan pasangan yang busuk itu. Satu-satunya kesukaran hanyalah bahwa kita harus mengingat kepada puteri suami kita. Akan tetapi bagaimanapun juga, setelah ia menikah ia sudah menjadi keluarga lain. Tidak seorangpun akan membenarkan kalau engkau terus menahan mereka tinggal di sini, selamanya. Kalau aku, hemm, aku akan memberi hukuman cambuk kepada Ceng Ki, kemudian aku akan mengusirnya. Dan aku akan memanggil Bibi Wang agar membawa pergi Kim Lian dari sini. Dengan adanya perempuan yang selalu mendatangkan keributan itu di sini, hidup kita takkan tenteram. Ia harus pergi dari sini. Untuk apalagi mempertahankan seorang yang jahat sepertinya”

Goat Toanio mendengarkan ucapan itu dengan hati yang sedang marah dan iapun mengangguk, menyetujui ucapan madunya dan berunding dengan Sun Siu Oh, tindakan apa yang harus diambil. Pada keesokan harinya mereka melaksanakan rencana mereka. Dengan alasan hendak membicarakan urusan perusahaan, Chen Ceng Ki dipanggil menghadap di ruangan duduk. Begitu dia muncul, Goat Toanio memerintahnya untuk berlutut, sambil membentak,

“Apakah engkau mengakui kesalahanmu?” Akan tetapi Chen Ceng Ki tidak mau berlutut dan tidak mau mengakui kesalahannya, maka, atas isyarat Goat Toanio, delapan orang pelayan yang kuat-kuat dan yang tadi bersembunyi di balik tirai, kini datang mengepung Ceng Ki dan mengeroyok, memukulinya dengan tongkat-tongkat panjang dan pendek.

Tentu saja Ceng Ki terkejut sekali dan percuma saja dia mencoba melakukan perlawanan karena tubuhnya sudah dihujani pukulan tongkat-tongkat itu sehingga dia roboh ke atas lantai. Dia menjadi panik sekali. Bisa mati dia dikeroyok dan dipukuli wanita-wanita yang sedang marah ini. Maka muncullah suatu gagasan yang baik untuk menyelamatkan dirinya. Cepat dia membuka dan memerosotkan celananya sehingga bertelanjang. Melihat ini, delapan oreng wanita itu tentu saja menjadi malu sekali dan mereka segera mengundurkan diri, berlarian bersembunyi di balik tirai seperti kanak-kanak melihat setan. Goat Toanio sendiri diam-diam merasa geli dan untung ia masih dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Melihat Ceng Ki merangkak bangun dan melarikan diri tanpa berkata sepatahpun kata, ia hanya memaki,

“Manusia tak tahu malu!” Sambil melarikan diri, Ceng Ki memuji diri sendiri. Akalnya tadi sungguh baik dan telah menyelamatkan dirinya, karena setidaknya dia tentu akan mengalami siksaan dan luka-luka kalau pengeroyokan tadi dilanjutkan.

Goat Toanio menyuruh pelayan Lai An mengejar Ceng Ki dan memberitahu bahwa orang itu harus segera membuat perhitungan dan menyerahkan urusan toko kepada pengurus Fu. Chen Ceng Ki maklum bahwa tak mungkin dia tinggal terus di rumah itu, maka diapun mengemas barang-barangnya dan pergi hari itu juga meninggalkan keluarga itu mengucapkan selamat tinggal. Dia pergi pindah ke rumah orang- tuanya, di mana Paman dan Bibinya Chang tinggal. Beberapa hari kemudian Goat Toanio yang sudah berhasil mengusir Chen Ceng Ki, mengutus kacung A Tai ke rumah Bibi Wang. Belum lama ini, Bibi Wang telah menutup kedai tehnya, karena puteranya yang tadinya bekerja keluar kota kini telah pulang, berhasil mengumpulkan sedikit modal dan kini membuka penggilingan gandum di pekarangan rumah mereka. Bibi Wang menerima kacung A Tai.

“Aih, sudah lama sekali aku tidak mendapatkan kehormatan kunjungan dari keluarga majikanmu. Tentu engkau datang atas suruhan Nyonya Ke Lima. Apakah barangkali ia ingin minta bantuanku dalam suatu hal?”

