“Apakah engkau telah menerima kirimanku, Kongcu?” tanya Wang Liok Hwa dengan kerling tajam memikat dan senyum manja.
“Sukakah engkau akan benda itu? Saya telah mengorbankan segumpal rambut saya untukmu “
“Wah, indah sekali barang kirimanmu itu. Terima kasih!” Setelah tubuh dan hati menjadi panas, Shi Men lalu menelan sebutir pel kuat pemberian pendeta Fan itu, kemudian mengajak kekasihnya pindah ke tempat tidur. Akan tetapi, biarpun Shi Men telah meminum pel dan Wang Liok Hwa telah mengeluarkan semua keahliannya untuk menyenangkan hati kekasihnya, tetap saja Shi Men tidak kelihatan bergembira seperti biasa. Pikirannya masih melayang-layang kepada Nyonya Hou yang telah membuatnya tergila- gila.
“Apakah engkau masih sungguh-sungguh mencintaku?” tanya Shi Men sambil lalu untuk menghibur pikirannya yang terus membayangkan wanita lain itu.
“Perlukah engkau bertanya lagi kepada saya, Kongcu? Aih, saya mencintamu dengan sepenuh jiwa dan ragaku, Kongcu, tanpa Kongcu, hidupku akan menjadi kosong tiada artinya bagiku. Saya selalu merasa gelisah kalau membayangkan kembalinya suamiku dari perjalanannya. Saya membencinya, bahkan untuk bicara saja dengannya saya merasa muak.” Senanglah hati Shi Men mendengar ini, percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya bicara sesungguhnya.
“Bagaimana kalau sepulangnya nanti aku akan memberi seorang isteri lain kepadanya?”
“Ya, Kongcu, carikanlah seorang isteri lain untuknya!” kata Wang Liok Hwa yang kelihatan gembira. “Kalau sudah begitu, terserah Kongcu apakah, saya akan tinggal sendirian ataukah akan Kongcu boyong ke dalam rumah keluarga Kongcu.” Ia merangkul manja. “Sekarang tubuh dan nyawaku adalah milikmu seorang.” Shi Meh mengeluarkan selembar uang kertas.
“Ambillah ini, dan engkau boleh mengambil sebuah pakaian baru, sesukamu, di toko suteraku yang ke dua itu!” Wang Liok Hwa mengucapkan terima kasih dengan pencurahan kasih sayang yang semakin mesra. Ia membayangkan bahwa ia akan diboyong ke dalam keluarga Shi Men sebagai pengganti isteri Ke Enam, maka iapun mencurahkan seluruh perasaannya untuk melayani dan memuaskan hati Shi Men malam itu.
Setelah tengah malam, Shi Men naik ke atas pelana kudanya dan berangkat pulang. Perlahan-lahan dia menjalankan kudanya melalui Jalan Singa menuju ke barat. Jalan itu kini telah menjadi sunyi sekali, diterangi oleh sinar bulan yang dikurung awan. Shi Men berada dalam ke adaan mabuk dan juga lelah sekali, mengantuk. Dua orang kacungnya, A Tai dan Kiu Tung, berjalan di kanan kiri kudanya, berjaga- jaga kalau-kalau majikan mereka itu akan terjatuh dari kudanya setelah tadi mereka membantunya naik, sedangkan kacung ke tiga, Wang Ceng, membawa lentera berjalan di depan untuk menerangi jalan. Ketika mereka tiba di ujung jalan Singa, di dekat jembatan marmar yang menyeberangi kanal, tiba-tiba Shi Men melihat bayangan aneh yang kabur, berwarna abu-abu melayang-layang keluar dari bawah jembatan dan terbang dekat sekali di depannya.
Kudanya agaknya juga melihat ini karena kuda itu meringkik kaget, mengangkat kedua kaki depan kemudian dengan ketakutan kuda itu meloncat dan lari secepatnya seperti. di terbangkan angin dan baru setelah tiba di depan pintu gerbang rumah Shi Men, kuda itu berhenti secara mendadak dengan mulut berbuih dan tubuh gemetar. Ketika kuda tadi kabur, Shi Men menelungkup dengan takut sekali, dan berhasil mencengkeram bulu kuda sehingga tidak terlempar jatuh, dan kini, telah kehabisan tenaga, dia melorot turun dibantu oleh penjaga pintu gerbang. yang cepat berlari menyambutnya. Tiga orang kacung datang dan ketakutan karena mereka tahu bahwa tadi telah bertemu dengan Malaikat Elmaut dan Ini menandakan bahwa dalam waktu dekat akan terdapat kematian. Dalam keadaan lelah dan masih ketakutan, Shi Men dibantu oleh kacung-kacungnya, minta diantar ke pondok Kim Lian.
