Si Teratai Emas Chapter 53

NIC

Ketika puteranya berusia hampir satu. tahun, Goat Toanio ingin sekali memenuhi, keinginannya yang sudah lama terpendam di dalam hatinya, yaitu mendaki Gunung Thai-San untuk bersembahyang. Perjalanan itu akan memakan waktu kurang lebih dua minggu dan ia dikawal oleh Kakaknya dan dua orang kacung yaitu Lai An dan A Tai.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di kota distrik Tai-An-Couw, dan Gunung Thai-San sudah nampak menjulang tinggi di depan mereka. Mulailah mereka mendaki Gunung Thai-San. Perjalanan yang cukup melelahkan dan sukar. Tujuannya adalah sebuah Kuil di satu diantara puncak Pegunungan Thai- San yang tidak begltu tinggi namun cukup melelahkan bagi Goat Toanio walaupun ia dipikul dalam sebuah joli. Ketika mereka kemalaman di lereng gunung, mereka melihat sinar api di kejauhan. Mereka segera menghampirinya dan ternyata api itu adalah lampu minyak yang menyinar dari dalam sebuah guha dan seorang Pertapa duduk bersila di situ. Kakak Goat Toanio segera memberi salam dan menanyakan jalan ke Kuil yang mereka ingin kunjungi.

“Pinto adalah Pertapa Pu Ceng yang sudah tiga puluh tahun bertapa dan tinggal di guha” kata Kakek itu.

“Kalian berada di lereng timur Thai-San. Bukan kebetulan saja kalian tiba di guha ini, melainkan sudah dlkehendaki oleh Takdir. Kelak akan kalian rnengerti sendiri. Akan tetapi sebaiknya kalian tidak melanjutkan perjalanan malam ini. Di daerah ini tidak aman, terdapat perampok dan binatang buas. Kalian boleh melewatkan malam di sini dan besok Pinto (saya) akan menunjukkan jalan kepada kalian.” Terima kasih, Totiang (bapak Pendeta),” kata Kakak Goat Toanio.

“Siapakah Nyonya itu?” tanyanya.

“Nyonya itu adalah adik saya, janda dari mendiang Hakim Distrik Ceng-Ho-Sian.” Sepasang mata yang tajam dari Pertapa itu mengamati Goat Toanio penuh perhatian. Kemudian ia menunjukkan kamar- kamar dalam guha yang luas itu kepada para tamunya. Pada kesokan harinya, ketika hendak melanjutkan perjalanan setelah mengaso semalam dalam guha yang melindungi mereka dari kegelapan dan angin dan hawa dingin itu, Goat Toanio hendak menghadiahkan segulung kain untuk membalas kebaikan Pertapa itu. Akan tetapi Pertapa itu menggeleng kepala dan berkata, “Pinto tidak menghendaki benda, akan tetapi menginginkan putera Toanio. Dia akan menjadi murid Pinto dan kelak melanjutkan pekerjaan Pinto yang suci.” Tentu saja permintaan ini mengejutkan hati Goat Toanio yang memandang kepada Kakaknya dengan bingung.

“Memang benar bahwa adik saya mempunyai seorang putera, akan tetapi puteranya hanya seorang itu,” kata Wu, Kakak Goat Toanio.

“Kelak dia akan menjadi ahli waris tunggal dari, keluarganya, dan akan melanjutkan pekerjaan Ayahnya. Karena itu, kiranya Totiang maklum bahwa tidak mungkin kami memenuhi permintaan Totiang. Andaikata ia memiliki beberapa orang putera, tentu akan senang sekali ia memenuhi permintaan Totiang.”

“Juga puteraku itu masih terlalu kecil, belum satu tahun usianya, sehingga tidak akan ada gunanya bagi Totiang,” Goat Toanio menambahkan.

“Pinto dapat menunggu,” Kakek itu mendesak. “Dalam waktu lima belas tahun Pinto akan mengulangi permintaan Pinto. Apakah Toanio akan memenuhi permintaan Pinto kelak?” Goat Toanio berpikir. la tidak ingin menyinggung perasaan Kakek yang sudah begitu baik kepadanya. Dan lima belas tahun adalah waktu yang lama, segala boleh terjadi dalam waktu selama itu, Kakek ini mungkin sudah mati, dan urusan itupun akan dilupakan.

“Baiklah, saya setuju. Setelah lewat lima belas tahun, Totiang boleh mengambil puteraku,” katanya dengan hati ringan. Kita pada umumnya demikian mudah melempar janji, dan kita mengabaikan urusan kecil. Kita lupa bahwa api yang besar berkobar itu dimulai dari api kecil.

Segala sesuatu terjadi karena kata-kata yang keluar dari mulut kita. Oleh karena itu, orang bijaksana lebih suka menutup mulut daripada membukanya. Selalu yakin bahwa, sekali membuka mulut, yang masuk mulut hanyalah yang bersih dan bermanfaat saja, sebaliknya yang keluar dari mulut juga hanya yang bersih dan bermanfaat saja. Setelah selesai bersembahyang di Kuil Pegunungan Thai-San itu, Goat Toanio pulang dan ia disambut dengan gembira oleh semua anggauta keluarga. la segera bersembahyang di depan meja sembahyang suaminya, kemudian menimang puteranya yang sudah dirindukannya, dan mengambil keputusan untuk beristirahat di dalam kamarnya selama dua tiga hari untuk melenyapkan kelelahan yang diderita tubuhnya selama melakukan perjalanan mendaki gunung itu.