“Sama sekali tidak “ jawab A Tai.

“Yang mengutus aku ke sini adalah Nyonya Pertama. Ia menghendaki agar bibi mengambil Nyonya Ke Lima dan mencarikan seorang suami untuknya. la telah berbuat serong dan melakukan hubungan gelap dengan tuan muda Chen, mantu majikan.”

“Ya Tuhan, sungguh memalukan! Aku pernah berkata kepada diri sendiri bahwa Ia takkan dapat bertahan lama setelah majikan Shi Men meninggal dunia. Ketika suaminya. masih hidup dan aku pernah datang berkunjung, wah sombongnya bukan main dan Ia hampir tidak mengenalku lagi. Aku diberi suguhan teh murah dan ketika aku pulang, aku diberi penjepit rambut yang patah. Sekarang, lenyaplah semua kemuliaan darinya.” Ketika Kim Lian dipanggil oleh Goat Toanio. diberitahu akan keputusan yang diambil, bahwa ia harus meninggalkan keluarga itu, diam-diam Kim Lian merasa lega. Semenjak kepergian Chen Ceng Ki dan pelayannya, Cun Bwe, ia memang sudah merasa tidak tahan lagi tinggal dalam kungkungan keluarga itu, merasa seperti dalam penjara. Akan tetapi, mendengar keputusan itu, ia bersikap pura-pura penasaran, seolah-olah orang tak berdosa menerima hukuman.

“Apakah yang kulakukan maka engkau mengusir aku begini tiba-tiba sekali?” ia bertanya dengan Suara penuh rasa penasaran kepada Goat Toanio, “Sesungguhnya tidak benar kalau engkau mendengarkan celoteh para pelayan yang melontarkan fitnah kepadaku sehingga engkau mengusir aku begini kejam setelah aku tinggal di sini sebagai saudaramu selama bertahun-tahun. Tentu saja aku tunduk kepada perintahmu yang memegang kekuasaan di sini. Akan tetapi, tidak sepantasnya kalau engkau memamerkan kekuasaan sampai berlebihan dan memukul rekan sendiri di mukanya.” Tak seorangpun di antara para anggauta keluarga yang mengantar Kim Lian keluar, kecuali Siauw Giok yang diam-diam merasa kasihan juga melihat pengusiran terhadap Kim Lian. Siauw Giok mengantarnya sampai ke pintu gerbang dan memberikan dua buah tusuk sanggul dari emas kepada Kim Lian.

“Terima kasih, engkau ternyata masih memiliki perikemanusian,” kata Kim Lian yang merasa oleh sikap Siauw Giok. Kemudian ia memasuki joli, dan beberapa orang kuli yang dikirim Bibi Wang, memikul dua buah peti pakaian Kim Lian. Dunia berputar terus! Nasib ikut pula berputar, ada kalanya di atas dan ada kalanya di bawah! Karena maklum akan hal ini, bahwa manusia tidaklah abadi, seorang bijaksana tidak menjadi mabuk dan tinggi hati apabila sedang berada di atas akan tetapi juga tidak putus asa dan rendah diri apabila sedang berada di bawah.

Di dalam rumah Bibi Wang, Kim Lian Menempati sebuah kamar, duduk sendiri, akan tetapi di Waktu malam ia harus tidur dalam satu kamar dengan Nenek itu. la menghabiskan waktunya dengan berias diri kemudian berdiri di depan untuk melihat orang-orang yang lalu lalang, presis seperti keadaannya dahulu. Atau ia duduk dalam kamarnya dan bermain siter, atau kadang-kadang ia bermain kartu dengan Chouw, putera Bibi Wang, kalau kebetulan Bibi Wang pergi. Dalam kesepian dan haus kasih sayang pria, dalam waktu beberapa hari saja, diam-diam Kim Lian telah mengadakan hubungan gelap dengan Chouw, Pada malam hari, kalau Bibi Wang telah pulas, dia meninggalkan kamar itu dan masuk ke dalam kamar pemuda itu untuk menyalurkan gairahnya yang tak pernah padam! Berbeda sekali dengan nasib Kim Lian,

Posting Komentar