Kim Lian memang sedang menunggunya, dan belum tidur. Ia membantu Shi Men membuka sepatu dan pakaian, membawanya langsung ke tempat tidur. Begitu tubuhnya menyentuh kasur, Shi Men segera tertidur. Dia demikian lelah dan mabuk, dan kini Kim Lian hanya dapat mendengar dengkurnya saja. Hati wanita ini mendongkol. Sejak tadi dia menanti dengan hati penuh kerinduan, dengan gairah yang ditekan-tekan dan ditahan-tahannya. Sekarang, setelah yang ditunggu-tunggu datang, ternyata laki-laki ini hanya datang untuk tidur mendengkur! Ia lalu mulai mencumbu suaminya itu. Akan tetapi Shi Men tetap saja tidur. Karena tidak sabar lagi, Kim Lian menguncang-guncang tubuhnya sampai dia terbangun.
“Di mana engkau menyimpan pel kuat dari Pendeta Fan itu?” tanyanya, berbisik di dekat telinga suaminya.
“Aahh, biarkan aku tidur. Jangan ganggu aku, aku lelah sekali. Malam ini, aku tldak ingin apa-apa lagi kecuali tidur,” Shi Men menggumam setengah sadar.
“Tapi, di mana pel itu kau simpan, Koko?” Kim Lian mendesak. Karena tidak ingin diganggu, Shi Men menjawab dengan mata masih terpejam.
“Di dalam saku bajuku, dalam peti emas kecil” Kim Lian cepat mencari peti kecil itu dan hatinya merasa gembira menemukan benda yang dicarinya. Ketika tutup peti dibukanya,di situ tinggal empat butir pel. Dia amat lelah dan tidak bergairah, kalau hanya minum sebutir sepertl biasa, mungkin kurang kuat pikirnya. Maka iapun memasukkan empat butir pel itu ke dalam arak, lalu mengangkat leher Shi Men.
“Minumlah, koko, biar engkau tidak lemas lagi” la membujuk. Dalam keadaan lelah dan mengantuk, juga amat haus, Shi Men dalam keadaan setengah sadar minum semua arak dalam cawan itu tanpa membuka matanya.
Begitu arak yang mengandung cairan empat butir pel kuat Itu memasuki perutnya, nampaklah akibatnya yang amat menyenangkan hati Kim Lian. Shi Men menjadi buas, menerkam Kim Lian seperti seekor singa kelaparan. Dan Kim Lian mendapatkan apa yang diinginkannya sejak tadi, secara yang sangat memuaskan, lebih daripada yang diharapkan. Akan tetapi, kegembiraannya tidak berlangsung lama. Di tengah pergumulan ltu, tiba-tiba Shi Men menjadi lemas dan tidak bergerak lagi. Dia telah jatuh pingsan! Tentu saja Kim Lian menjadi terkejut dan panik. Diguncang-guncangnya tubuh Shi Men, dipanggil- panggilnya dan dibasahinya dahi suaminya itu dengan air dingin. Baru setelah agak lama Shi Men siuman kembali, dalam keadaan yang amat lemah.
“Koko, bagaimana perasaanmu. Apanya yang terasa sakit?” tanya Kim Lian dengan penuh kekhawatlran.
“Aku... aku merasa pening” Shi Men berkata lirih dan lemah. Tentu saja Kim Lian tidak mengatakan bahwa ia telah memberi minum suaminya empat butir pel kuat, bukan hanya sebutir seperti biasanya.
Tiada sesuatu di dunia ini yang dapat bertahan selamanya, kekuatan apapun di permukaan bumi ini akhirnya akan rontok. Apabila minyaknya habis, lampunya akan padam dan apabila sumsumnya habis dari tulang punggungnya, seorang laki-laki akan mati. Pada keesokan harinya, berkali-kali Shi Men jatuh pingsan dan setelah siuman, dia hanya dapat duduk seperti seorang Kakek tua renta di atas kursi, sama sekali tidak mampu berbuat apapun. Berdiripun dia tidak kuat lagi. Tentu saja hal ini segera diketahui oleh para pelayan dan tak lama kemudian Goat Toanio yang mendengar akan berita itu, lari memasuki pondok Kim Lian. Di situ, ia menemukan suaminya duduk di atas kursi, hampir tidak mampu bergerak, Pandang matanya kosong dan kedua lengannya tergantung seperti mati di kanan kiri kursi.
“Aih, ke mana saja malam tadi engkau pergi?” tanya Goat Toanio, belum tahu bahwa keadaan suaminya amat parah.