Hubungan jina antara Kim Lian dan Chen Ceng Ki sudah menjadi rahasia umum bagi semua keluarga di rumah itu. Siauw Giok, pelayan Giok Toanio, sudah merasa gatal mulut untuk melaporkan peristiwa memalukan itu kepada majikannya. Akan tetapi ia ingin agar majikannya menangkap basah pertemuan rahasia itu agar ia tidak dituduh pelempar fitnah tanpa bukti. Ia harus hati-hati menghadapi Kim Lian yang licik dan cerdik. Karena itu, setelah majikannya pulang, mulailah ia membayangi Kim Lian dan melakukan pengintaian. Beberapa hari kemudian, usahanya berhasil. la melihat Kim Lian dan Cheng Ceng Ki memasuki kamar di loteng. Cepat ia menghadap Goat Toanio dan membuat laporan.

“Sudah lama sekali mereka mengadakan hubungan kotor,” katanya mengakhiri pelaporannya. “Bahkan saat inipun mereka sedang berjina di dalam kamar di atas loteng. jika Toanio tidak percaya kepada saya, marilah, Toanio dapat melihat dan membuktikannya sendiri.” Goat Toanio cepat bangkit dan mengikuti Siauw Giok memasuki taman. Pada saat itu, Kim Lian sedang berpelukan dan berciuman dengan Chen Ceng Ki, ketika Siauw Giok lari naik ke loteng sambil membuka pintu kamar loteng dan berteriak, “Awas Goat Toanio datang!” Mendengar ini, Chen Ceng Ki berlari keluar kamar dengan hati merasa tidak enak sekali. Kemudian barulah Kim Lian keluar dari dalam kamar, rambutnya awut-awutan, demikian pula pakaiannya. “Hemm, engkau sepatutnya memiliki sopan santun dan menjaga tata susila di rumah tangga ini!” kata Goat Toanio marah dan iapun lalu membalikkan tubuhnya, meninggalkan Kim Lian yang berdiri dengan muka merah. Dan akibatnya, malam itu Chen Ceng Ki bertengkar dengan isterinya yang mendengar akan hal itu dari Goat Toanio. Ceng Ki dapat menerima makian isterinya tentang ketidaksetiaannya, akan tetapi dia bangkit marah ketika isterinya memakinya sebagai orang yang hidup bermalasan dan tidak tahu malu bersandar kepada keluarga Ayahnya.

“Siapa yang bersandar?” bentaknya.

“Bukankah ketika aku datang ke sini, aku menanam saham sebanyak lima ratus ons? Akupun bekerja di sini, bukan bermalas-malasan saja!” Teriaknya dan dengan marah diapun pergi meninggalkan isterinya yang menangis.

Tentu saja peristiwa itu tidak memungkinkan bagi Kim Lian dan Ceng Ki untuk mengadakan pertemuan rahasia lagi. Sampai sebulan mereka tak pernah saling bertemu, bahkan tidak pernah saling berpapasan. Tentu saja keduanya merasa rindu dan gelisah sekali. Pada suatu hari, Ceng Ki berjumpa dengan Bibi Pi, seorang yang sudah biasa menjadi perantara dalam pernikahan maupun dalam pencarian seorang calon selir. Dia mengajak wanita tua itu ke dalam sebuah kedai arak dan di situ, sambil berbisik-bisik dia menceritakan bahwa dia telah mengadakan hubungan rahasia dengan Kim Lian dan betapa mereka berdua telah dipergoki Goat Toanio sehingga selama sebulan terakhir ini mereka merasa tersiksa dan sama sekali tak pernah dapat saling bertemu. Bibi Pi rnembelalakkan matanya dan bertepuk tangan menyatakan keheranan dan kekagetannya mendengar keterangan Ceng Ki itu.

“Ya Tuhan, engkau sungguh keterlaluan sekali, Kongcu Bermain cinta dengan selir dari Ayah mertua sendiri,! Sungguh suatu pelanggaran dari kesusilaan. Nah, apa yang dapat kulakukan dalam urusan ini?”

“Tolonglah aku untuk menyampaikan suratku ini kepadanya.”

“Ah, begitukah? Baiklah, akan kuadakan kunjungan kepada Goat Toanio dan kesempatan itu dapat kupergunakan untuk menghadap padanya.” Tentu saja Ceng Ki menjadi girang, menyerahkan suratnya berikut satu ons uang untuk “minum teh.” Pada hari berikutnya, Bibi Pi mengunjungi keluarga Shi Men. Pertama-tama ia menghadap Goat Toanio, menawarkan beberapa macam perhiasan rambut seperti yang sering ia lakukan. Kemudian iapun berkunjung kepada nyonya ke Tiga dan ke Empat, dan untuk menjaga agar tidak dikatakan tidak sopan, iapun berkunjung kepada Nyonya ke Lima. Pada saat itu, Kim Lian sedang menghibur hatinya yang kesepian dengan minum arak, dilayani oleh Cun Bwe, pelayannya. Melihat betapa kedua orang wanita itu dalam keadaan gembira karena pengaruh arak, Bibi Pi lalu berbisik,

Posting Komentar